Refleksi Lima Tahun KPID NTB Antara Harapan dan Kenyataan

id kpid ntb refleksi

Refleksi Lima Tahun KPID NTB   Antara Harapan dan Kenyataan

Wakil Ketua KPID NTB Sukri Aruman (Ist) (1)

Ratusan lembaga penyiaran beroperasi tanpa izin dari ujung barat Pulau Lombok hingga ujung timur Pulau Sumbawa. Ada yang menyebut dirinya Radio Komunitas (Rakom), Radio Komersial, TV komersial hingga operator TV kabel"
Tidak terasa, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat telah menapaki usia lima tahun.  Sayangnya, masih banyak yang tidak kenal dan bahkan tidak tahu sama sekali  apakah gerangan  tugas dan kewenangan lembaga negara independen ini.  Orang mungkin hanya mengenal KPID NTB sebagai tukang cekal lagu porno, sehingga suatu ketika seorang produser lagu daerah di Lombok – mendatangi kantor KPID NTB di Jalan Udayana 14 Mataram, hanya untuk mengajukan permohonan mendapatkan tanda lulus sensor album barunya. Oya?

Ironis memang, tapi inilah kenyataan. Dalam usianya yang sudah lima tahun berjalan, tidak banyak orang yang mafhum benar apa gerangan tugas pokok dan fungsi KPID NTB. Ternyata ada orang yang mengidentikkan tugas KPID NTB tidak lebih seperti Lembaga Sensor Film (LSF). Padahal tidak demikian, apalagi kelahirannya melewati serangkaian proses panjang, perdebatan seru para wakil rakyat tidak saja di Senayan Jakarta  tetapi juga politisi Udayana. 

KPID NTB sendiri resmi berdiri dan komisioner pertamanya dikukuhkan oleh Gubernur NTB Haji Lalu Serinata  pada  4 Juni 2008 yang tiada lain sebagai perwujudan amanat pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Dibandingkan daerah lain, pendirian KPID NTB memang sedikit terlambat. Yang jelas, momentum pendirian KPID NTB kala itu terbilang sangat tepat, di tengah euforia dan karut-marut  penyiaran lokal yang butuh perhatian dan penanganan serius.

Ratusan lembaga penyiaran beroperasi tanpa izin dari ujung barat Pulau Lombok hingga ujung timur Pulau Sumbawa. Ada yang menyebut dirinya Radio Komunitas (Rakom), Radio Komersial, TV komersial hingga operator TV kabel yang  terus bertambah, merambah hingga ke dusun-dusun terpencil di Nusa Tenggara Barat, memenuhi kebutuhan masyarakat lokal akan siaran televisi yang sebelumnya hanya bisa diterima dengan parabola (blank spot).

        Banyak Teguran Bukan Ukuran
Sekali lagi, orang mengenal KPID NTB, tidak lebih karena maraknya pemberitaan media massa tentang sejumlah lagu daerah Lombok (Sasak) dan lagu dangdut berlirik porno yang dilarang penyiarannya di radio dan TV baik lokal maupun nasional. Puncaknya adalah pada awal tahun 2011, ketika KPID NTB mengeluarkan surat edaran tentang lagu Udin Sedunia yang lagi naik daun di pentas musik nasional, dilarang keras untuk disiarkan radio dan TV seantero negeri karena sebagian liriknya mengandung muatan tidak pantas, olok-olokan.

Sikap KPID NTB ini menuai protes besar-besaran dari banyak kalangan. Bahkan hujatan, cemoohan dan desakan agar KPID NTB dibubarkan pun meruak di jejaring sosial facebook dan tweeter. Banyak yang menilai KPID NTB mencari sensasi murahan, kolot, tidak profesional, tidak menghargai kebebasan berekspresi, tidak menghargai jerih payah seniman lokal yang mampu menembus blantika musik nasional, dan banyak pandangan minor lainnya yang bermuara pada ketidakpuasan sebagian orang atas kinerja KPID NTB.

Padahal larangan itu bukan untuk kali pertamanya, tetapi KPID NTB secara rutin maupun insidentil melakukan kajian melibatkan berbagai pihak, mulai akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat dan budayawan untuk memberikan pandangan kritis terhadap aduan  masyarakat tentang fenomena maraknya lagu daerah, lagu dangdut dan lain-lain yang mengandung muatan gambar dan lirik porno atau tidak pantas. Sebut saja beberapa judul lagu Dangdut seperti Jupe Paling Suka 69, Mobil Bergoyang, Hamil Duluan, Maaf Kamu Hamil Duluan, Wanita Lubang Buaya, Satu Jam Saja, Mucikari Cinta, dan Apa Aja Boleh.

Demikian juga dengan Lagu daerah Sasak seperti Ndek Kembe-Kembe, Bebalu Melet Besimbut, Bebalu Kintal, Bawak Komak, Bowos, Bebalu Belek Tian, Pinje Panje, Sampe Berot, Salak Sengguh dan lain-lain.  Terakhir adalah lagu dangdut Bali Sasak berjudul bebalu bais yang juga mengalami nasib sama, tidak boleh disiarkan karena banyaknya aduan masyarakat ke KPID NTB, bahkan aduan itu juga datang dari wakil rakyat di Kota Mataram.
Lantas, adakah yang salah, adakah yang keliru dengan sikap tegas KPID NTB? Jawabnya tentu tidak ada. Bukankah dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, secara tegas memberi mandat kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPI Daerah  untuk menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai hak azasi manusia.
Disinilah menjadi sangat penting, bagaimana menegaskan, mengejawantahkan tugas dan kewajiban KPID NTB untuk memastikan siaran yang mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat lokal di tengah serbuan siaran TV yang sangat sentralistik, Jakarta Sentris, sarat muatan hedonisme, konsumerisme, sadisme dan seksime. Al hasil, ribuan aduan yang masuk ke KPID NTB sejak awal kelahirannya, 80% diantaranya ditujukan kepada  TV Jakarta.

Bagi KPID NTB, ukuran keberhasilan tentu tidak bisa diukur dari banyaknya surat edaran atau surat teguran kepada lembaga penyiaran. Yang lebih penting, adalah bagaimana membangun sinergi yang baik antara KPID NTB sebagai regulator dan partner bagi lembaga penyiaran, menjadi mitra mereka dalam merumuskan segala persoalan penyiaran di daerah ini yang sangat kompleks dan rumit. Semangat yang dibangun kawan-kawan komisioner, sesungguhnya sebisa mungkin melakukan dialog dan komunikasi intensif dengan insan dan masyarakat penyiaran.

        Capaian Kinerja KPID NTB
Dalam lima tahun terakhir perjalanan dan kiprahnya menata penyiaran di Nusa Tenggara Barat, KPID NTB menorehkan berbagai prestasi dan capaian kinerja yang bagus. Tentu bukan isapan jempol belaka, karena penulis yang nota bene ikut menjadi bagian dari komisioner perintis --- telah berupaya bersama kawan-kawan komisioner lainnya menjalankan tugas dan kewajiban dengan maksimal dalam mengkawal penyiaran di Nusa Tenggara Barat untuk sebesar-besarnya bermanfaat bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat Nusa Tenggara Barat.

Tanpa bermaksud menonjolkan prestasi, KPID NTB merupakan  salah satu KPID terbaik dan percontohan di Indonesia sebagaimana pengakuan Muhammad Riyanto Ketua KPI Pusat dalam sambutannya pada malam puncak Anugerah KPID NTB Awards 2012 lalu.  Atas pengakuan tersebut, tidaklah mengherankan, hampir separuh KPID di Indonesia melakukan studi banding dan kunjungan kerja ke KPID NTB. Diantaranya KPID DKI Jakarta, KPID Lampung, KPID Bengkulu, KPID Bangka Belitung, KPID Jawa Barat, KPID Banten dan lain-lain.

Mereka hanya untuk ingin tahu bagaimana KPID NTB melakukan tugas pengawasan isi siaran, bagaimana mekanisme melakukan kajian terhadap puluhan lagu daerah, lagu dangdut dan musik lainnya yang dilarang total penyiarannya di radio maupun televisi lokal.
Prestasi lainnya adalah --- oleh karena dinilai paling produktif melakukan pengawasan isi siaran radio dan TV  baik lokal maupun nasional, KPI Pusat melalui dana hibah APBN 2013 memberikan bantuan hibah berupa alat monitoring siaran bernilai ratusan juta rupiah beserta 10 tenaga pemantau dan analis  media yang kini sedang dalam proses pemasangan dan pelatihan, serta diperkirakan efektif beroperasi dan bekerja pada akhir September 2013 mendatang.

Dalam percaturan penyiaran nasional, KPID NTB juga banyak dilibatkan dalam pembahasan berbagai peraturan KPI terkait isi siaran, perizinan dan penguatan kelembagaan. Diantaranya KPID NTB terlibat sebagai salah satu tim perumus pembahasan ketentuan siaran iklan rokok dalam P3SPS tahun 2012, menjadi anggota Tim Perumus Peraturan Penyiaran Program Pemilu 2014 yang digodok KPI, bersama dengan KPU Pusat.  KPID NTB juga dilibatkan sebagai salah satu anggota Tim Perumus Penyusunan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran untuk Lembaga Penyiaran Berlangganan (P3SPS LPB) yang kini sedang digodok tim KPI Pusat.

            Tantangan dan Harapan
Ada banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi KPID NTB dalam menata penyiaran lokal di Nusa Tenggara Barat. Salah satunya adalah upaya pembinaan dan penertiban operator lokal televisi kabel yang jumlahnya mencapai ratusan pengusaha dengan status tak berizin alias ilegal.  Usaha TV kabel ini terus tumbuh dan berkembang bak jamur di musim penghujan. Bahkan seorang operator TV kabel di Sumbawa Besar memiliki pelanggan lebih dari 10 ribu orang. Bayangkan berapa besar keuntungan yang didapatkan pengusaha lokal itu, sementara di sisi lain mereka tidak mengantongi izin dan hak siar sejumlah saluran yang sebenarnya hanya bisa dinikmati pelanggan tertentu dengan biaya langganan yang cukup besar setiap bulannya. Dan belum tentu juga mereka membayar pajak ke daerah.

Memang sampai saat ini, Pemerintah dan KPI sedang menggodok peraturan terkait penataan perizinan lembaga penyiaran berlangganan termasuk peraturan tentang pengawasan isi siaran lembaga penyiaran berlangganan.
Di tengah kekosongan peraturan perundang-undangan tersebut, Pemerintah Provinsi NTB  sesungguhnya dapat menginisiasi lahirnya sebuah Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukum dalam menata izin usaha dan bisnis lembaga penyiaran berlangganan khususnya TV kabel di Nusa Tenggara Barat. Hal ini terbukti efektif sebagaimana dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2011 tentang Penyiaran Televisi Melalui Kabel.

Kendala lain yang dihadapi KPID NTB dalam memastikan siaran yang mencerdaskan adalah minimnya sumberdaya penyiaran lokal yang mumpuni dan profesional. Hanya sedikit saja lembaga penyiaran radio dan TV lokal yang dikelola secara profesional. Bahkan sebagian besar dikelola dengan manajemen keluarga, berpola one man show. Yang lebih ironis, tidak sedikit stasiun radio swasta yang mempekerjakan seorang penyiar merangkap banyak pekerjaan, mulai penulis naskah siaran, mencari iklan, membersihkan studio bahkan hingga jaga malam. Bagaimana mengharapkan isi siaran yang baik dan berkualitas bila mayoritas lembaga penyiaran lokal tidak ditopang SDM penyiaran yang mumpuni dan profesional.

Belum lagi model perekrutan SDM penyiaran yang asal-asalan dan tidak dibekali dengan pemahaman yang cukup mengenai etika bisnis dan etika penyiaran sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Padahal bisnis dan jasa siaran merupakan high regulated business, bisnis dengan peraturan yang sangat rumit dan ketat.
Sebagai regulator di bidang penyiaran, KPID NTB tentulah diharapkan dapat mendorong terciptanya sistem penyiaran di Nusa Tenggara Barat yang dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kepentingan masyarakat lokal. Mendorong Lembaga penyiaran menjadi pilar pembangunan tentulah tidak bisa sekedar pemanis bibir (lips service) semata tetapi lebih dari itu, diperlukan sinergitas para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menyamakan persepsi, visi dan misi agar tujuan dan cita-cita mulia itu dapat terwujud.

Satu yang pasti, dibutuhkan kerja ekstra untuk mensosialisasikan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat sebagai representasi masyarakat NTB dalam menata dan mendorong lembaga penyiaran menjunjung tinggi nilai-nilai religius, khazanah lokalitas serta kearifan lokal yang telah menjadi budaya komunikasi sosial antar masyarakat  NTB; menciptakan lembaga penyiaran yang profesional dengan mempunyai kredibilitas serta daya saing melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan teknologi pada skala nasional maupun global; dan tentunya mendorong masyarakat menjadi pendengar dan pemirsa yang kritis dan rasional dalam menjamin masyarakat memperoleh informasi yang benar dan bermanfaat. Semoga! (*)