Mataram (Antara NTB) - Indonesia yang sudah menikmati kemerdekaan selama 70 tahun butuh rekonstruksi modal sosial untuk bisa membangun dan menjadi kekuatan ekonomi yang disegani negara lain.
Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr. M. Firmansyah pun bertanya, "Bagaimana pembangunan dapat berjalan atas dasar ketidakpercayaan? Kalau ke depan bangsa kita belum mampu membenahi modal sosial, tidak akan bisa pembangunan ekonomi dan pemerataan dapat berjalan dengan baik."
Rendahnya modal sosial, menurut M. Firmansyah, menyebabkan orang makin tidak peduli satu dengan yang lain, tidak percaya lagi satu dengan yang lain. Apalagi, dengan pemerintah, masyarakat tidak percaya dengan investor sehingga tidak jarang terjadi penolakan di daerah terhadap investor dan aturan sering dilanggar serta korupsi merajalela.
Untuk itu, menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia, harus menjadi awal perenungan bagi pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam menentukan ke mana arah pembangunan yang selama ini dilaksanakan, kemudian pola pembangunan seperti apa masa yang akan datang.
Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan (PKEP) Universitas Mataram (Unram) ini memberikan gambaran masa pemerintahan Presiden RI sebelumnya, mulai dari Soekarno sampai dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta menghadapi tantangan yang berbeda-beda.
Soekarno sukses dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Presiden pertama Indonesia itu juga mulai meletakkan proyek-proyek pembangunan prestisius pertama setelah kemerdekaan.
"Masalahnya pembangunan masih mengalami hambatan mengingat baru saja melepas diri dari belenggu penjajah, hiperinflasi terjadi, bahkan sampai 650 persen. Selain itu, kas yang dimiliki negara dan cadangan devisa juga minim," ujar Firmansyah.
Kemudian, pada masa Presiden RI H.M. Soeharto, kata Firmansyah, ekonomi mulai dapat ditata kembali. Soeharto dengan perencanaan pembangunan--rencana pembangunan lima tahun (repelita)--sukses meletakkan dasar-dasar perencanaan pembangunan, pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan pengangguran, swasembada pangan, rupiah yang stabil dan inflasi yang dapat ditekan dengan rendah.
Indonesia juga menjadi mitra asing, khususnya dalam pemberian bantuan "utang". Namun, pembangunan propertumbuhan menyebabkan ketimpangan ekonomi meningkat, krisis moneter 1997 memperparah kerapuhan ekonomi orde baru dan berakhir dengan lengsernya Soeharto sebagai presiden, kemudian B.J. Habibie menggantikannya.
Habibie juga sukses menurunkan rupiah yang sempat terpuruk saat pemerintahan Soeharto. Pada masa itu, Dana Moneter Internasional (IMF) juga menyepakati pemberian pinjaman ke Indonesia, Habibie juga mengubah sistem sentralistik menjadi desentralistik dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah pada tahun 1999.
"Namun, persoalan ekonomi, seperti inflasi, kurs yang makin sulit dikendalikan, utang yang jatuh tempo, dan pemutusan hubungan kerja (PHK), juga menghiasi pemerintahan B.J. Habibie," ucap Firmansyah.
Dosen pascasarjana Fakultas Ekonomi Unram ini mengatakan bahwa pemerintahan K.H. Abdurahman Wahid (Gusdur) juga mulai sukses meningkatkan kapasitas ekonomi pribumi. Namun, persoalan-persoalan ekonomi belum juga sukses membawa negara Indonesia menuju pada kestabilan ekonomi secara permanen.
Era Presiden Megawati pun demikian. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik. Namun, dihadapkan dengan masalah penjualan aset untuk mengatasi kekurangan modal di dalam negeri. Kasus-kasus pengeboman juga banyak melumpuhkan kepercayaan investor.
Kemudian, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata Firmansyah, adalah pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai lebih dari 5 persen, cadangan devisa juga mengalami peningkatan, pengangguran mengalami penurunan, dan berbagai capaian ekonomi lainnya.
Akan tetapi, masalahnya kelesuan ekonomi global turut menghiasi, harga bahan bakar minyak (BBM), juga mengalami peningkatan, dan relatif banyaknya bencana alam ikut menghiasi kepemimpinan SBY.
Saat ini, Presiden Jokowi berkuasa. Namun, masih terombang-ambing oleh suasana politik yang masih saja menggrogoti pemerintahannya dan pelemahan ekonomi dunia yang ikut melemahkan perencanaan pembangunan ekonomi Jokowi.
Kelemahan Jokowi adalah belum terlihat perencanaan ekonomi yang matang dan terkoordinasi di antara menteri-menterinya, yang sering kali membuat komentar yang bertentangan satu dengan yang lain, bahkan Jokowi sendiri sering kali membuat kebijakan yang kemudian dibatalkannya menyebabkan wibawa pemerintahan menjadi tergerus.
"Apa yang terjadi dalam pemerintahan Jokowi menimbulkan kegaduhan di ruang-ruang publik. Pelaku usaha belum merasa ada kepastian arah ekonomi negara ini selain pembangunan infrastruktur, kepastian hukum juga masih belum terjamin," katanya.
Menurut Firmansyah, apa yang masih kurang dan hampir tidak disentuh dari era Soekarno sampai pemerintahan Jokowi saat ini adalah modal sosial.
Pemerintah begitu bersemangat membangun infrastrutur fisik, anggaran pendidikan supaya orang pintar mencapai lebih dari Rp200 triliun atau 20 persen dari APBN. Namun, apa hasilnya?
Ia juga menilai pembangunan Indonesia juga masih dihiasi dengan makin tergerusnya nilai-nilai dalam masyarakat walaupun orang makin banyak yang sekolah tinggi.
Oleh sebab itu, ke depan bila pemerintah serius membangun ekonomi bangsa ini, benahi kembali modal sosial masyarakat yang terdiri atas nilai-nilai, keyakinan, dan saling percaya dalam masyarakat.
Modal sosial akan melahirkan ekonomi yang jujur dan berkeadilan, ekonomi yang bertujuan tulus membangun dan tidak mengabaikan lingkungan.
Pemerintahan ke depan, harus mengeksplorasi lagi nilai-nilai luhur bangsa ini sebagai modal penting pembangunan bangsa. Amanat UUD 1945 harus benar-benar dijaga dan dikembalikan pada posisinya, hanya dengan itu kewibawaan pemerintahan ini akan kembali. (*)