Kejati NTB menghentikan 27 perkara melalui keadilan restoratif

id restorative justice,penerapan keadilan restoratif,penghentian perkara pidana,penuntutan,aturan kejaksaan agung nomor 15 ,Kejati NTB

Kejati NTB menghentikan 27 perkara melalui keadilan restoratif

Wakil Kepala Kejati NTB Abdul Qohar. (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Abdul Qohar menyampaikan bahwa pihaknya telah menghentikan penuntutan untuk 27 perkara pidana melalui penerapan keadilan restoratif ("restorative justice").

"Sesuai data, 'restorative justice' yang kami terapkan periode Januari hingga Agustus 2023 itu ada 12 perkara pidana. Ditambah data dua bulan terakhir ini ada 15 perkara sehingga total sampai saat ini ada 27 perkara pidana yang dapat diselesaikan melalui 'restorative justice', ini yang di penuntutan," kata Abdul Qohar di Mataram, Selasa.

Dia menyampaikan jenis 27 perkara yang diselesaikan melalui penerapan 'restorative justice' adalah pidana pencurian dan penadahan.

"Perkara pencurian yang berkaitan dengan Pasal 362 KUHP itu yang memenuhi syarat, nilai kerugian kecil. Ada kasus penadahan Pasal 480 KUHP, dengan nilai barang kurang dari ketetapan aturan," ujarnya.

Abdul Qohar memastikan bahwa jaksa menerapkan 'restorative justice' dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap penuntutan tersebut sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

"Jadi, sesuai penghentian perkara melalui penerapan 'restorative justice' ini sesuai yang diatur dalam Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020," ujarnya.

Adapun syarat wajib yang harus dipenuhi dalam penerapan 'restorative justice' di tahap penuntutan, antara lain, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.

Kedua, kata dia, tindak pidana dengan ancaman hukuman kurang dari 5 tahun. Syarat ketiga, nilai kerugian korban tidak lebih dari Rp2,5 juta.

Ada juga syarat pemulihan kembali keadaan seperti semula yang diakibatkan dari perbuatan tersangka dan ada kesepakatan damai antara tersangka dengan korban.

"Pada intinya jaksa penuntut umum menghentikan perkara penuntutan ini dengan betul-betul selektif, 'clean and clear', humanis, dan mengedepankan hati nurani," ucap dia.