Mataram, (Antara NTB) - Komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla untuk mengangkat masyarakat dari lilitan kemiskinan tak diragukan lagi.
Setidaknya itu dibuktikan dengan sembilan agenda prioritas yang lebih dikenal program Nawacita.
Program Nawacita itu digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Program dana desa yang dilaksanakan sejak tahun 2015 merupakan salah satu implementasi dari program Nawacita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Setiap tahun pemerintah mengucurkan dana desa mencapai puluhan triliun. Masyarakat dan pemerintah desa sebelumnya tak pernah bermimpi untuk mengelola dana pembangunan ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Beberapa tahun sebelummya Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) sangat kecil, sehingga tidak banyak yang bisa diperbuat untuk mengembangkan desanya.
Karena itu kehadiran dana desa telah mengubah wajah desa. Kini desa mulai menggeliat, terutama dengan dibangunnya infrastruktur dasar, seperti pemenuhan kebutuhan air bersih baik di perkampungan maupun di perkotaan, pelayanan listrik dan program peningkatan jalan-jalan di kecamatan dan perkampungan.
Dana desa tersebut juga telah mampu menggerakkan perekonomian desa, karena selain untuk pembangunan infrastruktur desa, dana yang bersumber dari APBN itu juga diprioritaskan untuk membuka Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau menambah modal kerja.
BUMDes telah terbukti mampu menggerakkan perekonomian masyarakat desa. Sektor usaha yang dikelola BUMDes mulai menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, tak terkecuali di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Karena itu untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa sebagai implementasi dari program Nawacita itu, pemerintah terus mengucurkan dana desa.
Tahun 2017 total alokasi dana desa yang dikucurkan untuk desa di seluruh Indonesia mencapai Rp60 triliun, mengalami kenaikan tiga kali lipat dari tahun anggaran 2015 dan mengalami kenaikan 28 persen dari dana desa tahun 2016 yang sebesar Rp49,96 triliun.
Khusus untuk Provinsi NTB mendapatkan dana desa sebesar mencapai Rp860 miliar lebih tahun untuk 995 desa, meningkat dari tahun 2016 sebesar Rp677 miliar lebih.
Besarnya dana desa untuk masing-masing desa bervariasi antara Rp800 juta hingga Rp1,1 miliar. Ini tergantung dari luas wilayah, jumlah penduduk dan tipologi desa.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa, Kependudukan dan Pencatatan Sipil (PMPD-Dukcapil) NTB H Rusman menilai program dana desa tersebut merupakan strategi yang paling tepat untuk menggerakkan perekonomian masyarakat desa.
"Kita berharap semua dana itu berputar di desa dan untuk kebermanfaatan masyarakat desa. Strateginya kita harus sepakat BUMDes menjadi solusi alternatif, karena BUMDes bisa membuka berbagai unit usaha mulai dari unit usaha jasa, pertokoan hingga simpan pinjam. Jadi tergantung dari potensi desa," katanya.
Bahkan, kata dia, BUMDes juga bisa mengelola objek wisata, dengan sedikit sentuhan, maka akan memberikan keuntungan cukup besar bagi desa.
Rusman berharap ke depan BUMDes bisa menjadi "holding company" (perusahaan induk) di desa dan semua diharapkan kepada seluruh masyarakat jika membeli kebutuhan mulai dari yang terkecil hingga besar memanfaatkan BUMDes.
"Ini proses yang harus dikawal bersama. Kini saya berupaya `membakar` semangat masyarakat desa agar semakin bersemangat dalam mengembangkan dan memajukan usaha BUMDes," kata Rusman.
Ia mengakui saat ini sejumlah BUMDes di NTB mulai menapaki kemajuan. Sebagai contoh BUMDes Lentera atau Lendang Nangka Sejahtera di Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur.
BUMDes Lentera mengelola sejumlah unit usaha, antara lain perusahaan air minum (PAM) Desa, mengolah sampah, pertokoan, jasa penyewaan alat dan unit pengelolaan temoat rekreasi atau wisata.
Dalam pengelolaan unit usaha PAM Desa (PAMDes), BUMDes Lentera berhasil mengukir prestasi tingkat nasional. PAMDes Asih Tigasa, yang merpakan unit usaha di bawah BUMDes Lentera yang mengelola usaha air minum.
BUMDes Lentera meraih predikat BUMDes terbaik nasional untuk kategori inovatif, karena dinilai berhasil mengelola perusahaan air minum dengan tarif relatif kecil, yakni hanya Rp200 untuk 1 meter kubik air.
Menurut Rusman, BUMDes berprestasi di NTB tidak hanya BUMDes Lentera, tetapi juga BUMDes Calabai di Kabupaten Dompu yang berhasil mengelola unit usaha pasar desa, sehingga berkembang cukup baik. Selain itu juga unit usaha pertokoan dan menyalurkan pupuk kepada para petani.
""Saya menilai unit usaha pupuk ini cukup potensial, karena BUMDes bisa menyetok dan melayani para petani di desanya, sehingga mereka tidak mengalami kesulitan memperoleh sarana produksi (saprodi) pada saat musim tanam," kata Rusman.
Untuk unit usaha pariwisata, Rusman mencontohkan objek wisata di Bilabante, Kabupaten Lombok Tengah, yang dikelola oleh BUMDes dan cukup berhasil.
Di objek wisata itu pengunjung bisa bersepeda mengelilingi areal persawahan, kemudian masuk kampung untuk membeli kerajinan dan di lokasi itu tersedia homestay tempat istirahat. Untuk menikmati objek wisata ini wisatawan harus membayar antara Rp150.000 hingga Rp225.000.
"Dana tersebut masuk ke desa. Karena itu kalau tempat wisata dikelola dengan baik maka akan menghasilkan keuntungan untuk BUMDes dan masyarakat sekitarnya," kata Rusman.
BUMDes Terbaik
Prestasi yang berhasil ditorehkan BUMDes di NTB agaknya tak sekadar isapan jempol. Sejumlah BUMDes di NTB berhasil mengembangkan berbagai unit usaha.
Sebagai contoh BUMDes Lentera Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur berhasil menorehkan prestasi membanggakan, yakni mendapat predikat BUMDes terbaik se-Indonesia untuk kategori inovatif atas kinerja usaha air minum yang dikelola PAMDes Asih Tigasa.
Ketika sejumlah desa di NTB masih mengalami kesulitan air bersih, terutama pada musim kemarau, justru masyarakat di Desa Lendang Nangka memiliki air yang melimpah.
Teratasinya persoalan air bersih itu, setelah masyarakat bersama pemerintah desa di Lendang Nangka berhasil mengalirkan air dari lereng Gunung Rinjani (3.726 meter di atas permukaan laut) dengan sistem perpipaan sejauh 2 kilometer.
Pada 2008 masyarakat desa mendirikan BUMDes Lentera yang kemudian mengelola unit usaha air minum desa yang diberi nama PAMDes Asih Tigasa.
Sistem pengelolaan unit usaha PAMDes Asih Tigasa dinilai unik, karena menjual air bersih dengan tarif yang tegolong kecil, dibandingkan dengan perusahaan air minum lainnya. PAMDes Asih Tigasa hanya menjual air dengan tarif Rp200 per meter kubik.
Ketua BUMDes Lentera Muh Azhari menuturkan kendati tarif air minum hanya Rp200 per meter kubik. Namun usahanya tetap memberikan laba, bahkan mampu memberikan kontribusi untuk kas desa sebesar Rp4 juta.
"Kami berhasil meraih laba, karena masyarakat yang menjadi pelanggan PAMDes rela membayar tarif lebih tinggi dengan alasan untuk menambah kas desa dan keuntungan usaha air bersih tersebut," katanya.
Berbagai unit usaha yang dikelola BUMDes Lentera sejak beberapa tahun ini berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama dengan adanya unit usaha PAMDes
Menurut Azhari, kini PAMDes Asih Tigasa mampu melayani 778 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 13 dusun di Desa Lendang Nangka dan akan melakukan invasi untuk melayani lebih banyak pelanggan di desa lainnya.
"Kami akan terus mengembangkan berbagai unit usaha BUMDes Lentera, termasuk PAMDes Asih Tigasa. Tekad saya bisa melalukan invasi pelayanan air bersih ke desa-desa lain di Kecamatan Masbagik yang mengalami kesulitan air bersih," katanya.
Impian Pemerintah Provinsi NTB untuk menjadikan BUMDes sebagao "holding company" bak gayung bersambut dengan kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang akan membentuk membentuk holding company BUMDes skala nasional.
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menargetkan holding BUMDes skala nasional terbentuk Juni 2017 mendatang.
Menteri Desa Eko Putro Sandjojo mengatakan pembentukan holding BUMDes ini untuk mendorong pengembangan ekonomi desa secara merata.
"BUMDes ini, supaya bisa berkembang, maka kita akan bentuk holding di tingkat nasional. Supaya bisa mendapatkan pendampingan yang sama. Karena BUMDes yang sukses punya resources (sumber daya)," ujarnya.
BUMDes merupakan badan usaha di mana seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki desa melalui penyertaan secara langsung dari kekayaan desa yang dipisahkan.
Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa menyebutkan fungsi BUMDes adalah mengelola aset, jasa pelayanan maupun usaha lain untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
Pemerintah pusat menyarankan kepada pemerintah tingkat desa agar tidak hanya menggunakan dana desa yang dikucurkan langsung dari pusat untuk pembangunan infrastruktur, tapi juga untuk membentuk dan mengembangkan BUMDes.
Ia mengatakan saat ini konsep Holding BUMDes tingkat nasional masih dibahas bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, BUMN lebih ahli dalam pembentukan sebuah korporasi.
"Kita sekarang dibantu BUMN menargetkan 1.500 BUMDes per tahun, tapi itu kan lama. Dengan kita bikin holding BUMDes, tiap desa punya jaminan ada KPI (Key Performance Indikators/indikator kinerja) masing-masing," katanya.
Selain pendampingan, holding BUMDes skala nasional juga untuk membangun jaringan antardesa. Holding BUMDes nantinya akan mengkoordinasi 75 ribu BUMDes. Setiap BUMDes sedikitnya membawahi 5 koperasi.
Dengan perkembangan BUMDes di "Bumi Gora" yang cukup menggembirakan impian untuk menjadikan BUMDes sebagai "holding company" akan dapat diwujudkan. (*)
Lipsus - Membangun Bumdes Menuju "Holding Company" Usaha Desa
.....Program Nawacita itu digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan....