Pemimpin harus paham perbedaan kebudayaan

id Hilman Farid,Keberagaman kebudayaan,Kebudayaan

Pemimpin harus paham perbedaan kebudayaan

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid saat hadir sebagai narasumber dalam agenda konferensi pers World Water Forum Ke-10 di Bali, Selasa (21/5/2024). (ANTARA/Indah Savitri)

Jakarta (ANTARA) -

Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek mengingatkan pentingnya seorang pemimpin memiliki kesadaran akan perbedaan dan keberagaman kebudayaan sehingga dapat melihat kebudayaan sebagai aset bangsa yang harus dijaga.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menerangkan pemimpin yang memiliki kesadaran akan keberagaman kebudayaan memiliki sikap empati dan toleransi yang tinggi dalam merespon perbedaan artikulasi sudut pandang maupun kepentingan individu serta kelompok masyarakat yang tentu sedikit banyak dipengaruhi perbedaan kebudayaan tersebut.
“Jadi sekali lagi ya kalau pemimpin punya pemahaman tentang kebudayaan, saya kira manfaat yang paling fundamental itu ya soal empati. Ketika kita bisa mengenali sesuatu yang berbeda, itu langsung punya empati ya, jadi kita bisa mampu menempatkan diri di dalam posisi orang yang berbeda, jadi bukan cuma sekedar kita mentoleransi apa yang dilakukan gitu, tapi juga akan memiliki empati yang tinggi,” kata Hilmar dalam webinar bertajuk “Bridging Cultures, Building Leaders” di Jakarta pada Rabu malam.
Keberagaman kebudayaan itu, lanjutnya, mestilah dilihat sebagai fakta hidup yang tidak bisa dihindari oleh seorang pemimpin karena keberagaman itulah yang menjadi salah satu sarana individu, bahkan komunitas untuk bertahan hidup melalui berbagai pengetahuan lokal yang dihasilkan.
Oleh sebab itu, setiap pemimpin ketika merumuskan kebijakan atau proyek pembangunan sudah seharusnya mempertimbangkan keberagaman kebudayaan itu sejak semulanya dan tidak seharusnya melihat keberagaman sebagai hambatan.

Baca juga: Kemajuan pariwisata di NTB berpotensi goyahkan budaya lokal
Baca juga: KBRI promosikan produk, budaya Indonesia lewat pasar rakyat

Sebagai contoh, Hilmar menyebutkan penanganan krisis iklim tidaklah tepat bila kementerian atau lembaga terkait hanya menggunakan solusi modern yang dianggap sudah dapat menjawab permasalahan tersebut di seluruh wilayah, tanpa mempertimbangkan pengetahuan/ kearifan lokal tiap wilayah.
“Nah budaya juga kalau keanekaragamannya dipangkas, dibatasi dan seterusnya, itu ancamannya terhadap eksistensi kita sebagai manusia. Jadi buat kita di Indonesia apalagi yang sangat beragam ini, kemampuan mengelola keanekaragaman itulah yang harus diadakan,” ujarnya.