AJI dan aktivis desak presiden cabut remisi pembunuh jurnalis

id AJI Mataram, remisi pembunuh jurnalis

AJI dan aktivis desak presiden cabut remisi pembunuh jurnalis

Ilustrasi menulis. (shuttlestocks.com)

Ini sangat mengecewakan kami di AJI Mataram. Langkah Presiden Jokowi adalah langkah pemukul bagi penegakan kebebasan pers, dan ini akan menjadi preseden buruk bagi Jokowi karena keberpihakannya tidak sesuai ekspektasi kita terhadap kemerdekaan pers
Mataram (Antaranews NTB) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram bersama Jaringan Peradilan Bersih (Jepred Bersih) mendesak Presiden Joko Widodo mencabut pemberian remisi terhadap I Nyoman Susrama, otak pembunuh wartawan Radar Bali, Jawa Pos Grup, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.

AJI Mataram bersama Jaringan Peradilan Bersih (Jepred Bersih) menilai pemberian remisi tersebut adalah langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.

"Ini sangat mengecewakan kami di AJI Mataram. Langkah Presiden Jokowi adalah langkah pemukul bagi penegakan kebebasan pers, dan ini akan menjadi preseden buruk bagi Jokowi karena keberpihakannya tidak sesuai ekspektasi kita terhadap kemerdekaan pers," kata Ketua AJI Mataram Fitri Rachmawati, Kamis.

AJI Mataram dan Jepred Bersih menilai langkah Joko Widodo mengeluarkan Kepres No. 29 Tahun 2018 tentang pemberian remisi berupa perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, merupakan langkah mundur penegakan hukum dan kemerdekaan pers di negeri ini.

Menurutnya, pengungkapan kasus pembunuhan wartawan di Bali tahun 2010 saat itu menjadi wujud dari penegakan kemerdekaan pers di Indonesia, mengingat selama ini tidak ada ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terungkap secara tuntas di sejumlah daerah di Indonesia, apalagi dihukum berat.

"Di Bali, pembunuh Prabangsa ditangkap dan dihukum seumur hidup, itu adalah langkah anomali yang dilakukan penegak hukum dibanding kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dan layak kita dukung, tapi dengan muncul pemberian remisi dari Presiden, ini menjadi langkah mundur dan komitmen Presiden untuk menjaga dan menegakkan kebebasan pers di negeri ini patut kita pertanyakan," ujarnya pula.

Setelah menerima remisi bukan tidak mungkin nantinya akan menerima pembebasan bersyarat. Karena itu, AJI Mataram bersama Jaringan Peradilan Bersih di NTB yang terdiri dari sejumlah lembaga independen dan peduli terhadap kebebasan pers dan pemberantasan korupsi, di antaranya Lembaga Studi dam Bantuan Hukum (LSBH) NTB, Komisi Yudisial Perwakilan NTB, Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB, Garvitasi NTB, Badan Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) menyatakan kekecewaan atas remisi yang diberikan Presiden Jokowi terhadap pembunuh jurnalis itu.

Koordinator Jepred Amri Nuryadin mengatakan meski Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan remisi, tetapi sebaiknya pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan seperti pembunuh jurnalis harus dipikirkan secara matang, apalagi hal ini akan menimbulkan reaksi publik.

"Kita juga tahu kasus kekerasan terhadap jurnalis banyak yang tidak terungkap," katanya pula.

Jaringan Jepred Bersih lainnya Dwi Sudarsono, Direktur Samanta menegaskan pemberian remisi kepada pembunuh Prabangsa, juga mencederai pemberantasan korupsi.

"Mesti diingat bahwa kasus ini bermula dari pemberitaan terhadap indikasi penyimpangan dana pembangunan sekolah taman kanak-kanak dan SD internasional yang pimpronya Susrama. Jadi pemberian remisi Presiden ini, jelas mencederai upaya pemberantasan korupsi," kata Dwi.

Atas rasa solidaritas itu, AJI Mataram dan Jaringan Peradilan Bersih menyatakan beberapa poin sikap dan kritik tegas terhadap pemerintah, antara lain meminta Presiden mencabut remisi terhadap pembunuh Prabangsa karena hal tersebut mencederai rasa keadilan.

Selanjutnya, meminta Presiden Jokowi untuk menginstruksikan kepolisian mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang selama ini belum terungkap, seperti kasus Udin atau Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Bernas, Yogyakarta yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan kemudian meninggal dunia lebih 20 tahun lalu. (*)