Surabaya (ANTARA) - Humanities in the Time of AI, Laurent Dubreuil, 104 halaman (plus index), ISBN 9781452972817, cetakan pertama April 2025, University of Minnesota Press
Banyak pakar berpendapat sebenarnya AI menawarkan kesempatan bagi ilmu humaniora untuk memperkuat relevansi dan signifikansinya. Ilmu-ilmu humaniora sangat berkaitan dengan manusia seperti bahasa, sejarah, dan budaya. Selama berabad-abad, ilmu-ilmu humaniora atau yang juga akrab disebut ilmu-ilmu kemanusiaan telah menghasilkan berbagai suput pandang, pemikiran serta wawasan baru tentang kemanusiaan dan masa depan umat manusia.
Persoalan kemudian muncul ketika Artificial Intelligence (AI) kian maju dan dalam. AI tak hanya membantu kerja-kerja manusia agar menjadi lebih mudah, namun lebih dari itu, AI mampu menawarkan opsi atau pilihan kepada manusia. Operator AI tinggal memasukkan data-data, seperti kita memakai prompt, ke dalam produk AI, lalu AI mengolahnya menjadi sebuah karya seperti yang diinginkan sang operator.
Secara nyata hari ini, kita menyaksikan bagaimana algoritma "pembelajaran mandiri" self-learning memungkinkan mesin untuk dengan mudah "menghasilkan" gambar, musik, objek, film, dan teks yang sering dianggap sebagai ciri khas "manusia". Jika kita percaya bahwa penelitian humanistik berkaitan dengan mencari posisi konsensus, menguatkan apa yang telah dikatakan oleh orang lain, memberi label pada perilaku "baik" dan "buruk".
Juga mengidentifikasi apa yang telah diidentifikasi, mengekspresikan emosi dan pengaruh yang sederhana. Pun menguasai gaya standar, menghasilkan tinjauan dan ulasan yang seimbang, mendeskripsikan fenomena tanpa menginterpretasikannya, merangkum dokumen atau buku. Maka, AI generatif sudah mampu menyelesaikan berbagai tugas-tugas tersebut sampai derajat yang dapat diterima oleh para mahasiswa.
Memang ada tahap uji coba pada AI. Ada kebaruan melalui acak. Ada penemuan, yang terdiri dari mengatur ulang apa yang telah dikatakan. Bahkan temuan-temuan dapat dipecah menjadi berbagai bagian atau gradien. Mungkin pula dengan—atau tanpa—proses yang muncul, karena ada rentang yang luas antara variasi dari temuan itu. Serta penyusunan ulang yang hanya mengonfigurasi ulang yang diberikan (misal arti, nilai, konsekuensi). Materi ilmu kemanusiaan selalu berkait pada makna, nilai dan konsekuensi tersebut.
AI juga membantu manusia untuk melihat berbagai ketidakmungkinan, kontradiksi, serta kekurangan dari gagasan yang ada. Proses interaksi ini tentu saja memantik kreativitas operator atau manusia yang berinteraksi dengan AI. Sehingga dari situlah ide dan praktik baru muncul yang bisa memperkaya seni atau ilmu pengetahuan. Contoh paling aktual belakangan ini adalah ketika kita memasukkan teks sebagai input yang disebut ''prompt'' ke dalam generative AI.
Setelah dieksekusi, hasilnya bisa teks, gambar bahkan video. ''Prompt'' adalah instruksi kepada AI generatif untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan yang menulis perintah tersebut. Jika ''prompt dilakukan kurang tepat, kurang presisi, maka AI bisa menghasilkan gambar atau video yang tak sesuai keinginan. Meski begitu, proses interaktif ini tentu menjadi tantangan baru bagi manusia. Sebab, memasukkan instruksi harus presisi.
Proses kreatif dalam membuat ''prompt'' yang tepat itu, menurut penulis buku ini, tak bisa dikatakan sekadar keterampilan kognitif. Sebab proses AI dalam merespon lalu menghasilkan karya sebagaimana diminta jelas merupakan proses yang nyaris sejajar dengan keterampilan kognitif manusia. Sehingga posisi manusia penyuplai ''prompt'' ke AI berada pada tingkat pemikiran yang disebut ''Inteleksi'', lebih dari sekadar ''kognisi''.
Buku ini berisi 15 esai lepas. Tak berkaitan antara topik satu esai dari esai lainnya, namun seluruh esai berada dalam tema besar dampak AI pada ilmu-ilmu kemanusiaan. Penulis cenderung mengurai kehadiran AI dan mengakrabinya. Bukan menentang kehadiran AI. Seperti dalam esai ''AI adalah Kita''. Di paragraf awal, penulis sudah menegaskan tidak ada ''Artificial Intelligence'' jika kita melihat AI hanyalah benda otonom buatan manusia untuk lebih tepat mengelola dunia.
Dalam bahasa Latin, kata ''Intelligence'' bermakna tempat menyeleksi dan mengaitkan data yang relevan, lalu ilmu komputer mewujudkan makna kata itu menjadi beragam model dari AI generatif. Satu poin perbedaan yang luar biasa adalah tentang tingkat spesifikasi, dari perangkat lunak yang berpotensi kuat dirancang untuk suatu domain, seperti bermain catur, hingga Large Language Model (LLM). LLM ini sebenarnya bukan memodelkan bahasa manusia tetapi mampu menghasilkan output yang beragam.
Perkembangan menakjubkan dari AI belakangan juga menyangkut algoritma pembelajaran mandiri self-learning atau autodidak. Pemrograman ini bisa menjadikan mesin melakukan pelatihan mandiri untuk menghasilkan output setelah melakukan pemrosesan setelah memperoleh asupan data. AI generatif yang baru-baru ini memantik reaksi antusiasme, kekaguman, ketakutan, atau ketidakpuasan. Ia menggabungkan algoritma pembelajaran mandiri yang menambang data buatan manusia dengan berbagai intervensi sementara oleh ilmuwan komputer sesuai dengan pedoman, sehingga AI mampu memproduksi konten. Intervensi untuk memperkuat proses pembelajaran dan penyesuaian lebih halus.
Membaca buku ini serasa diajak menjelajahi dunia AI tanpa khawatir diperumit dengan rumus-rumus algoritma atau bahasa pemrograman. Laurent Dubreuil adalah gurubesar perbandingan sastra dan ilmu kognitif di Universitas Cornell. Paparannya dalam buku ini mengajak pembaca masuk ke dalam suasana yang benar-benar terhubung pada pernak-pernik AI.
Ala kulli hal, jagat AI bukanlah sekadar wujud kreativitas manusia dalam menciptakan mesin pembelajar yang canggih. Namun, yang lebih penting lagi adalah mesin pembelajar tersebut mengajak kita untuk merenungkan pengalaman berpikir dan eksperimentasi yang bisa dilakukan. Bagi ilmu-ilmu kemanusiaan, AI tentu bisa menjadi sarana baru menunjang perkembangan pesat ilmu kemanusiaan, selain tentunya AI juga memberi tantangan-tantangan baru kepada spektrum ilmu kemanusiaan itu sendiri.*