Jakarta (ANTARA) - Kalimat “semua indah pada waktunya” sedang dirasakan dengan seksama oleh seorang musisi dan penulis lagu bernama Ari Lesmana.
Pria kelahiran Pekanbaru, Riau, pada 1993 itu bersama bandnya, Fourtwnty, merilis lagu berjudul Mangu pada 2022 namun tak seketika direspons pasar.
Lebih dari seribu hari sejak dilahirkan dalam senyap, Mangu pada akhirnya menemukan gemanya. Lewat keajaiban TikTok yang menyulap satu scroll menjadi panggung tak terduga, lagu itu melesat menjadi irama yang dipeluk banyak hati, sunyi yang akhirnya bersuara.
Semula, Mangu hanyalah nomor di album Fourtwnty. Namun paradoksnya, saat mereka sedang tak aktif tampil, lagu itu justru meledak dari “dilempar” ke linimasa, menjadi suara bingung yang menemukan jawabannya, kemudian mencuri perhatian publik.
Ari dan bandnya pun didaulat naik dari panggung ke panggung dan kembali berbulan madu dengan Mangu yang sempat terdampar ke tepian.
Bukan cuma jadwal show yang tiba-tiba padat, seketika itu juga ia diundang ke podcast, talkshow, hingga prinsip hidupnya dikutip laksana petuah yang diagungkan dalam feed, carousel, reels, atapun vt para pengguna sosial media.
Ari sejujurnya tak pernah bermimpi bahwa lagu ciptaannya itu akan menembus daftar Top 10 Spotify Global, sebuah prestasi yang belum pernah dicapai lagu Indonesia sebelumnya.
Lagu itu seperti bangkit bukan dari rencana promosi megah. Bukan pula dari siasat label atau agenda peluncuran ulang. Tapi terbangun dari kejujuran.
Sebuah video sederhana memperlihatkan Ari Lesmana menyanyikan bagian chorus lagu Mangu di sebuah pusat perbelanjaan. Ia menyanyikan part dari Charita Utami, kolaboratornya di lagu Mangu. “@charitamy lagi sariawan," kata Ari Lesmana di unggahannya, Minggu (11/5).
Di luar nalar industri, wajah sendu Ari yang melantunkan lirik dengan kelembutan dan ekspresi polos justru menjadi pemantik viralitas.
Momen itu diunggah ulang oleh netizen, dibagikan di TikTok, dan dalam waktu singkat menyusup ke linimasa jutaan orang.
Jutaan Kali Diputar
Sungguh aneh bagaimana video yang begitu sunyi bisa menciptakan gegap gempita. Namun, justru di situlah kekuatan Mangu. Sebagai lagu yang tidak sedang berusaha menjadi besar, tapi justru karena itu menjadi sangat besar.
Banyak yang menirukan gaya bernyanyi Ari, sang vokalis, membuat konten duet, menjadikan lagu itu latar dari kisah personal yang tersebar di platform TikTok dan Instagram.
Tak sekadar viral, Mangu juga menorehkan jejak. Dalam kurun waktu kurang dari dua pekan setelah video tersebut menyebar, lagu ini melesat ke urutan pertama Spotify Top 50 Indonesia dengan lebih dari 1,7 juta kali pemutaran dan terus bertahan di tangga lagu global.
Di media sosial, Ari Lesmana menyampaikan pesannya dengan sederhana namun mendalam, “Intinya satu, jangan pernah jadikan cape lu itu sebagai alasan untuk jadi egois. Karna, semua orang itu cape.”
Kalimat itu bukan hanya nasehat hidup, tapi juga refleksi dari proses penciptaan Mangu, sebuah karya yang lahir dari kelelahan batin, dari kegelisahan emosional, bukan dari tuntutan industri.
Sementara Charita Utami, yang disebut tampil dengan mata sendu, dianggap oleh banyak netizen sebagai simbol kejujuran dan kedekatan dengan pendengar. Seperti itulah Mangu, bukan sekadar lagu, tapi kesejukan di tengah kepenatan.
Ruang Kurasi
Ari Lesmana tak pernah membayangkan perjalanan ini. Baginya Mangu adalah refleksi dari perjalanan panjang dan sepi yang ia jalani bersama Fourtwnty, band yang ia bentuk sejak 2010 bersama para sahabatnya Nuwi, Roby Satria, Andi Armand, Primandha Ridho, dan Ryan Maulana.
Ari, yang pernah berkarier di dunia perbankan dan komunikasi sebelum terjun penuh ke musik, menyusun Mangu berdasarkan kisah sahabatnya, sepasang suami istri yang harus berpisah karena perbedaan keyakinan.
Lagu ini tidak dibentuk dari kemarahan, melainkan dari ketegaran menerima kenyataan. Tak menggurui, tak menjerit, hanya mengalun pelan dan justru karena itu, ia menembus hati banyak pendengar.
Lagu ini juga memperlihatkan bagaimana TikTok, sebagai platform sosial, bukan hanya memviralkan hal-hal instan, tetapi juga bisa menjadi ruang kurasi emosional kolektif.
Netizen, terutama Gen Z, menemukan Mangu bukan karena kampanye, tetapi karena merasa “terwakili.” Mereka menjadikan lagu ini sebagai suara mereka sendiri. Dan dalam dunia yang penuh kebisingan, suara lirih seperti Mangu justru terasa meneduhkan.
Yang menarik, Fourtwnty sendiri justru sedang dalam masa vakum. Pada Februari 2025, melalui akun Instagram resminya, band ini mengumumkan hiatus untuk memberi ruang bagi masing-masing personel beristirahat dan mengolah ulang perjalanan mereka.
Tak ada konflik internal, tak ada drama, hanya jeda yang disepakati bersama. Tetapi ironi yang indah pun terjadi, justru ketika mereka diam, karya mereka bersuara lantang.
Band yang selama ini dikenal dengan pendekatan musik yang tenang dan reflektif ini tampaknya tidak pernah memburu spotlight. Mereka dikenal melalui karya-karya seperti "Zona Nyaman", "Aku Tenang", dan "Realita" yang seluruhnya berangkat dari penghayatan, bukan eksploitasi tren.
Baca juga: Ini penyebab musisi Gustiwiw meninggal dunia di penginapan
Mangu hadir sebagai kelanjutan dari sikap musikal tersebut, sebuah pernyataan bahwa karya yang jujur tidak akan mati, meski tertunda didengarkan. Fenomena Mangu bukan hanya pencapaian statistik, namun pelajaran. Bahwa tidak semua harus cepat untuk bisa sampai. Bahwa karya yang lahir dari keheningan tetap bisa menemukan panggungnya, asal sabar dan setia. Dalam industri yang sering kali memuja viralitas sesaat, kisah ini membuktikan bahwa waktu dan rasa tetap punya kuasa.
Baca juga: Titiek Sandhora berpesan ke musisi muda bertahan di industri musik
Fourtwnty telah membuktikan bahwa diam bukan berarti mati. Dalam hening, mereka tetap tumbuh. Dalam jarak dari panggung, lagu mereka tetap merambat ke jutaan telinga. Bahkan, mungkin karena mereka diamlah, Mangu bisa terdengar lebih jernih.
Kini, ketika lagu itu mendunia, mereka tidak perlu menjelaskan banyak hal. Lagu itu sudah berbicara sendiri. Dalam satu bait, satu suara, satu wajah sendu yang bernyanyi dari pojok toko. Dunia mendengar, dan akhirnya mengerti.
Hingga mungkin, semua sedang ter-Mangu, tak hanya karena lagu itu menyentuh, tapi karena ia datang saat dunia tak lagi bisa menjelaskan apa-apa, kecuali dengan diam dan nyanyian. Merenungi tentang betapa ajaibnya waktu.