Mataram (ANTARA) - Apakah pantas seorang mantan terpidana memimpin jabatan strategis di birokrasi daerah? Pertanyaan ini kini mencuat setelah pelantikan Irnadi Kusuma sebagai Kepala DPMPTSP NTB. Peristiwa ini menjadi contoh nyata bagaimana birokrasi kita kerap terjebak dalam tafsir sempit hukum, tetapi mengabaikan makna substantif dari integritas pejabat publik.
Memang benar, peraturan kepegawaian hanya melarang pejabat apabila sedang menjalani hukuman pidana. Namun, di balik celah hukum itu tersisa persoalan serius: publik menuntut pejabat publik yang bersih dan berintegritas. Mengangkat seorang mantan terpidana ke jabatan tinggi sama artinya dengan menegaskan bahwa integritas bisa dinegosiasikan, sepanjang aturan formal masih membuka ruang. Ini jelas bertentangan dengan semangat good governance dan reformasi birokrasi yang sudah lama digaungkan.
Kasus ini juga menyingkap kelemahan standar regulasi kita. PP No. 11 Tahun 2017 jo. PP No. 17 Tahun 2020 memang memberi syarat administratif, tetapi tidak menegaskan 'rekam jejak bersih' sebagai prasyarat substantif. Padahal, di banyak negara lain, larangan bagi mantan terpidana menduduki jabatan publik diterapkan secara ketat, karena integritas dipandang sama pentingnya dengan kompetensi. Kekosongan norma inilah yang akhirnya dimanfaatkan, dan berujung pada krisis kepercayaan publik terhadap objektivitas seleksi pejabat.
Dari perspektif hukum administrasi negara, tindakan pengangkatan pejabat publik harus tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014. Di antara asas itu terdapat asas kecermatan, kepastian hukum, keterbukaan, dan kepentingan umum.
Mengangkat seorang mantan terpidana jelas mengabaikan asas kepentingan umum, sebab menimbulkan keresahan sosial dan menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah daerah. Dengan demikian, meskipun legal secara administratif, pelantikan tersebut cacat secara legitimasi.
Dalam konteks ini, Gubernur NTB selaku pejabat pembina kepegawaian daerah tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas pelantikan tersebut. Keputusan gubernur melantik seorang mantan terpidana justru menimbulkan preseden buruk dalam tata kelola birokrasi.
Padahal, gubernur seharusnya menjunjung tinggi asas kepatutan dan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014. Dengan mengabaikan hal itu, gubernur tidak hanya mempertaruhkan kredibilitas pemerintah daerah, tetapi juga mengurangi legitimasi moral kepemimpinannya di mata publik NTB.
Karena itu, pelantikan Irnadi Kusuma seharusnya menjadi alarm korektif bagi pemerintah. Kita membutuhkan regulasi yang lebih tegas dan berani: jabatan publik strategis tidak boleh diisi oleh mereka yang memiliki catatan pidana, betapapun ringannya. Tanpa integritas, jargon 'pemerintahan bersih' hanya akan menjadi slogan kosong. Integritas bukan sekadar formalitas hukum, melainkan fondasi moral yang tidak boleh ditawar.
*) Penulis adalah Praktisi dan Akademisi Hukum Administrasi Negara, Universitas Muhammadiyah Mataram
