Stunting Melambung Tinggi, Mengapa?

id Stunting,Dokter

Stunting Melambung Tinggi, Mengapa?

dr Eriska Ayu Wirindri

Mataram (ANTARA) - Masalah stunting dialami oleh sebagian besar anak di negara berkembang seperti Indonesia. Fasilitas kesehatan yang terbebani, rantai pasokan makanan yang terganggu dan hilangnya pendapatan karena COVID-19 menyebabkan peningkatan tajam jumlah anak-anak yang mengalami masalah gizi di Indonesia.

Bahkan sebelum COVID-19 pun Indonesia sudah menghadapi masalah gizi yang tinggi. Sebagian besar masyarakat mungkin belum memahami istilah yang disebut stunting.

Stunting atau yang sering disebut "Perawakan Pendek" adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak seperti tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.

Pada 2018, Kementerian Kesehatan menyatakan sebanyak tiga dari 10 anak Indonesia bertubuh pendek. Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia, juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa.

Hal ini dikarenakan anak stunting, bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya (bertubuh pendek/kerdil) saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang mana akan sangat mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas di usia-usia produktif.

Fakta miris yang terjadi, menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sekitar 182 juta anak di dunia menderita stunting. Di Indonesia terdapat 7,8 juta dari 23 juta balita menderita stunting. Bila dipresentasekan sebanyak 35,6 persen padahal WHO menetapkan batas toleransi stunting maksimal sebanyak 20 persen saja.

Kepala Dinas Kesehatan NTB, menyampaikan data Dinas Kesehatan NTB untuk kasus stunting tercatat cukup tinggi mencapai 33,49 persen. Dimana, kabupaten / kota tertinggi merupakan Lombok Timur sebanyak
43 persen dan terendah di Kabupaten Sumbawa Barat sebanyak 18 persen.

Angka ini menyebabkan NTB masuk sebagai salah satu provinsi yang nilai stuntingnya di atas angka nasional sebesar 29,6 persen.

Tingginya angka stunting di NTB, semata-mata bukan karena persoalan ketidakmampuan masyarakat dalam memberikan makanan ataupun asupan gizi yang baik bagi anak-anaknya. Tapi lebih karena persoalan perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan pola asupan gizi anak.

IDAI menyebutkan bahwa stunting disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik. Lingkungan merupakan aspek penting yang masih bisa diintervensi sehingga stunting dapat diatasi.

Faktor lingkungan yang berperan dalam stunting antara lain status gizi ibu, pola pemberian makan pada anak, kebersihan lingkungan, juga oleh faktor genetik dan hormonal. Akan tetapi menurut penelitian sebagian besar stunting disebabkan karena malnutrisi.

Awal kehamilan sampai anak berusia dua tahun ( periode 1000 Hari Pertama Kehidupan) merupakan periode kritis terjadinya gangguan pertumbuhan termasuk perawakan pendek.

Pada periode seribu hari pertama kehidupan ini sangat penting untuk dilakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan secara berkala dan tentu saja pemenuhan kebutuhan dasar anak yaitu nutrisi, kasih sayang dan stimulasi.

Upaya yang dapat dilakukan para orang tua untuk mengantisipasi stunting pada anak adalah:

1. Bagi ibu hamil wajib memeriksakan rutin kandunganya, menghindari asap rokok dan memenuhi gizi selama hamil seperti asupan zat besi, asam folat dan yodium.
2. Mendatangi fasilitas kesehatan untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak.
3. Memberikan asi ekslusif sampai anak berusia enam bulan dan memberikan MPASI yang memadai.
4. Mengikuti program imunisasi terutama imunisasi dasar.

Memberantas stunting tidak hanya harus jadi perhatian pelaku sektor kesehatan. Sektor ketersediaan pangan, harga pangan terjangkau dan lapangan kerja guna mencukupi kebutuhan hidup juga perlu diperhatikan.

Peran perempuan dalam ekonomi keluarga dan pengasuhan anak sangat diperlukan. Selain itu kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan guna mencegah melambungnya angka stunting di Indonesia.


Oleh: dr Eriska Ayu Wirindri

Sumber: DIKES NTB, KEMENKES, IDAI, UNICEF INDONESIA, WHO