WAJAH PENDIDIKAN DI "PULAU PANGLIMA MAYONG" Oleh Masnun

id

         "Pasak sakola maluak kepeh, pasak kadilaok ngolek kepeh". Ungkapan dalam bahasa daerah suku Bajo ini artinnya, "Masuk sekolah keluar uang, masuk laut dapat uang".
        Ungkapan bermakna "sinisme" itu kerap diungkapkan sebagian warga  desa nelayan  Pulau Bungin. Mereka menganggap lebih baik melaut menangkap ikan ketimbang sekolah menghabiskan banyak biaya.
        Bagi sebagian warga yang bermukim di pulau karang ini, sekolah seakan-akan tak bermanfaat dan tidak memberikan keuntungan, mereka menganggap lebih baik mencari ikan di laut yang hasilnya bisa langsung dinikmati.
        Kondisi itu menyebabkan dunia pendidikan di Pulau Bungin yang masuk wilayah Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat  tidak berkembang. Sebagian besar "anak-anak pulau" ini hanya tamat Sekolah Dasar (SD).
        Kepala Desa Pulau Bungin, Kecamatan Alas  Sofian (40) tak menampik  kondisi sektor pendidikan yang cukup memprihatinkan itu. Memang benar sebagian warga menganggap pendidikan kurang penting.
        Relatif rendahnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka itu karena berbagai faktor. Bungin yang berada di perairan laut Sumbawa  merupakan pulau "terapung" yang terisolasi dari wilaha daratan.
        Menurut kepala desa yang juga nelayan, moda transportasi di pulau karang buatan itu hanya mengandalkan perahu motor atau sampan dayung. Setiap warga terpaksa menempuh jarak 5,5 kilometer untuk menempuh daratan di Kecamatan Alas yang memakan waktu satu hingga dua jam.
        "Demikian juga anak-anak di Pulau Bungin yang sekolah di SMP  di Kecamatan Alas harus bangun sebelum  pukul 04.00 Wita agar tidak terlambat masuk sekolah. Jika tidak tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah," ujar kepala desa lulusan SMA itu.
        Selain harus bangun pagi buta "anak-anak pulau" ini juga harus mengeluarkan biaya transportasi cukup banyak setiap hari untuk ongkos perahu dan angkot agar tidak terlambat sampai di sekolah.
        Kondisi ini, menurut Sofian, menyebabkan para orang tua menanggung beban berat dalam menyekolahkan anak-anak mereka, sehingga hanya sebagian kecil warga yang mampu melanjutkan pendidikan anak-anak mereka hingga jenjang sekolah lebih tinggi.
        Karena itu tidak mengherankan jika  sebagian besar warga  di desa nelayan ini menganggap lebih baik "pongkak" (menangkap  ikan di laut) ketimbang sekolah.
        "Karena itu dulu anak-anak yang melanjutkan sekolah ke tingkat SMP bisa dihitung dengan jari. Lulusan dari dua  SD yang ada di Pulau Bungin hanya sebagian kecil yang melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi," tutur Sofian mengenang masa sulit yang dihadapi warganya.
        Namun wajah buram dunia pendidikan di desa  yang disebut-sebut sebagai pulau karang buatan yang luasnya terus bertambah dan  terpadat di dunia ini menjadi fenomena sosial ketika pulau ini masih terisolasi dari daratan.
                                                  Geliat pendidikan          
       Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan zaman serta meningkatnya kondisi  perekonomian masyarakat, geliat dunia pendidikan mulai nampak. "Anak-anak pulau" semakin banyak yang melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, bahkan tidak hanya sampai SMP, tetapi mulai banyak yang melanjutkan hingga ke SMA, bahkan ke perguruan tinggi.
        Kondisi yang cukup menggembirakan ini mulai nampak ketika Pemerintah Kabupaten Sumbawa bersama masyarakat membangun infrastruktur jalan tembus dari daratan menuju Pulau Bungin sepanjang 750 meter dengan lebar delapan meter.
       "Pembangunan jalan tembus dengan cara menimbun laut itu dilaksanakan tahun 2002. Ini merupakan tonggak awal dari kebangkitan dunia pendidikan di Pulau Bungin dan perekonomian masyarakatnya pun mulai berkembang," tutur Sofian dengan penuh semangat.
       Sejatinya pembangunan jalan tembus menuju pemukiman warga di pulau yang dikenal cerita unik tentang  kambing makan uang, kertas koran, sobekan jaring/jala penangkap ikan itu telah mengubah kondisi kehidupan warga "bubungin" (Pulau Bungin) yang dalam bahasa daerah suku Bajo bermakna gugusan pasir putih.  
      Kehidupan masyarakat di Pulau Bungin pada satu dasa warsa silam memang lekat dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Namun kini kondisinya jauh berbeda, filosofi masyarakat tentang dunia pendidikan telah berubah, tak lagi memandang "pongkak" (menangkap ikan) lebih penting dan menguntungkan ketimbang "sakola" (sekolah).
       Sofian menilai cara berpikir masyarakat Pulau Bungin sudah berubah, kini warga sudah mulai berpandangan maju dan memandang sektor pendidikan penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan memajukan desa mereka.
       "Alhamdulillah kini semangat warga untuk menyekolahkan anak-anak mereka cukup tinggi, tidak saja sampai di tingkat SMA, tetapi juga sudah banyak yang kuliah di berbagai perguruan tinggi. Bahkan  beberapa diantaranya ada yang kuliah di  perguruan tinggi ternama di Pulau Jawa," kata pria yang sudah dua kali ini memimpin Desa Pulau Bungim.               
      Dengan bangga Sofian mengungkapkan sejak beberapa tahun ini "anak-anak pulau" ini sudah banyak yang lulus perguruan tinggi, ada diantaranya lulus sekolah perawat dan kini mengabdi di Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu (Pustu) di Pulau Bungin dan ada juga yang  bekerja di bank.
        Dampak lain yang dirasakan warga di pulau karang buatan dengan luas sekitar delapan hektare setelah dibukanya jalan tembus ini adalah  arus transportasi semakin lancar. Masyarakat tak hanya bergantung pada moda transportasi laut.
       "Belasan tahun silam sebagian warga kami nyaris tak mengenal bau asap knalpot kendaraan bermotor. Kini sudah banyak yang beli sepeda motor, bahkan ada warga yang memiliki kendaraan roda empat untuk mengangkut penumpang," kata pria yang kini menjadi Kepala Desa Pulau Bungin untuk kedua kalinya.
        Kini kesejahteraan masyarakat di pulau yang berjarak sekitar 70 kilometer arah barat Kota Sumbawa Besar (Ibukota Kabupaten Sumbawa) ini kian meningkat.
       Warga bisa langsung menjual ikan hasil tangkapannya ke pasar dalam kondisi masih segar dengan harga lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
       Sofian mengakui kehadiran jalan tembus ke Pulau Bungin ini sempat menimbulkan masalah bagi warga, karena keberadaan tanggul jalan ini memunculkan genangan air yang menyebabkan penyakit malaria.
       Bahkan mewabahnya malaria beberapa tahun lalu sempat ditetapkan statusnya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
       "Namun kami berhasil mengatasi masalah itu dengan membangun gorong-gorong, sehingga sirkulasi air laut menjadi lancar dan penyakit malaria berangsur-angsur hilang dan kini derajat kesehatan masyarakat  semakin meningkat," tutur pria berpenampilan rapi itu.
       Persoalan lain yang masih dirasakan warga Pulau Bungin adalah kondisi jalan yang masih kurang baik, jalan masih berbatu sehingga mengganggu kenyamanan pengguna jalan dan waktu tempuh juga cukup lama.
        Karena itu, menurut Sofian, jalan darat sepanjang  4 kilometer dari Desa Alas menuju Pulau Bungin harus segera diaspal guna menunjang kelancar an arus transportasi dari dan ke pulau tersebut.
        "Ketika Wakil Gubernur NTB H Badrul Munir ketika berkunjung ke Pulau Bungin berjanji akan segera mengaspal jalan tersebut, namun hingga kini belum ada realisasi. Masyarakat menunggu janji pemerintah itu," kata Sopian dengan nada penuh harap.    
      Melihat kondisi kehidupan masyarakat Pulau Bungin yang semakin membaik dan kian meningkatnya minat "anak-anak pulau" untuk melanjutkan sekolah, Perintah Kabupaten Sumbawa bertekad untuk membangun fasilitas pendidikan di pulau itu.
        Sejumlah warga Desa Pulau Bungin mengakui dampak positif dari keberadaan jalan tembus  tersebut terutama terhadap
sektor pendidikan dan perekonomian mereka.
        Hajjah Kulsum, salah seorang warga Pulau Bungin menilai dengan telah dibangunnya akses darat menuju pulau ini telah terbukti meningkatkan kesejahteraan masayarakat. Kini Bungin tidak lagi merupakan pulau terisolasi.
        "Anak-anak kami bisa sekolah ke jenjang lebih tinggi tanpa harus membebani orang tua mereka dengan biaya yang tinggi terutama untuk biaya transportasi. Anak saya sudah tamat sekolah dana kini bekerja di bank," kata wanita setengah baya itu penuh kebahagiaan.
         Selain itu, katanya, para istri nelayan bisa menjual ikan hasil tangkapan suaminya ke pasar. Ikan yang dijual juga masih segar sehingga harganya lebih tinggi.
        Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Taman Kanak-Kanak A Rahman SPd MM menilai  dunia pendidikan di Pulau Bungin kini mulai berkembang pesat.
        "Sejak beberapa tahun terakhir minat para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang lebih tinggi semakin meningkat terutama sejak dibukanya jalan tembus," ujarnya.
        Untuk menunjang sektor pendidikan di Pulau Bungin, kini Pemerintah Kabupaten Sumbawa tengah membangun Sekolah SMP Satu Atap untuk memberikan kemudahan kepada anak-anak lulusan SD melanjutkan sekolahnya.
        Sebelumnya sudah ada dua SD di Palau Bungin dan telah ada SMP Terbuka. Dengan adanya SMP Satu Atap, maka akan lebih memudahkan anak-anak di pulau ini melanjutkan sekolah.
         
                                       Panglima Mayong
      Pulau karang buatan yang berada di perairan laut Sumbawa itu konon berawal dari sebuah gundukan pasir putih yang tidak terlalu luas.
        Sekitar 193 tahun silam atau tepatnya 1818, seorang pelaut asal Sulawesi yang dipercaya Kesultanan Sumbawa untuk menjaga keamanan perairan Sumbawa dari gangguan bajak laut saat itu saat itu.
        Panglima Mayong, pelaut ulung asal Sulawesi Selatan  yang ditakuti dan disegani bajak laut saat itu kemudian membangun tempat tinggal dengan menyusun batu karang mati di atas gundukan pasir putih.
        Di lokasi gundukan pasir yang dalam bahasa Bajo berarti "bubungin" itulah  Panglima Mayong tinggal bersama keluarganya.  
      Masyarakat Pulau Bungi mempercayai bahwa Panglima Mayong merupakan nenek moyang mereka dan orang pertama yang tinggal di pulau karang buatan itu.
        Salah satu bukti dari keberadaan panglima Mayong adalah dua pusaka berupa bendera "Bendera Macan" dan "Bendera Lipan" yang hingga kini masih disimpan dengan baik oleh keturunan nenek moyang suku Bajo di Pulau Bungin.
        Pulau buatan yang berada sekitar 70 kilometer arah Barat Sumbawa Besar (Ibukota Kabupaten Sumbawa) itu memiliki berbagai keunikan yang mungkin tidak ditemukan di daerah atau pulau lain.     
      Berbagai keunikan yang bisa ditemukan di pulau buatan ini adalah dari sisi  kepadatan penduduk. Banyak orang menyebut Bungin sebagai sebagai pulau terpadat di dunia. Desa Pulau Bungin yang luasnya hanya 8,53 hektare itu kini dihuni 883 kepala keluarga (KK) atau 3.087 jiwa. Dalam satu unit rumah dihuni oleh tiga hingga empat KK.
        Bahkan tingkat Kepadatan penduduk Pulau Bungin di Kabupaten Sumbawa ini elebihi Pulau Jawa yang dihuni hanya 38.588 jiwa per kilometer persegi.
        Mungkin memang benar  Pulau Bungin merupakan satu-satunya pulau buatan yang luasnya terus bertambah.
        Menurut hasil pengukuran. tahun 2002 luas Pulau Bungin a hanya enam hektare, kini bertambah menjadi sekitar delapan hektare.
        Jarak rumah warga di pulau karang buatan itu hanya satu hingga satu setengah meter, bahkan antara atap rumah warga yang satu dan lainnya saling bertemu. Nyaris tidak ada sela antara sat rumah dan yang lainnya.  
        Bertambahnya luas wilayah desa di pulau karang ini, karena setiap ada penambahan penduduk terutama laki-laki selalu diikuti oleh kewajiban membangun rumah dengan membuat pondasi dari batu karang mati di atas air laut bagai tempat membuat rumah baru.
        Di kalangan masyarakat Pulau Bungin masih berlaku tradisi bahwa setiap pria dewasa diwajibkan membuat pondasi rumah dari batu karang seluas 6X12 meter yang disebut "Talassaq".
        Inilah yang menyebabkan luas pulau karang buatan itu terus bertambah dan penduduknya semakin padat.
        Wajah dunia pendidikan di "Pulau Panglima Mayong"  itu kini secerah senyum "anak-anak pulau" dalam menatap masa depan yang lebih cerah, karena kini mereka bisa menikmati pendidikan setinggi mungkin.  (*)