Mataram (ANTARA) - Belum genap setahun menjalankan tugas sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kajati NTB), Sungarpin sudah mendapat amanah baru sebagai Inspektur V pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Amanah tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin Nomor 19 Tahun 2023 yang terbit pada 25 Januari 2023.
Jaksa Agung mengutus Nanang Ibrahim Soleh yang kini menduduki jabatan Wakil Kajati Sumatera Selatan untuk menggantikan tugas Sungarpin sebagai Kajati NTB.
Dalam rekam jejak Sungarpin menjabat sebagai Kepala Kejati NTB terhitung sejak pelantikan pada 2 Maret 2022, belum ada tercatat satu pun prestasi penyelesaian kasus tindak pidana korupsi. Seluruh kasus, terkesan mentok di tahap penyidikan.
Berikut sejumlah kasus yang berada di bawah periode penanganan Sungarpin menjabat sebagai Kepala Kejati NTB.
Baca juga: Kajati dan Wakajati NTB masuk daftar mutasi Kejagung
Aset Gili Trawangan
Kasus pertama yang cukup menyita perhatian hingga menggema di lingkup pemerintah pusat adalah persoalan penyelamatan aset di salah satu destinasi wisata andalan Provinsi NTB, Yakni Gili Trawangan.
Aset tersebut berupa lahan seluas 65 hektare yang sebelumnya tercatat dalam kontrak produksi antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB dengan PT Gili Trawangan Indonesia (GTI).
Kejaksaan pun telah mengambil peran dalam penyelamatan aset Pemprov NTB di Gili Trawangan tersebut. Pemutusan kontrak dengan PT GTI oleh Pemprov NTB adalah tindak lanjut dari hasil kajian jaksa pengacara negara.
Salah satu pertimbangan melihat beragam usaha pariwisata berkembang secara masif di atas lahan tersebut selama puluhan tahun. Namun, hal itu pun tercatat tidak sebanding dengan pendapatan yang masuk ke daerah.
Dalam kajian kejaksaan pun muncul dugaan pidana penjualan aset tanpa legalitas yang sah. Ada peran oknum yang sengaja mengambil keuntungan dari pembiaran lahan tersebut.
Hal itu pun yang menjadi dasar Kepala Kejati NTB mengeluarkan surat perintah tugas penyidikan yang mengarah pada dugaan korupsi aset.
Namun, terhitung sejak masuk penyidikan pada Februari 2022, kasus ini belum juga menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Terakhir, pada periode Oktober 2022, terungkap adanya pemeriksaan salah seorang warga yang mengelola usaha di dalam kawasan tersebut.
Wakil Bupati Lombok Utara
Kasus kedua yang turut menjadi sorotan publik adalah kasus dugaan korupsi proyek penambahan Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Lombok Utara yang menelan APBD Tahun Anggaran 2019 senilai Rp5,1 miliar.
Dalam proyek yang dikerjakan PT Batara Guru Group muncul dugaan korupsi setelah pemerintah memutus kontrak proyek di tengah progres pengerjaan. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya kerugian negara hasil hitung awal dari Inspektorat Lombok Utara sedikitnya Rp240 juta.
Modus korupsi dari kasus ini berkaitan dengan pekerjaan proyek yang tetap dinyatakan selesai meskipun masih ada dugaan kekurangan volume pekerjaan. Angka kerugian negara itu muncul dari dugaan tersebut.
Terakhir, Kepala Kejati NTB Sungarpin secara resmi menyampaikan bahwa pihaknya telah meminta audit ulang Inspektorat NTB dengan hasil gelar yang menyatakan menganulir audit pertama.
Dalam kasus ini pun Kejati NTB menetapkan Wakil Bupati Lombok Utara Danny Karter Febrianto (DKF) sebagai tersangka saat mengemban jabatan staf ahli dari konsultan pengawas proyek dari CV Indo Mulya Consultant.
DKF menjadi tersangka bersama pimpinan CV Indo Mulya Consultant berinisial LFH, Direktur RSUD Lombok Utara berinisial SH, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek berinisial HZ, dan kuasa Direktur PT Batara Guru Group berinisial MF.
Dana KUR Perbankan
Kasus selanjutnya berkaitan dengan program bantuan pemerintah untuk kalangan petani di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah. Dalam penyaluran bantuan tersebut, pemerintah melibatkan peran salah satu bank konvensional dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Dalam kasus ini pun kejaksaan telah mengantongi kerugian negara dengan besaran yang cukup fantastis senilai Rp29,6 miliar. Angka tersebut muncul dari hasil audit BPKP NTB.
Dengan adanya alat bukti kuat dari hasil audit, kejaksaan secara resmi menetapkan peran dua tersangka. Mereka berinisial AM (54) dan IR (52).
Tersangka AM merupakan mantan pejabat dari perbankan konvensional yang menyalurkan dana KUR. Sedangkan tersangka IR, seorang bendahara dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) NTB.
Terhadap kedua tersangka, penyidik kejaksaan telah menitipkan penahanan mereka di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Mataram, Kuripan, Kabupaten Lombok Barat.
Untum perkembangan kasus pun kini telah berada di jaksa penuntut umum. Kasus ini pun tinggal menunggu pelimpahan ke meja persidangan.
Dana KONI Rp10 miliar
Pada pertengahan Juni 2022, penyidik kejaksaan melakukan penggeledahan di Kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Dompu.
Beberapa dokumen penting yang berhubungan dengan penyaluran dana hibah ke KONI Dompu telah disita. Proses penyaluran dana hibah yang diketahui melalui BPKAD dan Disdikpora Dompu jadi alasan penggeledahan.
Tindak lanjut dari penggeledahan itu, penyidik kejaksaan juga telah melaksanakan serangkaian pemeriksaan terhadap para saksi.
Dasar penggeledahan ini berkaitan dengan adanya dugaan korupsi dalam pengelolaan dana hibah KONI Dompu periode tahun 2018 hingga 2021. Muncul dugaan penyelewengan dana dengan nilai Rp10 miliar.
Dalam perkembangan terakhir, kejaksaan menggandeng Inspektorat NTB untuk melakukan audit kerugian negara. Dokumen hasil penggeledahan maupun keterangan saksi menjadi dasar audit.
PTAM Giri Menang
Terakhir, kasus yang cukup menarik adalah dugaan korupsi dalam kegiatan pungutan retribusi sampah yang diterapkan dalam setiap tagihan pembayaran para pelanggan PT Air Minum (PTAM) Giri Menang.
Dugaan korupsi muncul dalam periode 2017-2021 sejak item retribusi sampah dengan nominal Rp5.000 tersebut masuk dalam setiap nota tagihan pembayaran para pelanggan.
Kejaksaan pun menetapkan kasus ini masuk tahap penyelidikan sejak Februari 2022, dengan indikasi tidak adanya regulasi dari pungutan retribusi tersebut.
Namun, sejak kasus ini berjalan di tahap penyelidikan, kejaksaan belum mengungkap perkembangan lebih lanjut.