IDI NTB agendakan aksi solidaritas penangkapan dokter

id IDI NTB agendakan aksi solidaritas terkait penangkapan dokter di Manado

IDI NTB agendakan aksi solidaritas penangkapan dokter

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengagendakan aksi solidaritas terkait penangkapan dokter yang dilakukan tim kejaksaan di Manado, Sulawesi Utara. Aksi solidaritas itu akan digelar Rabu (27/11), tapi bukan aksi turun ke jalan,

"Aksi solidaritas itu akan digelar Rabu (27/11), tapi bukan aksi turun ke jalan, melainkan diam tidak bekerja, dan tidak juga buka praktik," kata Ketua IDI NTB dr I K Gerudak.
Mataram (Antara Mataram) - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengagendakan aksi solidaritas terkait penangkapan dokter yang dilakukan tim kejaksaan di Manado, Sulawesi Utara.

"Aksi solidaritas itu akan digelar Rabu (27/11), tapi bukan aksi turun ke jalan, melainkan diam tidak bekerja, dan tidak juga buka praktik," kata Ketua IDI NTB dr I K Gerudak, usai menemui Wakil Gubernur NTB H Muh Amin, di Mataram, Selasa.

Gerudak didampingi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB Drg Eka Junaidi, dan Direktur RSU Provinsi NTB dr H Lalu Mawardi Hamri, menemui Wakil Gubernur NTB guna menginformasikan rencana aksi solidaritas tersebut.

Ia mengatakan, aksi solidaritas itu dilakukan karena kesal dengan pola penangkapan terhadap seorang dokter yang polanya sama dengan penanganan pelaku tindak pidana teroris.

Selain itu, IDI menilai bahwa dokter yang ditangkap itu merupakan korban kriminalisasi terhadap ahli medis.

"Masak dokter ditangkap dan diborgol seperti seorang pelaku teroris, itu tidak manusiawi, makanya kami akan gelar aksi solidaritas, dan aksi itu serentak akan dilakukan IDI di seluruh Indonesia," ujar Gerudak.

Dia memperjelas bentuk aksi solidaritas yang direncanakan, yakni duduk diam tidak bekerja sebagaimana seorang ahli medis di rumah sakit maupun institusi kesehatan lainnya.

Meskipun tetap masuk kantor, para dokter di wilayah NTB itu hanya akan duduk diam, dan mengenakan pita hitam di lengan sebagai tanda duka cita terhadap nasib sejumlah dokter yang ditangkap aparat kejaksaan.

"Kami bukan mogok, kami hanya tidak mau bekerja seharian besok. Itu tanda solidaritas kami terhadap sesama dokter yang ditangkap dan diperlukan seperti pelaku teroris," ujarnya.

Sementara itu, Direktur RSUP NTB Mawardi Hamri mengatakan, pelayanan ahli medis yang terhenti seharian terkait aksi solidaritas itu, tidak berlaku bagi pelayanan darurat atau emergensi dan pelayanan pasien dari keluarga miskin.

Pasien emergensi harus tetap dilayani karena berkaitan dengan persoalan kemanusiaan, demikian pula pasien dari keluarga miskin yang juga harus dilayani karena akan berdampak buruk bagi pelayanan kesehatan.

"Jadi, hanya pelayanan emergensi dan pasien miskin saja yang akan dilayani besok. Layanan lainnya terhenti sebagai bentuk aksi solidaritas terhadap dokter yang diperlakukan tidak manusiawi saat penangkapan oleh aparat kejaksaan," ujar Mawardi.

Hal serupa juga dikemukakan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB drg Eka Junaidi, yang menekankan bahwa aksi solidaritas itu hanya berlangsung sehari yakni 27 November 2013.

Aksi mogok kerja sementara itu, tidak boleh berlangsung lama karena dapat mengganggu pelayanan kesehatan masyarakat luas.

"Cuma sehari, keesokan harinya aktivitas para ahli medis tetap seperti biasa. Praktik dokter pun akan dibuka," ujar Eka.

Pada Sabtu (23/11) sekitar pukul 22.00 Wita, terpidana kasus malpraktik di Manado dr Hendry Simanjuntak, SpOG ditangkap tim Kejaksaan Negeri Manado, di kampung halamannya di Sumatera Utara.

Dokter Hendry Simanjutak itu kemudian dibawa ke Manado dengan pesawat Batik Air jurusan Jakarta-Manado.

Kini dr Simanjuntak ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Malendeng, Manado, bersama dr Ayu yang sudah lebih dulu ditangkap tiga pekan lalu.

Penahanan Ayu pun telah memicu protes besar-besaran dari rekan-rekan sejawatnya di Manado dan beberapa kota lainnya.

Hendry Simanjutak bersama dr Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dr Hendy Siagian masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) setelah Mahkamah Agung (MA) memidanakan mereka bersalah atas kasus malapraktik di Rumah Sakit Prof Kandouw, Manado, pada 2010 lalu.

Ketiga dokter itu dianggap bersalah yang mengakibatkan meninggalnya pasien Julia Fransiska Makatey sewaktu mereka tangani.

Kasus tersebut berlanjut hingga tahapan kasasi, dan pada 18 September 2012, MA menghukum 10 bulan penjara bagi ketiga dokter tersebut. Namun, ketika hendak dieksekusi, ketiga dokter buron sehingga masuk dalam DPO. (*)