Mataram (Antara Mataram) - Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH M Zainul Majdi menyayangkan aksi mogok kerja yang dilakukan para dokter di wilayah kepemimpinannya, terkait aksi solidaritas terhadap rekan sejawat yang ditangkap tim kejaksaan di Manado, Sulawesi Utara.
"Saya juga ikut prihatin (terhadap penangkapan dokter), tapi sangat disayangkan ketika para dokter tidak bekerja," kata Zainul, saat meninjau Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) NTB di Mataram, ketika para dokter mogok kerja, Rabu.
Gubernur NTB dua periode berturut-turut sejak 2008 itu, meninjau Instalasi Rawat Darurat (IRD) dan sejumlah unit pelayanan di RSUP NTB, dan menemukan hanya empat orang dokter dari total 129 orang dokter, terdiri dari 62 orang dokter spesialis dan 67 orang dokter umum.
Empat orang dokter itu pun hanya mau melayani pelayanan darurat atau emergensi, sesuai kesepakatan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTB, terkait aksi solidaritas terhadap penangkapan dokter di Manado itu.
Gubernur juga meninjau kondisi pelayanan di beragam poli di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi NTB itu, dan tidak menemukan dokter yang sedang bertugas.
Ia mengatakan, aksi keprihatinan terhadap rekan sejawat boleh saja dilakukan para dokter, namun tidak harus mogok kerja, karena peran dokter sangat spesifik dan tidak bisa diwakili oleh pihak lain, semisal dukun.
"Aksi keprihatinan semestinya dilakukan dengan cara-cara yang lebih bertanggung jawab, misalnya membawa spanduk bertuliskan rasa keprihatinan, tetapi pelayanan medis harus tetap dilakukan karena berkaitan dengan persoalan kemanusiaan," ujarnya.
Tokoh ulama kharismatik di NTB itu, mengaku semakin prihatin, ketika mengetahui sejumlah warga dari berbagai kabupaten yang jauh dari RSUP NTB di Mataram, yang hendak meninggalkan rumah sakit namun tidak bisa terealisasi karena dokter mogok kerja.
"Tadi, saya lihat orang dari Praya Lombok Tengah dan dari mana-mana (daerah di luar Mataram) yang mau pulangkan pasien tetapi belum bisa," ujarnya.
Zainul juga mengungkapkan bahwa selama aksi mogok kerja para dokter itu, diharapkan tidak terjadi kematian pasien akibat tidak terlayani ahli medis.
"Jangan sampai ada pasien yang meninggal, kalau itu terjadi maka akan dihubung-hubungkan dengan aksi mogok kerja para dokter, dan ini akan merusak kredibilitas para dokter," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua IDI NTB dr I K Geruduk mengatakan, aksi mogok kerja sebagai bentuk aksi solidaritas itu dilakukan karena kesal dengan pola penangkapan terhadap seorang dokter yang polanya sama dengan penanganan pelaku tindak pidana teroris.
Selain itu, IDI menilai bahwa dokter yang ditangkap itu merupakan korban kriminalisasi terhadap ahli medis.
"Masa dokter ditangkap dan diborgol seperti seorang pelaku teroris, itu tidak manusiawi, makanya kami akan gelar aksi solidaritas, dan aksi itu serentak akan dilakukan IDI di seluruh Indonesia," ujar Geruduk.
Dia memperjelas bentuk aksi solidaritas yang direncanakan, yakni duduk diam tidak bekerja sebagaimana seorang ahli medis di rumah sakit maupun institusi kesehatan lainnya.
Meskipun tetap masuk kantor, para dokter di wilayah NTB itu hanya akan duduk diam, dan mengenakan pita hitam di lengan sebagai tanda duka cita terhadap nasib sejumlah dokter yang ditangkap aparat kejaksaan.
"Kami bukan mogok, kami hanya tidak mau bekerja seharian besok. Itu tanda solidaritas kami terhadap sesama dokter yang ditangkap dan diperlukan seperti pelaku teroris," ujarnya.
Pada Sabtu (23/11) sekitar pukul 22.00 Wita, terpidana kasus malpraktik di Manado dr Hendry Simanjuntak, SpOG ditangkap tim Kejaksaan Negeri Manado, di kampung halamannya di Sumatera Utara.
Dokter Hendry Simanjutak itu kemudian dibawa ke Manado dengan pesawat Batik Air jurusan Jakarta-Manado.
Kini dr Simanjuntak ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Malendeng, Manado, bersama dr Ayu yang sudah lebih dulu ditangkap tiga pekan lalu.
Penahanan Ayu pun telah memicu protes besar-besaran dari rekan-rekan sejawatnya di Manado dan beberapa kota lainnya.
Hendry Simanjutak bersama dr Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dr Hendy Siagian masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) setelah Mahkamah Agung (MA) memidanakan mereka bersalah atas kasus malpraktik di Rumah Sakit Prof Kandouw, Manado, pada 2010 lalu.
Ketiga dokter itu dianggap bersalah yang mengakibatkan meninggalnya pasien Julia Fransiska Makatey sewaktu mereka tangani.
Kasus tersebut berlanjut hingga tahapan kasasi, dan pada 18 September 2012, MA menghukum 10 bulan penjara bagi ketiga dokter tersebut. Namun, ketika hendak dieksekusi, ketiga dokter buron sehingga masuk dalam DPO. (*)
Gubernur NTB sayangkan mogok kerja para dokter
"Saya juga ikut prihatin (terhadap penangkapan dokter), tapi sangat disayangkan ketika para dokter tidak bekerja," kata Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi.