Karawang (ANTARA) - Abrasi menjadi momok bagi masyarakat pesisir Kabupaten Karawang, Jawa Barat, karena ratusan hektare daratan dan permukiman di daerah tersebut lenyap diempas abrasi selama beberapa tahun terakhir.
Bibir pantai yang dulunya jauh dari permukiman warga di pesisir pantai utara Karawang, kini sudah berada tepat di belakang permukiman warga. Dampaknya, gelombang tinggi sering kali menjadi "tamu tak diundang" yang masuk ke permukiman warga melalui pintu belakang rumah.
Bahkan tidak jarang, gelombang tinggi mengempas dinding rumah warga hingga mengalami keropos dan pada akhirnya ambruk.
Kondisi tersebut di antaranya terjadi di sekitar Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya, Karawang, serta di desa lain sepanjang bibir pantai pesisir utara Karawang.
Selain melenyapkan daratan dan merobohkan permukiman warga, abrasi dan gelombang tinggi juga menghilangkan sejumlah fasilitas umum di wilayah pesisir utara Karawang, seperti memutus jalan raya, menggerus area tambak, permakaman umum, sarana ibadah, dan lain-lain.
Catatan Pemerintah Desa Cemarajaya, abrasi di daerah itu terjadi sejak tahun 1990-an. Hingga kini terus berlangsung dan semakin parah, sampai melenyapkan ratusan permukiman warga. Akibatnya, warga harus pindah ke rumah keluarga dan saudaranya yang jauh dari jangkauan gelombang pantai.
Tak banyak yang dilakukan warga untuk berjuang mempertahankan rumah mereka dari empasan gelombang tinggi dan abrasi di pesisir utara Karawang. Mereka hanya berupaya menghadapi momok itu dengan melakukan turap dari peralatan seadanya, seperti dengan menyimpan karung berisi pasir di bibir pantai, memasang bambu, dan lain-lain. Namun, upaya itu tak sepenuhnya berhasil karena kenyataannya, abrasi dan gelombang tinggi masih terus menghantui.
Mengingat tingginya laju abrasi, pemkab akhirnya mengalihkan penanganan abrasi itu dengan merelokasi warga.
Pemkab Karawang mengakui tak memiliki banyak anggaran untuk menangani abrasi. Apalagi selama puluhan tahun ditangani, abrasi masih terjadi di wilayah pesisir utara Karawang.
Di tengah keterbatasan itu, pemkab melakukan hal lain, yakni dengan membangun rumah layak huni untuk merelokasi warga yang rumahnya sangat berdekatan dengan bibir pantai. Seperti pada tahun ini, Pemerintah Kabupaten Karawang merelokasi 88 keluarga ke rumah layak huni, agar mereka tinggal di tempat yang jauh dari jangkauan gelombang air laut dan abrasi.
Catatan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan setempat, Karawang memiliki wilayah pesisir yang panjang bibir pantainya mencapai 84,23 kilometer. Garis pantai ini terbentang di wilayah Karawang, berbatasan dengan pesisir pantai utara Bekasi dan Subang.
Adapun pada tahun 2020, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Karawang melaporkan bahwa abrasi yang terjadi di wilayah pesisir utara Karawang mencapai 34,626 kilometer, tersebar di sejumlah kecamatan. Namun, titik abrasi terparah berlokasi di Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya.
Dilansir dari laman Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, abrasi adalah suatu proses alam yang berupa pengikisan tanah di daerah pesisir pantai yang disebabkan oleh ombak dan arus laut yang sifatnya merusak.
Abrasi ini terjadi akibat faktor alam yang meliputi akibat pasang surut air laut, angin di atas lautan, gelombang laut, dan arus laut yang sifatnya merusak. Faktor penyebab abrasi lainnya ialah akibat eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan sumber daya laut seperti ikan, terumbu karang, dan biota laut lainnya.
Masih bersumber dari laman Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, sebenarnya ada sejumlah cara untuk penanggulangan abrasi. Di antaranya ialah dengan menanam pohon bakau atau mengrove di sejajar garis pantai untuk menahan gelombang dan arus laut yang mengarah ke pantai, memelihara terumbu karang, melarang penambangan pasir melalui peraturan pemerintah, dan lain-lain. Sementara untuk penanganan abrasi, bisa juga dilakukan dengan membuat turap di sepanjang bibir pantai.
Menyelamatkan dengan bakau, turap, ban bekas
Suhaeri, warga Dusun Pasir Purih, Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat, bisa disebut sebagai sosok pejuang dalam melindungi daerahnya dari ancaman abrasi.
Sekarang, lelaki berusia 54 tahun ini bisa bernapas lega karena usahanya selama bertahun-tahun dalam mengatasi abrasi dan gelombang tinggi yang selalu mengetuk dinding rumah warga, sedikit banyak telah membuahkan hasil.
"Kalau dulu kita hanya melaut, tidak memikirkan kondisi daratan (ancaman abrasi dan gelombang tinggi). Pulang bawa ikan, tapi tanpa disadari, daratan itu makin hari makin hilang," katanya.
Atas dasar kesadaran itulah, ia berupaya menangani abrasi dengan menanam serta memelihara pohon bakau atau mangrove di daerahnya. Suhaeri yang juga anggota Pokmaswas Perikanan (Kelompok Masyarakat Pengawas Perikanan) mengaku sempat ragu untuk fokus menanam mangrove di daerahnya karena saat itu pertaruhannya harus kehilangan penghasilan sebagai nelayan rajungan.
Sekitar tujuh tahun lalu, Suhaeri mengubah kebiasaannya. Dari sebelumnya selalu melaut untuk mencari rajungan, berubah menjadi berkeliling ke pekarangan warga, untuk mengumpulkan bibit mangrove liar.
Bibit tersebut selanjutnya ditanam di bibir pantai yang sebenarnya penuh dengan lumpur. Tidak tanggung-tanggung, saat itu ia menanam sekitar 20 bibit tanaman mangrove setiap hari. Tak hanya menanam, Suhaeri juga melakukan perawatan dengan membersihkan sampah yang menempel di setiap batang tanaman mangrove yang ditanami.
Sekitar setahun kemudian bibit tanaman mangrove yang ditanamnya ternyata banyak yang hidup, meski ada juga yang mati. Kondisi itu kemudian menjadi contoh, dan warga setempat akhirnya ikut bersama-sama menanam mangrove di daerahnya.
Ketika itu ia tidak sepenuhnya puas atas jerih payahnya, sebab kawasan mangrove yang ditanam olehnya hanya menumbuhkan daratan yang berlumpur.
Atas hal tersebut, dilakukan upaya lain untuk menahan abrasi dan gelombang tinggi, yakni dengan melakukan turap menggunakan ban bekas yang dikombinasikan dengan bambu.
Di depan kawasan tanaman mangrove di Dusun Pasir Putih yang dibuat oleh Suhaeri, awalnya menghasilkan lumpur. Selanjutnya ia menginginkan untuk menumbuhkan akresi atau daratan baru di depan kawasan tanaman mangrovenya yang kemudian keinginan itu "ditangkap" oleh Tim PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) yang memang fokus menyalurkan CSR di wilayah pesisir utara Karawang.
Untuk memunculkan daratan baru, Suhaeri telah membuat turap dengan menggunakan ribuan ban sepeda motor dan mobil. Penggunaan turap menggunakan ban bekas ini dikombinasikan dengan bambu.
Turap dari ban bekas ini diistilahkan sebagai alat penahan dan peredam ombak sedimentasi trap (apostrap). Community Development Officer PHE ONWJ, Iman Teguh, mengatakan pihaknya berkomitmen menjalankan bisnis secara berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip environmental, social and governance. Atas hal itulah, Pertamina andil dalam mengatasi permasalahan abrasi di wilayah pesisir utara Karawang, salah satunya dengan menciptakan apostrap.
Apostrap ini ialah berupa rangkaian empat buah ban bekas yang diikat menjadi segi empat atau membentuk sebuah kubus. Kemudian dipasang di bibir pantai, dirangkai antara apostrap yang satu dengan yang lainnya, ditahan dengan bambu hingga sampai akhirnya menjadi susunan apostrap di sepanjang bibir pantai.
Alat itu disebutkan berfungsi untuk meredam gelombang dan menangkap sedimentasi lumpur yang dibawa gelombang dan terperangkap dalam apostrap. Jadi, apostrap ini hanya rangkaian ban bekas yang dibentuk persegi empat. Dulu, ini rumpon yang digunakan untuk mengumpulkan ikan di wilayah Pantura. Namun sejak ada pelarangan rumpon, kemudian coba diterapkan rumpon ini menjadi penahan atau peredam gelombang.
Saat apostrap sudah tersusun dan memanjang di bibir pantai, maka ombak yang masuk ke apostrap akan terpecah hingga daya dorongnya semakin kecil ketika masuk semakin dalam. Lalu sedimentasi bekas terumbu karang dari Karang Sedulang akan tertahan oleh apostrap.
Apostrap ini cocok untuk mempercepat sedimentasi di wilayah perairan Karawang, Dusun Pasir Putih, Cilamaya Kulon, Karawang. Jadi, setelah sebelumnya menanam bibit tanaman mangrove, Suhaeri dan kawan-kawannya melanjutkan aksinya dengan mengangkat sedimentasi terumbu karang yang terbawa gelombang atau ombak, melalui apostrap.
Hasil dari buah konsisten mencegah abrasi, kini ada sabuk hijau di Dusun Pasir Putih, Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon yang disusul dengan munculnya daratan berkat apostrap.
Kawasan tersebut kini menjadi salah satu destinasi wisata di Karawang, dan ramai dikunjungi wisatawan setiap akhir pekan, karena biaya tiket masuknya yang murah meriah, hanya Rp5.000 per orang.
Upaya BUMN itu pun tidak berhenti di situ. Untuk mendukung kawasan wisata mangrove dan kemandirian ekonomi warga setempat, dilakukan pemberdayaan masyarakat dengan menumbuhkan UMKM yang memproduksi aneka makanan dengan bahan baku rajungan dan mangrove.
Baca juga: Walhi soroti dugaan kerusakan mangrove dan penimbunan Danau Gili Meno
Baca juga: KLHK merehabilitasi 59 ribu hektare mangrove
Kini cukup banyak industri rumahan yang memproduksi aneka makanan dengan bahan baku rajungan dan mangrove di sekitar Dusun Pasir Putih. Di antaranya kerupuk rajungan, pempek rajungan, dodol dari buah mangrove, dan lain-lain.
Berita Terkait
Nilai ekonomi kelompok perhutanan sosial di NTB capai Rp223,8 miliar
Jumat, 6 Desember 2024 17:27
BIG ajak pakar geodesi dunia tanam mangrove
Kamis, 5 Desember 2024 6:22
Keterlibatan banyak pihak buat program mangrove lebih baik
Senin, 2 Desember 2024 5:23
Penanaman mangrove antisipasi masuknya air laut ke darat
Rabu, 27 November 2024 4:32
PLN NTB sebut Program TJSL wujud komitmen pembangunan berkelanjutan
Minggu, 3 November 2024 16:26
Semangat Hari Pahlawan : PLN NTB tingkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan
Minggu, 3 November 2024 7:53
PLN dorong ekowisata lewat penanaman 15.000 mangrove di batas Kota Bima
Kamis, 31 Oktober 2024 17:57
BRIN shares evidence spice traders followed mangrove trail
Rabu, 30 Oktober 2024 6:20