Mataram (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan potensi hujan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat mulai meningkat pada pertengahan November 2023.
"Waspadai potensi bencana hidrometeorologi di wilayah NTB," kata Prakirawan BMKG Stasiun Klimatologi Nusa Tenggara Barat Cakra Mahasurya, di Mataram, Jumat.
Pada dasarian II November 2023 (11 – 20 November 2023) diperkirakan curah hujan dengan intensitas >20 mm/dasarian memiliki probabilitas kejadian 70 persen- 90 persen untuk Pulau Lombok dan 10 persen – 80 persen untuk wilayah Pulau Sumbawa.
"Peluang curah hujan lebih 50 milimeter/dasarian masih kecil di seluruh wilayah NTB yaitu memiliki probabilitas kejadian kurang 10-70 persen," katanya.
BMKG menyatakan, memasuki masa peralihan menuju musim hujan 2023/2024, masyarakat perlu mewaspadai adanya potensi bencana seperti hujan secara tiba-tiba, angin kencang yang dapat terjadi secara tiba-tiba dan bersifat lokal.
Masyarakat NTB dihimbau agar dapat menggunakan air secara bijak, efektif dan efisien. Masyarakat juga perlu mewaspadai akan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan yang umumnya terjadi pada periode ini.
"Masyarakat dapat memanfaatkan penampungan air seperti embung, waduk, atau penampungan air hujan lainnya guna mengantisipasi kekurangan air khususnya di wilayah-wilayah yang sering terjadi kekeringan," katanya.
Hasil Monitoring ENSO terakhir menunjukkan indeks ENSO (+1.90) terpantau berada pada kondisi El Nino Moderat (kondisi El Nino sudah berlangsung selama 17 dasarian). Sedangkan IOD sebesar (+1.366). Kondisi IOD positif diprediksi bertahan hingga akhir tahun 2024 Sedangkan El Nino moderat diprediksi terus bertahan hingga Februari 2024.
Baca juga: Sebanyak 82 gempa susulan usai Gempa bumi Laut Banda magnitudo 7.2
Baca juga: Hari Kamis sebagian besar Jakarta diperkirakan hujan hingga malam
Aliran massa udara di wilayah Indonesia didominasi oleh angin timuran. Aliran massa udara diprediksi masih didominasi oleh angin timuran dengan kecepatan yang melemah.
"Analisis terakhir menunjukkan MJO tidak aktif di fase 4 dan 5. MJO berkaitan dengan aktivitas konveksi/potensi awan hujan di wilayah Indonesia," katanya.