Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi dana kerja sama jasa advokasi pada badan layanan umum daerah (BLUD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Mataram Harun Al Rasyid di Mataram, Kamis, membenarkan bahwa pihaknya telah menerbitkan SP3 untuk perkara tersebut.
"Iya, penyidikan terhadap kasus itu sudah kami hentikan," kata Harun.
Dari hasil gelar perkara, kejaksaan menerbitkan SP3 dengan mempertimbangkan adanya pengembalian kerugian keuangan negara sesuai dengan potensi yang muncul senilai Rp900 juta.
Harun mengatakan bahwa penyidik mengetahui adanya pengembalian itu berdasarkan laporan dari Inspektorat Lombok Utara.
Baca juga: Kejari Mataram menggandeng LKPP perkuat bukti kasus kontrak advokasi BLUD RSUD Lombok Utara
Meskipun demikian, dia menegaskan bahwa pihaknya dapat kembali membuka kasus tersebut apabila ada bukti baru yang berkaitan dengan dugaan pidana.
"Bisa kami buka lagi selama ada bukti baru yang mengarah pada perbuatan melawan hukumnya," ujar dia.
Sebelumnya, Kepala Kejari Mataram Ivan Jaka mengatakan bahwa persoalan dalam kasus ini berkaitan dengan adanya dugaan pengeluaran anggaran daerah yang tidak sesuai dengan aturan.
Baca juga: Penyidik kumpulkan bukti audit kasus RSUD Lombok Utara
Aturan tersebut terkait kontrak kerja untuk jasa advokasi pada BLUD RSUD Lombok Utara yang diduga tanpa melalui persetujuan bupati.
Pada saat penyelidikan berlangsung, jaksa mengungkap adanya dugaan bahwa kontrak kerja untuk jasa advokasi itu ditentukan sendiri oleh pihak manajemen BLUD dengan menunjuk langsung pengacara secara perorangan.
Baca juga: Kasus kontrak advokasi BLUD RSUD Lombok Utara masuk ke penyidikan jaksa
Kontrak kerja untuk jasa advokasi pada BLUD RSUD Lombok Utara yang diduga bermasalah tersebut berlangsung dalam periode 2016 sampai 2021.
Oknum pengacara yang bertindak sebagai pelaksana jasa advokasi BLUD RSUD Lombok Utara diduga menerima pembayaran Rp12,5 juta per bulan.
Jika dikalkulasikan dalam periode penerimaan selama 6 tahun, pemerintah telah menyisihkan anggaran untuk membayar jasa advokasi senilai Rp900 juta.
Baca juga: Kejati NTB hentikan penyidikan kasus Wakil Bupati Lombok Utara
Baca juga: Mantan Direktur RSUD Lombok Utara tetap dikurung 5 tahun