Surabaya/Jatim (ANTARA) - Mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi memiliki kepedulian yang sama di bidang infrastruktur, namun keduanya berbeda dalam sentuhan.
Risma fokus pada akses jalan untuk memperlancar lalu lintas, box culvert untuk antisipasi genangan air di musim hujan, menambah ruang terbuka hijau (RTH) dengan taman-taman bunga, dan sebagainya.
Yang keren, pembangunan infrastruktur era Risma adalah pembangunan Frontage Road (FR) Ahmad Yani sisi barat pada 2012 -- 2016, yang berlanjut hingga FR Wonokromo sepanjang sekitar 1,2 kilometer hingga tuntas pada 2019.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pun membangun infrastruktur, namun lebih fokus pada infrastruktur Kota Lama di kawasan wisata di Surabaya Utara, yakni tiga zona (Arab, China, dan Eropa).
Sebagai salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Timur, kawasan Kota Lama itu disebut Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga, serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya Hidayat Syah sebagai kawasan yang punya ciri khas masing-masing.
Ibarat laboratorium arsitektur dunia, arsitektur bernuansa Kolonial dan Eropa serta negara-negara timur, membentang mulai Jalan Kembang Jepun atau sisi sisi timur hingga sisi barat di Jalan Rajawali.
Tepat di antara dua lokasi itu terdapat Jembatan Merah yang membentang melintasi Sungai Kalimas. Jembatan Merah adalah saksi peristiwa heroik Arek-arek Suroboyo ketika melawan pendudukan tentara Sekutu.
Pada sisi barat kawasan Kota Lama itu terdapat arsitektur peninggalan kolonial yang juga sarat sejarah. Di lokasi ini pernah terjadi pertempuran pejuang tanah air melawan Sekutu yang menewaskan Jenderal AWS Mallaby.
Peristiwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia mulai 19 Oktober 1945 sampai dengan 10 November 1945 tergambar secara heroik dalam dokumen bangunan arsitektur yang masih ada.
Pada sisi timur kawasan Kota Lama pun memiliki banyak bangunan bergaya arsitektur khas Tiongkok, India, dan Arab. Kalau zona China lebih bernuansa perdagangan, ekonomi, dan ekspor-impor, zona Eropa bernuansa pemerintahan, sedangkan zona Arab bernuansa pergerakan dan agama/religi.
Pada kawasan wisata religi ini ada masjid dan Makam Sunan Ampel. Tak hanya itu, ada pula Langgar Gipo berusia 307 tahun di Jalan Kalimas Udik I nomor 51 Surabaya. Masjid Ampel didirikan pada tahun 1421, sesangkan Langgar Gipo didirikan pada 1717 oleh Sagipoddin, kakek Hasan Gipo.
Langgar Gipo juga tak kalah heroik. Hidayat menyebut langgar atau surau itu menjadi tempat penggemblengan santri sebelum berangkat melawan penjajah. Juga, menjadi markas para ulama memutuskan strategi perang melawan penjajah.
Selain itu, surau dua lantai seluas 209 meter persegi ini juga menjadi saksi sejarah pergerakan Ketua Umum pertama PBNU, H. Hasan Basri Sagipoddin atau H. Hasan Gipo.
Nasionalisme dari heroisme
Kawasan Kota Lama Surabaya dengan tiga zona (Arab, China, Eropa) itu tampaknya bukan sekadar menggambarkan nuansa kekunoan, melainkan ada nuansa heroisme yang menempel pada arsitektur lawas itu.
Nuansa heroisme yang bukan sekadar "kota lama" itu, antara lain, Pertempuran 10 November 1945 yang diawali pada 19 Oktober 1945, lalu ada Langgar Gipo yang menjadi tempat penggemblengan santri sebelum berangkat melawan penjajah.
Langgar ini juga menjadi markas para ulama memutuskan strategi perang melawan penjajah, dan menjadi saksi sejarah Ketua Umum pertams PBNU H. Hasan Basri Sagipoddin atau H. Hasan Gipo dalam berbagai aktivitas pergerakan hingga turut terlibat aktivitas pembentukan ormas keagamaan Nahdlatul Ulama.
Rumah Hasan Gipo di sisi timur Masjid Ampel (Jalan Ampel Masjid/sisi makam Bobsaid/rumah kedua setelah makam Bobsaid) itu tidak jauh dari rumah mertua KH Wahab Hasbullah di Kertopaten Gang 3, Ampel, Surabaya (rumah Kertopaten III merupakan rumah pembentukan NU oleh 65-an ulama Muassis NU).
Ada nuansa heroisme itu yang menjadi makna penting di balik revitalisasi Kota Lama, sebab area ini bukan sekadar sebagai tempat wisata, melainkan merupakan kawasan edukasi bagi masyarakat, agar mereka sadar bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mandiri.
Dalam konteks revitalisasi dan nasionalisme itu, anggota DPRD Kota Surabaya A.H. Thony menilai perlu ada upaya eksplorasi dan riset yang valid supaya cerita heroisme itu tidak menjadi legenda. Jadi, heroisme dalam kekunoan dapat dimaksimalkan untuk memperkuat nasionalisme dalam kekinian, khususnya bagi kalangan Generasi Z dan milenial yang jauh dari peristiwa tahun 1945.
Sekarang, di sana sudah ada replika mobil AWS Mallaby sehingga nuansa sejarahnya cukup kuat. Namun, detail rangkaian sejarah sebagai ciri khas Kota Lama Surabaya perlu muncul lebih kuat lagi, agar aura heroisme pun muncul menjadi nasionalisme.
"Ke depan, perlu ada revitalisasi kawasan, seperti membuat pertunjukan drama kolosal yang terjadwal dan ditampilkan pada momen tertentu sehingga keunikan kawasan yang memiliki luas keseluruhan mencapai 128 hektare itu bisa dioptimalkan," katanya.
Tentu, revitalisasi kawasan wisata Kota Lama yang telah diresmikan Wali Kota Eri Cahyadi pada 3 Juli 2024 itu mampu memberdayakan para seniman asal daerah tersebut.
Selain seniman, Kota Lama juga membuka pintu bagi seluruh komunitas untuk terlibat dalam pengembangan kawasan ini, salah satunya dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan, seperti pameran di Gedung Sarinah, Jakarta.
Selain seniman dan komunitas, masyarakat juga bisa berperan dalam penyediaan kuliner dan akomodasi di ketiga zona Kota Lama itu. Apalagi Bappedalitbang Kota Surabaya juga merencanakan sejumlah transportasi umum, yakni "Suroboyo Bus", "Trans Semanggi", dan "Wara-Wiri". Ada juga becak listrik.
Walhasil, ada nasionalisme dalam aspek sejarah dan arsitektur yang dipadukan dengan aktivitas budaya dan ekonomi/UMKM. Satu lagi yang tak kalah penting adalah memupuk nasionalisme melalui edukasi bagi Generasi Z lewat cerita atau media buku digital dan cetak sebagai "pelajaran" di era kekinian.
Jadi, keberadaan Kota Lama bukan sekadar revitalisasi arsitektur untuk kepentingan wisata atau menonjolkan kekunoan, namun harus bisa memunculkan nasionalisme yang dulu dimiliki arek-arek Surabaya dan kalangan santri, yang di Surabaya mengistilahkannya dengan "hubbul wathon minal iman" (cinta Tanah Air sebagai keimanan/ideologi).