Mataram (Antaranews NTB) - Pakar hukum Universitas Mataram (Unram) Dr Lalu Wira Pria Suhartana, menyatakan kasus jual beli bahan bekas tambang "scrap" PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) yang diduga merugikan pengusaha asal Surabaya, Budi Haryanto bisa mengarah pada tindakan pidana.
"Perjanjian itu kan sudah lama terjadi dan itu "scrap" sudah dibayar seluruhnya. Artinya tidak berpengaruh pada pergantian perusahaan, karena barang itu sudah jadi hak pembeli. Dalam hukum tinggal serah terimanya saja," katanya di Mataram, Rabu.
Ia menegaskan, jika ada upaya menghalangi dari AMNT maka pengusaha bisa melakukan upaya hukum.
"AMNT bisa dipidanakan jika memenuhi unsur bahwa barang yang dibeli pengusaha ternyata menyusut volume dan nilainya sehingga menimbulkan kerugian bagi pengusaha," ucapnya.
Wira menilai, dalam kasus ini pembelian barang sudah bisa dianggap selesai, karena sudah dibayar seluruhnya sesuai kontrak.
"Secara hukum sudah selesai, sudah ada jual beli, dan tinggal serah terimanya saja. Kalau tidak ada itikad baik dan ada upaya dihalangi ya bisa dilaporkan pidana, sebagai menguasai barang yang menjadi hak orang lain," tegasnya.
Sementara itu, dihubungi terpisah, Budi Haryanto menegaskan, pihaknya tidak akan mempidanakan AMNT dalam kasus ini. Namun upaya yang akan dilakukan adalah menggeret AMNT ke Pengadilan Niaga.
"Kami tidak akan pidanakan meskipun celah untuk itu ada. Tapi kami akan membawa (kasus) ini ke Pengadilan Niaga, biar sekalian kita pailitkan AMNT," tegas Budi.
Menurut Budi, pihaknya sudah mendatangkan kapal untuk mengangkut "scrap" yang sudah menjadi miliknya.
Namun ada dugaan AMNT sengaja menghalangi dengan cara tidak memberi kesempatan kapal tersebut masuk ke pelabuhan Benete di dalam kawasan AMNT.
Sebab dermaga itu merupakan terminal khusus (Tersus). Dengan status tersus itu segala aktivitas kapal tanpa izin dari AMNT akan dianggap penyusup atau perompak.
"Jadi regulasi dalam kontrak (dengan AMNT) itu memberatkan pembeli. Mentang-mentang mereka bernaung di terminal khusus dan objek vital untuk Pelabuhan Benete," katanya.
Menurut Budi, label Tersus Pelabuhan Benete menjadi cara AMNT menghalangi pihaknya mengambil sisa "scrap".
"Mereka (AMNT) sengaja mendahulukan operasional (kapal) mereka, dan tidak memberikan izin pada kapal kami, padahal kami hanya mau mengangkut barang milik kami," terangnya.
Sebelumnya diberitakan, AMNT dinilai telah sengaja "menyendera" scrap (barang bekas tambang) yang sudah dibeli oleh mitra pengusaha.
Budi selaku pembeli "scrap" milik AMNT mempersoalkan sikap perusahaan tersebut, yang hingga kini belum juga beritikad menyerahkan untuk proses pengangkutan.
Ia menjelaskan, sebelumnya pihaknya bekerjasama dengan PT Sinar Tubalong Mandiri (PT STM) dalam bentuk kontrak untuk pembelian scrap di tahun 2015 silam. Saat itu PT AMNT masih bernama PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).
"Karena ada ketentuan di sana memberdayakan perusahaan lokal, maka saya melalui PT STM kemudian membuat kesepakatan dengan PT Newmont waktu itu membeli barang barang bekas," katanya.
Barang bekas dimaksud di antaranya jenis Grinding Ball bekas, General Scrap, Kabel bekas, Conveyor Belt bekas.
Perjanjian itu tertuang dalam kontrak nomor SA 1503/001 pada tanggal 1 Desember 2015. Pasca kontrak dibuat, papar Budi, pihaknya membeli barang bekas tadi dengan kuantitas 7.000 ton dengan harga Rp1.100 per Kg. Sehingga jumlah total yang dibayarkan oleh Budi mencapai Rp7,8 Miliar lebih.
Pengangkutan pertama tahun 2016 untuk 4,553 ton dengan harga barang Rp5,13 Miliar lebih. Sementara sisa barang bekas sebanyak 2,446 ton dengan nilai Rp2,75 Miliar lebih, akan diangkut pada tahun 2017. Tapi masalah terjadi di tahun 2017, sejak PT NNT berubah manajemen menjadi PT AMNT.