Mataram (ANTARA) - Bencana tidak pernah hadir sebagai peristiwa kosong. Pada lapisan terdalam, bencana adalah peristiwa sosial yang membawa pesan. Pesan itu sering kali tersembunyi di balik banjir dan longsor seperti yang kita lihat di Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar). Tiga wilayah berbeda. Tiga lanskap berbeda. Namun semuanya memiliki pola kerentanan yang sama yakni kerusakan ekologis yang sangat sistemik.
Sebenarnya, pesan yang dibawa bencana itu mulai memperlihatkan maknanya. Pesan itu tidak hanya tentang alam, tetapi tentang cara kekuasaan bekerja. Tentang bagaimana negara mengatur ruang, sumber daya, dan warga. Tentang siapa yang dilindungi dan siapa yang dibiarkan menanggung risiko.
Kita memang hidup di atas garis patahan geologis. Namun yang lebih berbahaya adalah patahan politik dalam pengelolaan ekologinya. Alam selalu bergerak untuk menata ulang dirinya. Tapi kerusakan muncul ketika keputusan politik semakin mempertebal kerentanan masyarakat. Ketika hutan ditebang. Ketika sungai disempitkan. Ketika ruang hidup dijadikan komoditas. Ketika negara lebih sibuk memberikan izin konsesi ketimbang kapasitas mitigasi. Maka, di situlah bencana menjadi produk politik, bukan semata gejala alam.
Sosiolog, C. Wright Mills mengingatkan kita dengan konsep “imajinasi sosiologis” bahwa bencana bukan masalah personal. Bencana adalah public issue (isu publik). Lensa imajinasi sosiologis Mills menuntun kita untuk melihat hubungan antara persoalan pribadi dengan struktur sosial yang lebih luas. Banjir dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukan sekedar karena hujan ekstrem. Itu semua terhubung dengan struktur sosial, ekonomi, dan relasi kuasa yang timpang. Relasi yang menempatkan alam sebagai objek yang boleh dieksploitasi tanpa batas. Relasi yang menempatkan warga sebagai pihak yang harus menyesuaikan diri, bukan pihak yang dilindungi. Relasi yang membuat ruang publik hilang digantikan oleh ruang konsesi tambang dan ruang korporasi. Relasi yang melahirkan ketidakadilan ekologis secara sistematis.
Bencana adalah cermin dari politik ruang. Ketika tata ruang tidak ditegakkan, bencana muncul sebagai koreksi. Ketika kajian AMDAL disiasati, alam membalas dalam bentuk bencana. Ketika desa atau kota kehilangan vegetasi penyangga, banjir dan longsor berubah menjadi siklus tahunan. Ketika pulau kecil dibebani tambang, abrasi menelan pesisir secara perlahan. Semua itu bukan kebetulan. Semua itu hasil dari keputusan politik yang panjang.
Pada akhirnya, setiap bencana membawa pesan yang sama. Ada yang tidak beres. Ada yang diabaikan. Ada yang ditutup-tutupi. Ada yang dikorbankan. Bencana mengungkap lapisan-lapisan masalah yang sulit dilihat saat situasi normal. Di balik banjir, ada tata ruang yang diselewengkan. Di balik longsor, ada penebangan yang dibiarkan. Di balik kebakaran hutan, ada kepentingan yang dilindungi. Di balik kerusakan pesisir, ada izin yang diterbitkan dengan mudah.
Namun pesan itu sering kali disederhanakan dan “dijinakkan” dengan narasi bencana adalah takdir. Narasi cuaca ekstrem adalah penyebab tunggal. Narasi negara telah bekerja maksimal. Narasi yang ingin menutupi akar masalah. Narasi yang ingin menghindari pertanggungjawaban. Narasi yang membuat warga hanya menjadi objek penanganan, bukan subjek yang dapat menuntut perubahan.
Bencana seharusnya dibaca sebagai sinyal politik untuk memperbaiki tata kelola. Bukan sebagai peristiwa rutin yang berlalu begitu saja. Bencana seharusnya membuka ruang untuk menegakkan hukum lingkungan. Bukan memberi alasan untuk melanjutkan kebijakan yang sama. Bencana seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kesiapsiagaan warga. Bukan sekadar membagikan bantuan sementara.
Tiga Pelajaran Penting.
Pertama, bencana menunjukkan adanya ketimpangan kekuasaan. Warga tidak punya daya tawar untuk menolak izin konsesi yang merusak. Warga mungkin punya modal sosial dan modal budaya yang kuat, tapi sering kalah oleh modal ekonomi dan modal politik para elite. Sementara negara hadir terlambat karena kapasitasnya dipreteli oleh kompromi politik. Ketimpangan ini melahirkan distribusi risiko yang tidak adil.
Kedua, bencana membongkar kegagalan tata kelola ruang. Alam hanya menjadi catatan kaki narasi kebijakan. Tapi pengawasan lemah. Aturan diabaikan. Kajian dipermainkan. Ruang dikelola bukan untuk keberlanjutan, tetapi untuk kepentingan jangka pendek. Tanpa koreksi struktural, siklus ini akan berulang.
Ketiga, bencana mengingatkan bahwa alam memiliki batas. Batas itu sudah lama dilanggar. Namun politik pembangunan tetap berjalan dengan logika ekspansi. Logika yang tidak memberi ruang bagi daya dukung. Logika yang menganggap kerusakan sebagai biaya yang dapat diterima.
Membaca pesan politik dari bencana berarti melihat bencana sebagai penanda arah. Penanda bahwa pembangunan harus berubah. Penanda bahwa kekuasaan harus diawasi. Penanda bahwa alam tidak bisa dinegosiasikan dengan retorika. Penanda bahwa kehidupan bersama hanya mungkin jika ruang dikelola dengan adil.
Bencana adalah pesan. Pertanyaannya sederhana: jika alam memiliki mekanisme untuk menata ulang dirinya. Maka, apakah manusia mau menata ulang cara hidupnya? Semoga.
*) Penulis adalah Staf KONSEPSI NTB & Pengurus ILUNI UI Bidang Disaster and Risk Management
