"Sebenarnya GBHN sudah tidak relevan dengan konteks ketatanegaraan kita yang sekarang, karena GBHN itu dulunya mandat dari MPR kepada presiden, karena presiden dulu dipilih oleh MPR bukan rakyat secara langsung seperti sekarang," ungkap Bivitri ketika dihubungi di Jakarta pada Selasa.
Menurut salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu, GBHN dulu karena merupakan mandat yang diberikan kepada presiden, ketika pimpinan eksekutif negara gagal menjalankannya terdapat konsekuensi bisa dimakzulkan oleh MPR.
Baca juga: PKB setuju GBHN dihadirkan kembali sebagai arah pembangunan
Dia mengambil contoh yang terjadi dengan Presiden Soekarno yang dijatuhkan oleh MPRS pada 1967 dan Gus Dur yang dimakzulkan oleh MPR pada 23 Juli 2001.
Namun, hal itu berubah setelah dilakukan amandemen undang-undang pascareformasi bahwa presiden tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya kecuali melakukan tindakan pidana tertentu.
"Tidak tepat bila dipaksakan, bahkan kemudian dijadikan bargain untuk siapa yang menjadi pimpinan MPR. Lalu muncul pertanyaan kenapa ngotot sekali," ujarnya.
Baca juga: Ketua DPR: amandemen UUD 1945 jangan terburu-buru
Baca juga: Peneliti: Usulan PDIP tentang GBHN perlu diperjelas
Menurut Bivitri, amandemen konstitusi bukanlah hal tabu yang tidak boleh dilakukan, tapi harus dibuat dengan dasar apakah perubahan itu bermanfaat untuk rakyat atau tidak.
Sebelumnya, Kongres V PDI Perjuangan merekomendasikan agar MPR kembali diberikan kewenangan menetapkan GBHN dengan alasan diperlukan haluan negara yang ditetapkan MPR sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.