Jakarta (ANTARA) - Terdakwa kasus pembunuhan berencana suami dan anak tirinya, Aulia Kesuma (45) menangis terisak-isak membacakan pembelaannya dalam sidang secara telekonferensi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.
Selama kurang lebih 10 menit Aulia menyampaikan nota pembelaannya, mengakui perbuatannya, meminta majelis hakim untuk mempertimbangkan hukumannya mengingat dirinya memiliki seorang anak berusia empat tahun, buah dari pernikahannya dengan korban Edi Candra Purnama.
"Saya memohon yang mulia, saya memiliki anak, saya mengaku salah, telah membunuh suami saya, saya minta maaf," kata Aulia dengan terisak-isak.
Aulia menyebutkan, anaknya sudah yatim karena ayahnya meninggal dunia, jika dirinya dipenjara maka anaknya juga akan kehilangan peran orang tua di masa pertumbuhannya.
Ibu tiga anak tersebut juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan bertobat nasuha, benar-benar menyesali perbuatannya.
Penyesalan serupa juga disampaikan Geovanni Kelvin Oktavianus, putru sulung Aulia Kesuma, yang menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf kepada keluarga korban.
Kevin mengaku masih punya tanggungan hidup yakni mengurus neneknya yang masih hidup.
"Karena saya juga jadi tulang punggung keluarga. Saya juga minta maaf kepada keluarga korban, dan menyesali perbuatan saya," kata Kelvin dari Rutan Cipinang.
Sebelumnya, kuasa hukum Aulia Kesuma yakni Firman Candra dan tim lebih dulu membacakan nota pembelaan klienya setebal 63 halaman.
Dalam pembelaannya, pengacara meminta majelis hakim untuk membebaskan kedua terdakwa atau memberikan hukum yang seringan-ringannya.
"Membebaskan terdakwa satu dan terdakwa dua sesuai Pasal 191 KUHP, atau setidak-tidaknya dari segala tuntutan. Atau kalau yang mulia hakim punya pendapat lain, kami mohon yang seringan-ringannya," kata Firman Candra.
Dalam pledoinya, kuasa hukum menjadikan kasus Afriyani Susanti, Margaret Christiana Megawa dan Jessica Kumala Wongso sebagai Yurisprudensi untuk membandingkan perkara yang dihadapi Aulia Kesuma yakni sama-sama kasus pembunuhan yang menyita perhatian banyak publik.
Yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaikan suatu perkara yang sama.
Terkait tuntutan hukuman mati oleh JPU, Firman mengakui, bahwa setiap peristiwa pembunuhan yang merenggut nyawa orang lain secara paksa adalah perbuatan sadis.
Firman mengutip pendapat pakar Albert Camus dalam esai panjang Reflections on the Guillotine" yang menentang hukuman mati.
"Menurut Camus, hukuman ini tidak memberikan keadilan, juga tidak memiliki dampak apa pun terhadap kejahatan," ujar Firman membacakan kutipan esai Camus.
Tahun 2015, beberapa negara memutuskan menghapus pratik hukuman mati dalam konstitusinya seperti Madagaskar, Fiji, Suriname dan Congo yang termasuk sama-sama negara berkembang seperti Indonesia.
Aulia Kesuma dan putranya Geovanni Kelvin Oktavianus dituntut hukuman mati atas perkara pembunuhan berencana yang dilakukannya.
Kasus pembunuhan berencana terhadap Edi Candra Purnama (54) alias Pupung Sadili dan anak Muhammad Adi Pradana (24) terjadi akhir Agustus 2019, saat tersangka Aulia terdesak utang oleh pihak bank yang pada akhirnya Aulia memiliki niat untuk menghabisi atau membunuh Pupung dan anak tirinya.
Aulia membunuh suami dan anak tirinya dengan cara diracun terlebih dahulu, lalu dimasukkan ke dalam mobil dengan maksud dibuang dan dibakar sebelum diterjunkan ke jurang di wilayah Sukabumi, Jawa Barat.
Dalam aksinya Aulia dibantu oleh putranya Geovanni Kelvin Oktavianus, serta dua orang eksekutor yang dibayar untuk menghabisi nyawa suami beserta anak tirinya yakni Kusmanto dan Muhammad Nursaid.
Selain itu, juga ada tersangka lainnya Karsini, Rody Saputra Jaya dan Suprianto yang ikut membantu Aulia merencanakan pembunuhan.