Mataram, 1/6 (Antara) - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat Badrun AM mengatakan tayangan televisi terutama yang menyangkut program tayangan religi cukup merisaukan masyarakat, karena lebih menonjolkan pertunjukan ketimbang dakwah.
"Masalah yang cukup merisaukan kami bahwa televisi adalah arena pertunjukan yang suka sekali `mengeksagerasi` sebuah tayangan, sehingga yang lebih menonjol kepermukaan adalah pertunjukannya, sementara pesan dari tayangan itu hilang," katanya pada diskusi publik soal tayangan telvisi di Mataramn, Sabtu.
Forum Komusi Dosen Fakultas Syariah IAIN Mataram bekerja sama dengan KPID NTB menggelar diskusi publik mengangkat tema "Fenomena Tayangan Religi: Antara Nilai Agama dan Kepentingan Bisnis" yang diikuti sejumlah dosen senior, pemuka agama dan mahasiwa.
Ia mengatakan, tayangan itu sengaja dikemas pengelola TV karena terkait dengan "rating" (persentase jumlah penonton suatu acara TV) yang juga terkait dengan bisnis.
Dia mengatakan, dulu ketika sebuah tayangan sintron berjudul "Faris" yang kemudian berubah judul menjadi "Inayah" ada seorang kyai mengadu terkait dengan sebuah sinetron dengan adegan seorang istri yang berjilbab suka berkata kotor dan menampar suaminya.
"Tayangan itu bisa memunculkan stigma atau pandangan bahwa muslimah itu seorang yang suka berkata-kata kotor dan melakukan tinadakan kekerasan terhadap suaminya. Ini perlu mendapat perhatian dan para pengelola stasiun televisi," ujarnya.
Karena itu, kata Badrun, yang perlu dipahami bahwa televisi tidak bisa disamakan dengan media lain.Tayangan televisi berdampak terhadap mental para pemirsa terutama dari kalangan anak-anak terutama tayangan yang bernuansa religi.
"Pesan dakwahnya dalam tayangan religi itu memang bagus, namun ketika seorang dai yang diparodikan demikian lucu dan culun kemudian diejek-ejek oleh santrinya seperti yang ada dalam sebuah tayangan sinetron, maka ini kurang baik bagi anak-anak dan dikhawatirkan akan memunculkan anggapan keliru," ujarnya.
Selain itu, katanya, ada tayangan seorang ustadz yang terlampau mengeksploitasi kelucuannya. Ini juga berpotesi ditiru oleh anak-anak dan yang lebih menonjol adalah sisi pertunjukkan yang lucu, sementara isi dakwahnya akan hilang.
"Karena itu dalam hal ini kami melindungi pemirsa anak-anak yang menonton tayangan tersebut agar mereka tidak. Berbeda kalau tidak menjadi tayangan televisi silakan seorang dai memparodikan dirinya selucu apapun, karena ini hanya disaksikan oleh orang-orang dewasa," katanya.
KPID NTB juga menyoroi tayangan televisi yang berbau klenik, seperti manusia yang berubah menjadi ular atau kuburan yang penuh ulat. Ini akan mencitrakan bahwa Islam itu sesuatu yang menakutkan.
"Saya tidak ingin mengintervensi stasiun televisi dalam membuat suatu program siaran, tetapi bagaimana mencitrakan suatu agama itu baik dan bahwa Islam itu indah dan Tuhan itu Maha Rahman dan Rahim. Dan yang perlu mendapat perhatian bahwa tayangan itu sehat bagi pemirsa anak-anak," kata Badrun.
Dalam dsiskusi yang digelar di kampus IAIN Mataram itu muncul beragam tanggapan terhadap tayangan televisi khususnya berkaitan dengan fenomena tayangan religi.
Sebagian besar dosen senior IAIN Matarm sepakat bahwa tayangan religi harus seimbang antara nilai-nilai agama dan kepentingan bisnis agar baik masyarakat selaku pemirsa maupun pengelola televisi masing-masing mendapat manfaat positif. (*)