Mataram (ANTARA) - Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Barat mencatat sejumlah temuan dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023 di SMA dan MA di wilayah itu.
Kepala Keasistenan Bidang Pemeriksaan Laporan Ombudsman Perwakilan NTB, Ikhwan Imansyah di Mataram, Kamis, menyebutkan ada enam temuan yang terpantau pada saat pelaksanaan PPDB oleh Ombudsman.
"Ada enam temuan yang kita temukan saat memantau pelaksanaan PPDB SMA dan MA di NTB," ujarnya.
Ia menyebutkan sejumlah temuan itu, antara lain belum ada kepastian untuk peserta yang tidak diterima pada PPDB 2023 SMA jalur zonasi akan didistribusikan ke sekolah mana meskipun kriteria pendistribusian sekolah sudah ditentukan oleh dinas yaitu tidak jauh dari tempat tinggal peserta.
Dalam aplikasi pendaftaran PPDB 2023 yang disediakan Dikbud NTB tidak memberikan informasi berdasarkan waktu terkini (realtime), pada saat dilakukan pengecekan urutan ranking peserta, informasi yang tersedia masih pada waktu terakhir saat penutupan penerimaan, karena terdapat jeda dua hari.
"Dua hari tersebut status terakhir terpampang mengikuti tanggal waktu penutupan bukan pengumuman," ucap Ikhwan.
Selanjutnya, penjualan baju seragam sekolah dalam proses PPDB 2023 yang dilakukan oleh oknum panitia dengan modus menyertakan list baju seragam sekolah dan harganya kepada peserta PPDB 2023 pada saat daftar ulang.
"Modus yang lain oknum kepala sekolah bekerjasama dengan penjual baju seragam agar memperoleh persenan dari penjual," terangnya.
Kemudian terdapat banyak Kartu Keluarga (KK) peserta PPDB 2023 yang tidak dapat terverifikasi saat pendaftaran, sehingga diduga baru diupdate untuk kebutuhan PPDB 2023, sehingga perlu pelibatan Dukcapil dalam rapat koordinasi sebelum penetapan Juknis PPDB 2023.
"Masyarakat masih memfavoritkan beberapa sekolah sehingga menggunakan berbagai cara agar dapat diterima oleh sekolah yang diinginkan, antara lain mengubah alamat KK menjadi lebih dekat dengan sekolah yang dituju dengan cara meminjam alamat orang lain, mengubah status anak kandung dalam KK.
"Karena ada ketentuan PPDB yang memprioritaskan anak kandung dibandingkan cucu dan famili, dan perubahan periode terbitnya KK yang diatur seolah-olah telah terbit terlebih dahulu satu tahun lamanya," jelasnya.
Berdasarkan temuan tersebut, pihaknya telah menindaklanjuti dengan berkoordinasi ke dinas pendidikan maupun pihak terkait untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian permasalahan dengan menindaklanjuti keluhan masyarakat.
Terkait permasalahan siswa yang belum diterima di sekolah-sekolah, pihaknya melihat seperti di Dinas Pendidikan NTB, setelah pengumuman mulai dihubungi sejumlah orang tua yang anaknya belum mendapatkan sekolah atau bermasalah dengan zonasi-nya, sehingga dicarikan solusi untuk didistribusikan ke sejumlah sekolah dengan memperhatikan jarak serta opsi penambahan kelas atau rombel.
Sementara terkait permasalahan seragam sebelumnya pihaknya juga sudah mengingatkan terkait larangan penjualan seragam oleh pendidik, tenaga pendidik dan Komite Sekolah. Bahkan sudah jelas dinas melarang penjualan seragam, akan tetapi masih terjadi dengan modus berbeda, sehingga harus jadi perhatian Dinas Pendidikan dan Kanwil Kemenag, karena sudah jelas larangan penjualan seragam apalagi dijadikan syarat daftar ulang karena bertentangan dengan Pasal 181 dan Pasal 189 Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
"Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan dan dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan," terangnya.
Selain itu penjualan seragam sekolah ini bertentangan dengan Pasal 13 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 50 tahun 2022 Tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
"Dalam pengadaan pakaian seragam sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orang tua atau wali peserta didik untuk membeli pakaian seragam sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan/atau penerimaan peserta didik baru," katanya.