Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian menyampaikan respon atas pernyataan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. yang menolak usulan untuk melengkapi kapal penjaga pantai dengan meriam air untuk pertahanan diri atas kapal China di Laut China Selatan.
"Jika Filipina benar-benar ingin meredakan ketegangan di Laut China Selatan, mereka harus segera berhenti mengganggu perairan yang berdekatan dengan Nansha Qundao dan Huangyan Dao milik China, berhenti mengirimkan bahan-bahan konstruksi ke kapal perang secara ilegal di Ren'ai Jiao," kata Lin Jian dalam konferensi pers rutin di Beijing, China pada Senin (6/5).
Usulan untuk melengkapi kapal penjaga pantai Filipina dengan meriam air datang dari Pemimpin Minoritas Senat Filipina Koko Pimentel pekan lalu, setelah insiden terbaru China-Filipina di perairan Huangyan Dao, yang juga dikenal sebagai Scarborough Shoal.
Pada 30 April 2024, kapal Kapal penjaga pantai China menembakkan meriam air ke arah dua kapal Filipina yang menyebabkan kerusakan pada kedua kapal Filipina tersebut.
"Filipina perlu berhenti membangun fasilitas permanen dan aktivitas pendaratan ilegal di pulau-pulau dan terumbu karang yang tidak berpenghuni. Mereka juga harus berhenti melibatkan negara-negara lain, menunjukkan kekuatan maupun menyebarkan disinformasi kepada komunitas internasional," tambah Lin Jian.
China dan Filipina mempunyai klaim yang tumpang tindih atas Second Thomas Shoal – juga dikenal sebagai Beting Ayungin, Bai Co May dan Ren'ai Jiao – yang merupakan terumbu karang di Kepulauan Spratly di Laut China Selatan.
Filipina menempatkan kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" bagi penjaga pantai Filipina di terumbu karang tersebut sejak 1999.
"China selama ini berkomitmen untuk menangani sengketa maritim, termasuk masalah Ren'ai Jiao, dengan Filipina melalui dialog dan konsultasi. Kesepahaman antara pemimpin, saling memahami dan kesepakatan atas 'negosiasi model baru' mencerminkan upaya dan ketulusan China untuk mencapai tujuan tersebut," tambah Lin Jian.
Pada akhir 2021, sebut Lin Jian, setelah komunikasi dan konsultasi intensif, China dan Filipina mencapai "kesepakatan para pemimpin" dan selama beberapa bulan pertama pemerintahan Filipina saat ini, kedua belah negara terus menerapkan kesepakatan tersebut hingga Filipina berhenti menepatinya pada Februari 2023.
Kemudian pada September 2023, China mengundang utusan khusus presiden Filipina untuk China ke Beijing untuk membahas cara mengelola situasi di Ren'ai Jiao, yang menghasilkan pemahaman internal. Pemahaman tersebut disetujui oleh pimpinan Filipina, namun Filipina tetap mendistribusikan suplai logistik ke kapalnya di Laut China Selatan dan akhirnya mengabaikan pemahaman internal tersebut.
Terakhir pada awal 2024 Lin Jian mengungkapkan China dan Filipina menyepakati "model baru" untuk misi penyaluran pasokan di sekitar Ren'ai Jiao.
"Militer Filipina telah berulang kali mengkonfirmasi bahwa 'model baru' tersebut telah disetujui oleh semua pejabat terkait dalam rantai komando Filipina, termasuk Menteri Pertahanan Nasional dan Penasihat Keamanan Nasional. Pada 2 Februari 2024, Filipina melaksanakan satu misi penyaluran pasokan menggunakan 'model baru' tersebut sebelum akhirnya mengabaikannya juga," ungkap Lin Jian.
Lin Jian mengatakan apa pun yang disampaikan pejabat Filipina, hal itu tidak akan menghapus fakta bahwa China-Filipina telah beberapa kali mencapai kesepakatan untuk mencegah konflik di Laut China Selatan.
"China meminta Filipina untuk mematuhi norma-norma dasar dalam pertukaran internasional, menghormati fakta dan komitmennya, menghentikan pelanggaran dan provokasi serta mengambil langkah nyata untuk kembali ke jalur yang benar dalam menangani perbedaan dengan China melalui dialog dan konsultasi," tambah Lin Jian.
Terkait dengan latihan militer bersama antara Filipina dan Amerika Serikat yang dilakukan mulai hari ini termasuk melibatkan angkatan darat, laut, dan udara, Lin Jian menyebut latihan militer tidak boleh menargetkan atau merugikan kepentingan pihak lain.
"Latihan militer itu juga tidak boleh merusak kepercayaan antarnegara dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas di kawasan. Negara-negara di kawasan sudah mengetahui dengan jelas siapa yang memicu konfrontasi militer dan meningkatkan ketegangan di kawasan ini," tegas Lin Jian.
Laut China Selatan hingga saat ini masih menjadi titik panas permasalahan di kawasan karena China mengklaim hampir seluruh perairan di Laut China Selatan. Negara-negara anggota ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Filipina juga mengklaim wilayah tersebut.
Baca juga: Menpora Dito: Para atlet sudah maksimal berlaga di Thomas & Uber Cup
Baca juga: China luncurkan Chang'e-6 misi ke bulan
Beijing mengklaim wilayah maritim yang meliputi hampir 90 persen Laut China Selatan berdasarkan apa yang disebut sembilan garis putus-putus (Nine-Dash Line) yaitu wilayah historis Laut China Selatan seluas 2 juta kilometer persegi. Pengadilan Arbitrase Permanen yang berbasis di Den Haag pada 2016 menyebut klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum berdasarkan aturan internasional.
Namun, China mengatakan keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen itu tidak sah dan telah melakukan negosiasi dengan ASEAN sejak 2002 mengenai kode etik di laut yang disengketakan.