Kanada, AS hingga Uni Eropa nyatakan prihatin konflik Myanmar

id konflik myanmar,konflik rakhine

Kanada, AS hingga Uni Eropa nyatakan prihatin konflik Myanmar

Pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, menghadiri parade militer untuk memperingati 78 tahun angkatan bersenjata Myanmar di Naypyidaw, Myanmar, Senin (27/3/2023). ANTARA/Xinhua/Myo Kyaw Soe/am.

Washington (ANTARA) - Kanada, Amerika Serikat, Uni Eropa dan sekutu lainnya menyatakan keprihatinan mendalam atas meningkatnya kekerasan di Myanmar, menurut pernyataan bersama negara tersebut dirilis pada Jumat.

Departemen Luar Negeri Kanada menyebut Australia, Kanada, Uni Eropa, Korea Selatan, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat, sangat prihatin dengan peningkatan konflik di Myanmar dan khususnya dampak yang diderita oleh warga sipil.

Peningkatan konflik, menurut negara-negara tersebut, memperburuk dan merusak hak asasi manusia serta memperparah krisis kemanusiaan di seluruh negeri Myanmar. 

Pada Kamis (23/5), Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar memantau dengan saksama eskalasi konflik di Negara Bagian Rakhine, pesisir barat Myanmar.

Pemantauan itu dijalankan PBB untuk menilai apakah kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan selama konflik di negara itu. Dalam pernyataan bersama mereka, negara-negara tersebut mengungkapkan keprihatinan mereka atas dugaan pembatasan pengiriman bantuan kemanusiaan dan meningkatnya jumlah korban sipil yang terbunuh oleh ranjau darat.

Selain itu kekhawatiran mereka terkait penerapan peraturan perundang-undangan 2010 oleh pemerintah militer, yang mereka yakini bertujuan untuk memecah belah masyarakat dan memicu kekerasan berbasis etnis di negara tersebut.

Menurut pernyataan itu, mereka menuntut harus adanya akuntabilitas atas kekejaman yang dilakukan di Myanmar. Selain itu, negara-negara harus mencegah atau menghentikan aliran senjata atau peralatan militer dan bahan kegunaan ganda, termasuk bahan bakar penerbangan ke militer Myanmar.

Baca juga: PM Bangladesh minta IOM cari sumber dana baru
Baca juga: ASEAN desak penghentian kekerasan konflik di Myanmar


Pada Februari 2021, militer merebut kekuasaan di Myanmar menggunakan mekanisme konstitusional untuk pengalihan kekuasaan dalam situasi darurat. Mereka menangkap pejabat pemerintah, menuduh mereka melakukan kecurangan dalam pemilihan umum, dan kemudian menunjuk pemerintahan baru. Namun, pengambilalihan militer memicu kerusuhan sipil besar-besaran yang mengakibatkan perlawanan bersenjata meluas.

Pihak oposisi membentuk pemerintahan alternatif bawah tanah yang terdiri dari persatuan nasional. Oposisi tersebut mencakup mantan anggota partai terkemuka Liga Nasional untuk Demokrasi serta perwakilan kekuatan politik etnis yang menyerukan konfrontasi aktif dengan pemerintah militer.

Sumber: Sputnik