Ketika Perkawinan Anak Usia Dini Kian Marak

id kwin dini ntb

Ketika Perkawinan Anak Usia Dini Kian Marak

Deklasasi Gerakan Berssama Stop Perkawinan Anakn Indonesia di Mataram, Nusa Tenggara Barat

.....Fenomena kawin di bawah umur atau nikah dini itu masih sering ditemukan dalam kehidupan masyarakat, tak terkecuali di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Angka perkawinan usia dini di bumi "Seribu Masjid" ini juga cukup tinggi.....
Mataram,  Antara) - Kabar tentang pernikahan sepasang kekasih yang baru menginjak usia 14 tahun dan masih duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah pertama (SLTP) cukup menghebohkan warga pengguna internet atau "warganet".

Fenomena kawin di bawah umur atau nikah dini itu masih sering ditemukan dalam kehidupan masyarakat, tak terkecuali di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Angka perkawinan usia dini di bumi "Seribu Masjid" ini juga cukup tinggi.

Berdasarkan hasil pendataan keluarga tahun 2015, angka pernikahan dini di NTB mencapai 5,81 persen. Kondisi ini cukup memprihatinkan, karena perkawinan pada usia yang belum matang memunculkan berbagai persoalan.

Perkawinan usia dini banyak yang tak bisa bertahan lama. Ironisnya setelah usia perkawinannya setahun dikarunai satu anak, pasangan belia itu cerai. Perceraian itu menyisakan setumpuk masalah.

Anak yang lahir biasanya mengikuti ibu, sehingga menjadi beban orang tua si ibu yang kehidupannya pas-pasan. Ini baru satu persoalan kecil yang muncul akibat pernikahan dini.

Sejatinya pernikahan anak usia dini itu menyisakan segudang persoalan. Kondisi ini menimbulkan "kegalauan" bagi sebagian masyarakat dan pemerintah daerah di "Bumi Gora" ini.

Karena itu pemerintah daerah di Provinsi NTB dijadikan lokasi deklarasi memelopori gerakan bersama setop perkawinan anak di Indonesia.

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sari mengatakan NTB dipilih sebagai lokasi deklarasi "Gerakan bersama untuk Setop Perkawinan Anak" di Indonesia, karena NTB menjadi 5 dari 34 provinsi dengan angka perkawinan anak tinggi.

Berdasarkan rilis Council of Foreign Relations, Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara atau ketujuh di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak. Ironisnya Indonesia adalah yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.

Menurut dia, kegiatan seperti ini dilaksanakan, mengingat jumlah perkawinan secara nasional sudah melebihi 45 persen dari jumlah perkawinan seluruh Indonesia, dan didominasi oleh pernikahan usia 18 tahun.

Alasan lain NTB sebagai lokasi deklarasi tersebut, karena daerah ini merupakan salah satu provinsi yang memiliki ide atau gagasan membuat kebijakan pemberhentian perkawinan anak, termasuk di desa-desa juga memiliki peraturan perkawinan anak.

Untuk itu, Dian Kartika Sari mengapresiasi Provinsi NTB yang telah melahirkan berbagai kebijakan.

Ke depan diharapkan anak-anak SMP dan SMA yang ikut hadir dalam gerakan ini bisa secara langsung maupun tidak langsung memberi tahu kepada saudara, kerabat, tetangga dan teman sekolahnya supaya tidak melakukan perkawinan pada usia dini.



Membawa perubahan

Dari Gerakan Bersama Setop Perkawinan Anak di Indonesia ini nantinya diharapkan mampu membawa perubahan besar, karena mereka yang hadir bisa menjadi juru kampanye untuk setop perkawinan anak.

Wakil Gubernur NTB H Muhammad Amin menyatakan Pemerintah Provinsi NTB dan kabupaten kota serta seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah pusat, mendukung penuh program pendewasaan usia perkawinan dengan minimal usia perkawinan umur 21 tahun.

Program menekan angka pernikahan anak juga menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan angka Menengah Daerah (RPJMD).

Menurut Amin, program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) juga telah mendukung program pemerintah, yakni program Keluarga Berencana.

Ia mengatakan anak itu menimang prestasi, bukan menimang anak, prestasi lebih dulu, karena itu gerakan ini dilakukan secara bersama-sama.

Dia mengatakan untuk menyukseskan program tersebut nantinya berbagai regulasi senantiasa terus diwujudkan agar PUP bisa dikendalikan dan dicegah dan NTB dapat memperoleh generasi emas.

Selain di NTB, gerakan serupa juga dilakukan di lima provinsi lain, yakni Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Provinsi NTB.

Tingginya anhgka pernikahan dini berkorelasi kuat dengan tingginya jumlah janda dan duda yang mencapai angka 21,55 persen, dimana sebagiannya muncul akibat tingginya angka perceraian.

Kepala BKKBN NTB, Lalu Makripudin mengatakan tingginya angka pernikahan ini di NTB tak lepas dari kultur yang terbentuk dalam masyarakat soal pernikahan.

Menurut dia, masyarakat NTB telah sejak lama memiliki pola pikir bahwa pernikahan adalah sebuah pencapaian dan solusi dari berbagai masalah. Ini merupakan masalah besar dalam upaya menekan angka pernikahan diri di NTB.

Kendati demikian Makripudin berjanji akan terus bekerja keras untuk menekan tingginya angka pernikahan dini yang kerap kali berujung pada perceraian dan permasalahan pengasuhan anak.

Penyelenggaraan Gerakan Stop Pekawinan Anak Indonesia tahun ini menjadi acara yang sangat penting untuk mendorong program pemerintah daerah untuk menakan angka pernikahan dini.

Program itu menjadi semakin penting, sebab selain menggelar acara dan sosialisasi massal, BKKBN Pusat yang bersinergi dengan BKKBN NTB turut mengoptimalkan peranan dari Duta Generasi Berencana (GenRe) untuk melakukan pendekatan lebih intim kepada anak-anak di NTB.

Selain itu, Forum GenRe NTB juga melakukan pemberdayaan potensi remaja dan pemuda di NTB lewat berbagai program dan kegiatan. GenRe turut mendorong peran serta pemuda dan remaja untuk melestarikan dan mengembangkan potensi pariwisata di NTB.

Kepala BKKBN Pusat, Surya Chandra Surapaty mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk berperan aktif menyukseskan program pemerintah terkait pengendalian penduduk dan pengembangan manusia berbasis keluarga.

Hal tersebut, menurut dia, merupakan hal yang sangat penting, terlebih Indonesia akan memasuki era bonus demografi pada tahun 2020 hingga tahun 2030.

Upaya mewujudkan pendewasaan usia perkawinan sejati akan berdampak positif terhadap masa depan generasi muda penerus estafet pembangunan bangsa. (*)