Petaka ekologi akibat jagung di Pulau Sumbawa

id jagung sumbawa,banjir bandang,bencana hidrometeorologi,dampak pertanian monokultur,gerakan wanatani,ladang jagung,agrofo

Petaka ekologi akibat jagung di Pulau Sumbawa

Ilustrasi - Asap membumbung di kawasan hutan yang sengaja dibakar untuk lahan pertanian jagung di Bukit Tekasire, Kecamatan Manggelewa, Dompu, NTB, Kamis (2/11/2023). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/YU

Mataram (ANTARA) - Program tanam jagung pertama muncul dari Kabupaten Dompu yang terletak di tengah Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada tahun 2010. Program ini ternyata juga menjadi awal mula petaka ekologi di daerah ini.

Hutan yang menutupi perbukitan karst dan batu gamping di seluruh Pulau Sumbawa perlahan berubah menjadi kawasan perkebunan jagung yang sangat luas. Lahan budi daya jagung berkembang masif di kawasan pesisir hingga puncak bukit.

Setelah dua warsa menikmati hasil jagung yang menyilaukan mata, banjir akhirnya datang merendam ratusan rumah di Kecamatan Simpasai dan Kecamatan Woja, Kabupatan Dompu, sehingga memaksa 2.085 orang penduduk mengungsi ke tempat aman. Banjir saat itu terjadi akibat Sungai Silo dan Sungai Lajo meluap.

Luas areal ladang jagung di Kabupaten Dompu yang awalnya hanya 6.412 hektare dengan angka produksi 31 ribu ton pada tahun 2010, bertambah signifikan mendekati angka 100 ribu hektare pada tahun 2017. Bahkan, ladang jagung meluas hingga ke daerah lain di Pulau Sumbawa.

Data Kementerian Pekerja Umum dan Perumahan Rakyat melalui dokumen pengelolaan sumber daya air wilayah sungai Sumbawa yang terbit pada tahun 2016 menyebutkan Pulau Sumbawa memiliki 1,54 juta hektare lahan daerah aliran sungai (DAS).

Sebaran kawasan hutan tercatat sebanyak 58 persen atau setara 906.550 hektare dan sisanya 42 persen adalah penggunaan lain di luar kawasan hutan yang mencapai 634.900 hektare.

Kawasan hutan yang mencapai 58 persen itu terdiri dari hutan produksi seluas 9 persen atau setara 134.400 hektare, hutan produksi terbatas 18 persen atau sekitar 269.100 hektare, hutan lindung 23 persen atau sekitar 351.100 hektare, dan kawasan suaka alam serta pelestarian alam mencapai 8 persen atau sekitar 122.800 hektare.

Dari total 1,54 juta hektare lahan daerah aliran sungai terdapat lima tingkat kekritisan lahan, yakni sangat kritis, kritis agak kritis, potensial kritis, dan tidak kritis.

DAS Sumbawa yang sangat kritis sebanyak 16.279 hektare, DAS kritis 48.555 hektare, DAS agak kritis 308.402 hektare, DAS potensial kritis 943.233 hektare, dan DAS tidak kritis mencapai 224.978 hektare.

Pulau Sumbawa memiliki 555 daerah aliran sungai dengan topografi beragam mulai dari datar, melandai, berbukit, dan bergunung. Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Bima adalah dua dari lima kabupaten dengan jumlah daerah aliran sungai kritis paling banyak.

Dari 2012 sampai 2025, bencana meteorologi berupa banjir dan tanah longsor terus terjadi menghantui penduduk. Kini tidur tak lagi nyenyak setiap mendengar suara hujan deras yang mengguyur dengan durasi lama saat malam hari.

Bencana alam banjir terjadi saat musim hujan dan kekeringan ekstrem ketika musim kemarau. Jagung yang diharapkan bisa mendongkrak pendapatan kini menjadi komoditas pertanian yang merugikan baik secara ekonomi, sosial, dan budaya.


Merusak hutan dan laut

Alih fungsi hutan menjadi perkebunan jagung di Pulau Sumbawa membuat air hujan yang mengalir berwarna cokelat pekat. Sistem perakaran serabut tanaman jagung tak mampu menahan siraman air hujan, sehingga tanah mengalami erosi.

Pada 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka produksi jagung pipilan kering di Nusa Tenggara Barat mencapai 1,15 juta ton yang dihasilkan dari lahan seluas 173 ribu hektare.

Kepala BPS NTB Wahyudin mengungkapkan jumlah produksi jagung di Nusa Tenggara Barat lebih dari 2 juta ton setiap tahun, namun angka itu tidak pernah dimasukkan ke dalam data statistik karena perkebunan jagung yang ditanam berada pada kawasan hutan.

Alasan BPS tidak mencantumkan angka riil produksi jagung Nusa Tenggara Barat karena BPS tidak mendukung aktivitas berladang yang merambah hutan.

Konversi hutan menjadi ladang memang meningkat produksi pangan, tapi menghadirkan beberapa dampak negatif mulai dari kerusakan ekosistem hingga konflik sosial dan ketimpangan ekonomi.

Pada 20 Desember 2024, curah hujan ekstrem dengan intensitas rata-rata 15-18 milimeter per jam selama tiga hari berturut-turut menyebabkan banjir di Pulau Sumbawa, yakni Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota Bima.

Kementerian Kehutanan melaporkan lahan kritis yang berada pada daerah tangkapan air dan saluran drainase yang buruk memperparah banjir. DAS Mapin seluas 4.515 hektare di Kabupaten Sumbawa memiliki tutupan vegetasi hutan yang tergolong cukup baik hanya mencapai 59 persen.

Sedangkan DAS Tarei dan DAS Labalaju dengan luas daerah tangkapan air 47.940 hektare di Kabupaten Dompu memiliki tutupan hutan yang mengalami penurunan akibat perambahan kawasan hutan untuk aktivitas perladangan.

Lahan kritis pada daerah tangkapan banjir di kedua DAS tersebut mencapai 12.568 hektare dengan rincian sebanyak 7.140 hektare berada di dalam kawasan hutan dan 5.428 hektare di luar kawasan hutan. Kapasitas tampung daerah tangkapan air hanya 382,1 meter kubik per detik, sedangkan debit air hujan saat ini mencapai 638,8 meter per detik.

Adapun DAS Rontu yang meliputi wilayah Kota Bima dan sebagian Kabupaten Bima dengan luas mencapai 25.834 hektare. Daerah tangkapan banjir seluas 11.813 hektare dengan luas lahan kritis mencapai 4.955 hektare atau setara 42 persen.

Tutupan vegetasi hutan DAS Ronto hanya 20 persen dengan hampir separuh berupa tutupan pertanian kering ladang jagung yang ditanam pada daerah miring, sehingga kurang baik dalam mengendalikan laju limpasan hujan hingga erosi dan sedimentasi.

Focal Species Conservation Senior Manager dari Yayasan Konservasi Indonesia (KI) Iqbal Herwata mengatakan aktivitas berladang yang dilakukan manusia di darat telah mengganggu habitat ikan kharismatik hiu paus di Teluk Saleh.

Era 90-an sebelum hutan rusak akibat jagung, hiu paus yang bernama latin Rhincodon typus berada dekat pesisir—hanya butuh waktu sekitar 10 menit berlayar menggunakan perahu—dari Desa Labuan Jambu di Kabupaten Sumbawa. Kini untuk melihat hiu paus di Teluk Saleh butuh waktu berlayar selama satu sampai dua jam.

"Kalau dilihat tren waktu ke waktu berdasarkan data satelit tagging yang kami pasang, hiu paus bergerak dan sekarang trennya agak dalam dekat perairan Kabupaten Dompu," kata Iqbal.

Pergeseran titik pengamatan hiu paus yang merupakan spesies ikan terbesar di dunia tersebut dari perairan dangkal ke perairan dalam di Teluk Saleh menjadi sinyal peringatan bagi manusia tentang sedimentasi dan pencemaran laut.


Wanatani jadi harapan

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyadari lahan kritis yang rusak akibat invasi budi daya monokultur jagung perlu dipulihkan guna mengurangi dampak bencana alam di masa depan.

Pada 30 Januari 2025, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB memulai gerakan satu desa satu demplot wanatani di Kabupaten Sumbawa.

Gerakan itu dilakukan pada 27 demplot desa yang tersebar di tiga Balai Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) dengan rincian Balai KPH Brang Beh ada 4 desa, Balai KPH Batulanteh ada 8 desa, dan Balai KPH Ampang Plampang ada 15 desa.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Dodokan Moyosari menyalurkan 5.000 bibit tanam buah berupa alpukat, petai, lengkeng, nangka, mangga, hingga durian untuk mendukung gerakan wanatani di Kabupaten Sumbawa tersebut.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB Julmansyah mengatakan wanatani atau dikenal juga agroforestri bertujuan untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih produktif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Model wanatani yang memadukan penanaman pohon berakar tunjang ke dalam ladang jagung dapat meningkatkan keuntungan sosial dan ekonomi petani melalui pemanfaatan buah dari tanaman produktif.

Bahkan pepohonan yang ditanam dapat mencegah air limpasan sedimentasi serta meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah yang berpotensi timbulnya mata air baru dan meningkatkan keanekaragaman hayati, sehingga menguntungkan secara ekologi.

Praktik menanam beragam tanaman merupakan pendekatan yang lebih berkelanjutan untuk pertanian jangka panjang ketimbang budidaya secara monokultur. Wanatani bisa menjadi solusi bagi Pulau Sumbawa agar lepas dari cengkeraman bencana alam tahunan akibat aktivitas berladang yang merusak lingkungan selama 15 tahun terakhir.