Mataram (ANTARA) - Debu dari sirkuit Lombok-Sumbawa Motocross 2023 sempat menebar harapan besar bagi kebangkitan sport tourism di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dengan dana Rp24 miliar dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ajang ini diharapkan menempatkan NTB di peta pariwisata olahraga internasional.
Namun, di balik sorak penonton dan gegap gempita promosi, terselip catatan kelam tentang tata kelola dan akuntabilitas publik.
Kejaksaan Tinggi NTB membuka penyelidikan setelah menerima laporan dugaan penyimpangan anggaran.
Audit Inspektorat menemukan potensi kerugian negara sekitar Rp2,6 miliar, dengan rincian selisih pembayaran ke penyedia, kekurangan pajak, selisih dana pada pihak mitra, dan biaya perjalanan dinas yang berlebih.
Meski nilainya kecil dibanding total anggaran, angka itu menggores kepercayaan publik terhadap tata kelola keuangan daerah.
Kasus ini menempatkan dua lembaga pengawas pada titik kritis. Inspektorat, sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), memiliki kewenangan administratif untuk menyelesaikan kasus melalui pengembalian kerugian negara.
Sebaliknya, kejaksaan berwenang menindak secara pidana bila ada bukti perbuatan melawan hukum. Di antara dua jalur itu, muncul ketegangan antara pendekatan restoratif yang cepat dan tuntutan publik akan penegakan hukum yang tegas.
Sebagian pihak berpendapat, pengembalian kerugian cukup untuk menutup kasus. Namun pertanyaannya, apakah pengembalian dana bisa memulihkan integritas yang telah tercoreng?.
Kesalahan yang disebut administratif bisa saja berulang bila tak disertai perubahan sistemik. Akibatnya, birokrasi justru terbiasa mencari jalan pintas dengan cukup kembalikan uang, semua dianggap selesai.
Pelajaran penting dari kasus Motocross ini adalah rapuhnya koordinasi antarlembaga. Mulai dari tahap perencanaan, penganggaran, hingga pelaporan, semuanya menyisakan lubang pengawasan.
Proyek besar dikejar cepat demi seremonial, tetapi pengawasan tertinggal jauh. Data tidak lengkap, tanggung jawab tumpang tindih, dan akhirnya proses hukum tersendat karena bukti administratif lemah.
Dalam konteks ini, reformasi pengawasan menjadi keharusan. Kapasitas APIP harus diperkuat agar audit tuntas dan tidak berlarut.
Mekanisme pemulihan kerugian perlu diiringi sanksi administratif dan pembenahan sistem agar menjadi pembelajaran, bukan sekadar kompensasi.
Transparansi publik juga harus dijalankan dengan memastikan bahwa laporan kegiatan diumumkan secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat. Dengan cara itu, pengawasan partisipatif dapat tumbuh, memberi ruang bagi publik untuk ikut mengontrol penggunaan dana negara.
Selain itu, penerapan sistem keuangan digital yang terintegrasi antara pusat dan daerah bisa menjadi solusi jangka panjang. Setiap transaksi dapat dilacak secara real time, meminimalkan ruang manipulasi dan mempercepat proses audit.
Di sisi lain, pemerintah daerah harus berhenti memandang event besar hanya sebagai ajang kebanggaan. Ukuran keberhasilan bukan lagi pada ramai penonton, tetapi pada tertibnya pengelolaan dana dan akuntabilitas yang menyertainya.
Kasus Lombok–Sumbawa Motocross 2023 akan menjadi cermin kematangan birokrasi NTB. Jika penyelesaiannya hanya berhenti pada angka yang dikembalikan, publik berhak skeptis.
Namun, jika hasil audit dan langkah kejaksaan mampu memperkuat sistem dan menumbuhkan integritas baru, maka dari debu lintasan itu akan lahir pelajaran berharga.
Karena di balik suara mesin yang meraung, pembangunan sejati ditentukan bukan oleh kecepatan, tetapi oleh arah yang benar.
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Samota di tikungan integritas
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menyelamatkan gili dari sengketa
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Superhub Bali-NTB-NTT, Dari wacana ke aksi
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Ketika Mandalika melahirkan juara
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Kenaikan tarif dan ujian tata kelola Rinjani
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Museum NTB, Menenun masa lalu dan masa depan
