Mataram (ANTARA) - Tuhan Maha Adil dalam penciptaan hambaNya: laki-laki dan perempuan, dan perempuan itu kekuatannya sangat dahsyat. Ada manusia yang jatuh terpuruk, namun dia bisa bangkit hanya karena senyuman seorang perempuan.
Tidak diketahui secara pasti mengapa begitu dahsyatnya senyuman seorang perempuan. Tulisan pendek ini lebih memilih kata perempuan daripada wanita. Apakah karena perempuan itu akar dasar katanya dari kata “empu”?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), empu diartikan sebagai orang yang sangat dihormati dan dimuliakan. Ataukah, seperti dikatakan seorang ahli psikologi analitik atau psikoanalisis Sigmund Freud bahwa semuanya berakar pada libido.
Menurut Freud, libido adalah instinct dalam komponen ketidaksadaran psikologis yang merupakan kekuatan pendorong semua perilaku, sebagaimana juga diungkapkan oleh ahli psikologi analitik lainnya, Gustav Jung.
Menurut Gustav Jung, libido adalah energi psikis yang dimiliki setiap individu guna mengekspresikan diri hanya melalui simbol-simbol energi yang memanifestasikan diri dalam proses kehidupan dan dipersepsikan secara subyektif sebagai sebuah hasrat.
Dalam kaitan ini, penulis jadi teringat pada Buya Hamka. Dalam Tafsir Al Azhar saat membahas QS Ali Imran ayat 14, Hamka menjelaskan tentang keadilan Tuhan. Di dalam Ali Imran 14 tidak disebutkan yang tergila-gila adalah perempuan kepada laki-laki, tetapi sebaliknya: laki-laki yang tergila-gila kepada perempuan.
Pada diri perempuan umumnya yang ada adalah: kesetiaan, penyerahandiri/kepasrahan dan kelemah-lembutan. Justru inilah yang membuat laki-laki tambah terpesona kepada perempuan.
Jika istilah Bahasa Indonesia itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris khawatir tidak tepat, seperti “faithfulness”/”loyality” untuk kesetiaan, atau “surrender”/”resignation” untuk penyerahan diri dan “gentleness” untuk kelemah-lembutan.
Yang pasti, keinginan (“sex drive”) adalah manusiawi dan wajar. Hamka menulis, “orang yang tidak menyadari hikmat syahwat yang dihiaskan Tuhan itu tidaklah akan merasa puas dengan satu perempuan, karena daya tarik perempuan adalah sebanyak jumlah perempuan itu...” Dahsyat bukan?
Berbincang soal “keinginan”, kita diingatkan oleh cerita seorang sufi Rabi’atul Adawiyah saat ditanya keinginannya untuk masuk surga. Ia berujar, “dimana pun aku ditempatkan Tuhan, terserahlan pada Tuhan, asal satu perkara aku tetap diberinya, yaitu ridhoNya.
Terkait perempuan selaku istri, Buya Hamka mengingatkan, “tetapi manusia yang insaf hanya memilih dan menetapkan satu, meskipun Islam mengizinkan sampai empat. Baik satu, ataupun empat, dan telah ada hubungan dengan jalan halal, pesona perempuan tidak juga kurang dari yang empat itu…”
Artinya, meskipun sudah empat, masih akan terpesona dengan yang kelima, keenam dan seterusnya. Bahkan, kata pujangga Ibnu Muqaffa, kalaupun hari ini akan kiamat, nanti siang atau sore ia masih akan kawin lagi. Itulah dahsyatnya perempuan.
Perempuan diambil oleh seorang laki-laki untuk berumah tangga atas nama Tuhan (“mitsaqon gholidzo”) sebagai sebuah “perjanjian luhur” melebihi “the noble agreement” atau “akad luhur” antara rakyat dan negara dalam konstitusi UUD 1945.
Dalam konstitusi itu disebutkan secara jelas bahwa rakyat memberikan semacam kuasa (“power of attorney”) kepada negara untuk melindungi hak-hak fundamental warga negara.
Last but not least, mendirikan rumah tangga itu sendiri adalah amanah, sebuah mandat spiritual. Perjalanannya tak selamanya mulus, tapi penuh duri dan onak (“thorns and thistles”), bahkan terkadang harus menghadapi “storm and stress” (badai dan gelombang). Wallu’alam bishawab.
*Penulis, T.M. Luthfi Yazid adalah alumnus Open University, Coventry UK dalam bidang “Creative Writing”.