Reformasi perpajakan mendesak dilakukan

id Reformasi perpajakan,COVID-19,RUU KUP,Pajak

Reformasi perpajakan mendesak dilakukan

Dokumentasi. Dua petugas pajak berbincang saat peringatan Hari Pajak 2020 di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (14/7/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj.

Jakarta (ANTARA) - Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai reformasi perpajakan mendesak dilakukan dengan perhitungan dan cara yang tepat tepat, agar tidak menghambat pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19.

Menurut Bhima, reformasi perpajakan perlu diarahkan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antara kelompok masyarakat kelas atas dan kelas bawah yang semakin lebar di tengah pandemi COVID-19.

“Tujuan reformasi pajak yang ideal dicapai adalah peningkatan kepatuhan wajib pajak kakap yang sudah diberi fasilitas tax amnesty tahun 2016, tapi belum juga terjadi kenaikan kontribusi signifikan pada penerimaan pajak,” kata Bhima kepada Antara di Jakarta, Senin.

Selain itu, pemerintah perlu mengarahkan reformasi perpajakan kepada pencegahan penghindaran pajak antar negara dan penurunan emisi karbon secara signifikan.

Oleh karena itu, penerapan pajak karbon yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) pasal 44G perlu diprioritaskan. Dalam jangka pendek, menurut Bhima, pemerintah bisa berfokus mengenakan pajak karbon untuk hulu industri ekstraktif yang menghasilkan emisi karbon, seperti pertambangan.

“Sementara penerapan pajak karbon ke masyarakat sebaiknya dilakukan secara hati-hati dengan menimbang daya beli per kelompok masyarakat,” imbuhnya.

Selain itu, menurut Bhima, penambahan golongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi juga perlu diprioritaskan untuk meningkatkan tarif pajak bagi orang berpenghasilan tinggi.

“Penghasilan di atas Rp5 miliar perlu dikenakan tarif pajak sampai 45%. Dari kenaikan tarif PPh orang pribadi, peningkatan kepatuhan dan pendataan wajib pajak yang valid akan menghasilkan dampak ke penerimaan pajak secara besar. Andaikan UU PPh-nya diloloskan maka tidak perlu pemerintah membahas soal PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk sembako,” imbuh Bhima.

Pajak minimum alternatif (alternative minimum tax) untuk perusahaan asing juga perlu mulai diterapkan dengan tarif yang bisa di atas 1 persen. Di samping itu, basis barang yang dikenakan cukai juga perlu perlu diperluas sehingga tidak hanya rokok, alkohol, dan etil alkohol.

“Ke depannya barang kena cukai bisa didorong lebih banyak, misalnya minuman berpemanis yang punya efek ke kesehatan idealnya dikenakan cukai juga,” ucapnya.