Mataram (ANTARA) - Deputi Bisnis/Vice President PT Pegadaian (Persero) Area Makassar 1, Sulawesi Selatan, Kantor Wilayah Makassar, Agus K Saputra, merilis Buku Kumpulan Puisi "Bermain di Pasar Ampenan".
Buku berisikan 69 puisi karyanya tersebut, tidak lain merupakan pengalaman dirinya yang pernah tinggal dan besar di Ampenan, Mataram, Nusa Tenggara Barat--yang lebih dikenal saat ini sebagai "Kota Tua"--mengikuti tugas orang tuanya yang mengabdi di Bank Negara Indonesia (BNI) Ampenan pada tahun 1963.
"Bermain di Pasar Ampenan merupakan himpunan puisi saya yang keempat. Himpunan puisi ini, saya 'dedikasikan' buat ayah, ibu dan adik pertama yang telah terlebih dahulu mangkat, alfatihah," katanya saat berkunjung ke kantor LKBN Antara Biro NTB, Jumat (18/2) malam.
Ia menyebutkan Ampenan adalah sebuah kota pelabuhan di Pulau Lombok di mana pertama kalinya, ayah saya bertugas sekitar 1960-an. Kantornya berdekatan dengan pelabuhan tersebut.
Banyak kenangan terlintas, kata dia, yang dituliskan dalam bentuk puisi. "Terutama jika saya diajak almarhumah ibu ke Pasar Ampenan, karena di sini lah kesempatan saya bermain sepuas-puasnya," katanya.
Kumpulan puisi soal Ampenan karya pria kelahiran 14 Agustus 1968 itu, merupakan buku kumpulan puisi yang keempat karyanya. Tiga buku kumpulan puisi sebelumnya, "Kujadikan Ia Embun" (2017), "Menunggu di Apupu" (2018) dan "Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil" (2020).
"Puisi-puisi Agus K Saputra apa adanya tanpa pretensi artistik berlebihan, dengan secara konsisten memperlihatkan sikap itu," kata penulis Adam Gotar Parra.
Keindahan puitik bukan menjadi target utama kepenyairannya, tetapi lebih kepada penyampaian pesan atau suasana dan peristiwa yang dialaminya. "Ada kemurungan dalam kesederhanaan puisinya," katanya.
Kemurungan sebagai tabir puitik yang mendedahkan reaksi batin penyair, yang sangat mudah luruh dan luluh oleh berbagai peristiwa yang dialami atau disaksikan dalam gerak laju waktu yang senantiasa tak pernah kembali.
Sebenarnya masih banyak hal yang menarik untuk dibincang dari buku puisi tersebut, namun tentu saja hal itu akan mengusik kenyamanan pembaca. "Karena bagaimanapun sebuah puisi adalah sebuah misteri, biarkan pembaca sendiri yang menyibak rahasianya," katanya.