MENGUAK KASUS PEMBALAKAN LIAR DI HUTAN TAMBORA Oleh Masnun Masud

id

     "Pelaku penebangan liar di Tambora harus kita beri sanksi hukum yang seberat-beratnya," kata Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan terkait kasus pembalakan liar besar-besaran di kawan hutan Tambora, Kabupaten Dompu, NTB.
     Keprihatinan Menhut atas maraknya pembalakan liar itu disampaikannya di hadapan ratusan pemuda pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I KNPI di kawasan wisata Senggigi Lombok belum lama ini.
     Terungkapnya kasus pembalakan liar secara besar-besaran di kawasan hutan Tambora itu berawal ketika jajaran Dinas Kehutanan dibantu anggota TNI menggagalkan penyelundupan sekitar 100 meter kubik kayu yang diduga akan diselundupkan ke luar Kabupaten Dompu.
     Kayu yang diduga hasil pembalakan liar itu ternyata tidak hanya 100 meter kubik, tetapi masih ada sekitar 1.000 batang lagi yang masih belum sempat diangkut dari kawasan hutan Tambora. Kayu tersebut sebagian besar jenis rajumas atau "Duabanga moluccana".
     "Kami menemukan terjadi penebangan liar di kawasan Tambora. Masih ada 1.000 batang lebih kayu yang ada di sana. Tolong kawal itu. Harus mendapat hukuman," kata Menhut seraya mengajak para pemuda untuk ikut memelihara dan menjaga hutan dari praktik pembalakan liar.
      Penebangan liar di kawasan hutan Tambora Dompu itu diduga dilakukan dengan menyalahgunakan izin yang dikeluarkan kepala desa berupa Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) kayu.
      Karena itu Zulkifli meminta semua pihak untuk menjaga kelestarian hutan. Para pemuda juga diharapkan mampu mengawasi penebangan liar di sejumlah kawasan hutan di Indonesia.
      "Area hutan kita sudah sedikit, malah pohonnya ditebangi," kata Menhut yang saat itu didampingi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB Abdul Hakim.    
      Menurut Menhut,  untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat menebang kayu, cukup dengan SKAU kayu yang dikeluarkan kepala desa, tidak perlu pemerintah.
       Ia mengatakan, pemerintah memberikan kemudahan cukup dengan izin yang ditandatangani oleh kepala desa, yakni berupa SKAU, kalau itu memang benar kayu yang dibolehkan untuk ditebang. Jadi sebenarnya tidak sulit.
      "Jangan sampai seperti kasus di hutan Tambora, Kabupaten Dompu terjadi penyimpangan yang luar biasa. Ada oknum yang menggunakan SKAU untuk melakukan pembalakan liar. Kami sudah menyita belasan truk kayu dari Taman Nasional Tambora dibantu oleh anggota TNI dan ternyata masih 1.000 batang lebih yang belum diangkut," katanya.
      Untuk mengatasi pembalakan liar tersebut, kata Zulkifli, pihaknya mendapat dukungan dari Korem 162/Wira Bakti dan Pangdam IX Udayana.
      "Kami mengharapkan dukungan dari pemda dan selutuh masyarakat untuk mencegah pembalakan liar. Mari kita bersama-sama  menjaga hutan yang masih sedikit agar degradasi hutan tidak semakin parah," ujar Menhut dengan nada serius
      Dia mengajak para pemuda bekerja sama melestarikan hutan yang terus mengalami kerusakan akibat perambahan liar.
      "Mari kita berhenti bertengkar. Saya mengajak KNPI berdemo, tapi demo menanam pohon," katanya.

                                                       Kasus terbesar
      Instruksi Menhut untuk mengusut tuntas kasus pembalakan liar di kawasan hutan Tambora itu nampaknya memacu semangat jajaran Dinas Kehutanan untuk menguak kasus pembalakan liar yang disebut-sebut sebagai kasus terbesar dalam lima tahun terakhir.       Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) NTB Abdul Hakim mengatakan, kasus pembalakan liar di kawasan Gunung Tambora dengan volume penebangan diperkirakan mencapai 1.000 meter kubik lebih itu diduga  menyalahgunakan SKAU kayu.
      "Kasus pembalakan liar di lereng Gunung Tambora itu juga diduga melibatkan dua oknum kepala desa yang mengeluarkan SKAU kayu dan oknum pengusaha. Kami akan mengusut tuntas kasus tersebut dan para pelaku yang terbukti bersalah akan dihukum sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
      Didampingi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dishut NTB Helmi SH, dia mengatakan terkait dengan kasus pembalakan liar itu pihaknya telah meminta keterangan dari dari dua kepala desa, yakni Kepala Desa Beringin Jaya dan Desa Doro Peti termasuk staf desa pembuat SKAU kayu, pelaku penebangan dan pengusaha yang membeli kayu.
     Terkait dengan praktik pembalakan liar itu jajaran Dinas Kehutanan NTB telah menyita 5 truk  memuat 52 meter kubik kayu di Desa Beriungin Jaya dan 3 truk membuat 30 hingga 33 meter kubik yang diduga ditebang di kawasan hutan lindung Gunung Tambora.
     "Hingga kini kami belum menetapkan tersangka dalam kasus pembalakan liar tersebut. Kami masih melakukan pengembangan penyidikan untuk mengungkap kemungkinan adanya pelaku lain termasuk oknum pengusaha yang terlibat dalam kasus itu," katanya.
      Hakim mengatakan, pihaknya telah menggelar rapat terkait penanganan kasus pembalakan liar terbesar di NTB itu dan dalam waktu dekat tim terpadu akan turun meninjau langsung lokasi penebangan liar di kawasan hutan lindung Gunung Tambora.
      Ia mengatakan, tim terpadu yang melibatkan sekitar 200 orang itu berasal dari Dishut NTB, Polda, jajaran Korem 162/Wira Bhakti, Lanal Ampenan, Polisi Pamong Praja (Pol PP), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA).
      "Bersama tim terpadu itu kita akan melakukan operasi represif mulai dari hulu (dalam kawasan hutan) hingga ke hilir atau di luar kawasan hutan untuk mencari kemungkinan adanya penampung dan pengecer kayu hasil pembalakan liar itu," kata Hakim.
      Jenis kayu yang ditebang di kawasan hutan lindung Tambora tersebut didominasi oleh jenis Rajumas (duabanga mollucana) berdiameter satu sampai dua meter lebih yang usianya lebih dari 100 tahun. Satu batang bisa mencapai 50 hingga 60 meter kubik.
     Praktik pembalakan liar di kawasan hutan lindung Gunung Tambora, Kabupaten Dompu,  Nusa Tenggara Barat diduga melibatkan oknum pengusaha yang memberikan modal dan peralatan untuk menebang kayu.
      Pihak Dishut NTB mensinyalir ada keterlibatan oknum pengusaha yang memberikan biaya kepada para pelaku penebangan secara liar di kawasan hutan lindung itu.
      "Untuk mengungkap kemungkinan keterlibatan oknum pengusaha itu kami sedang melakukan pengembangan penyidikan dengan meminta keterangan dari sejumlah pihak yang terkait dengan kasus pembalakan liar terbesar di NTB itu," katanya.
      Menurut Hakim, bisa saja pembalakan liar itu dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, seperti pelaku penebangan, pengusaha angkutan truk dan pengecer. Bahkan tidak menutup kemungkinan oknum kepala desa yang memberikan SKAU kayu dan penebangan kayu di kawasan hutan lindung Tambora itu menggunakan gergaji rantai sehingga bisa dilakukan dengan cepat dan hasilnya banyak mencapai lebih dari 1.000 meter kubik.
    "Karena itu kita akan berupaya mengungkap kasus pembalakan yang menyebabkan terjadinya degradasi hutan oitu. Hasil penyidikan oleh  PPNS Dishut NTB akan kita serahkan ke polisi  untuk ditindaklanjuti," ujarnya.
      Praktik pembalakan liar itu diduga sudah berlangsung cukup lama, namun baru berhasil diungkap setelah anggota TNI dari Kodim 1614 Dompu berhasil menyita kayu jenis rajumas yang dibawa menggunakan truk.
      Hakim mengakui penebangan liar di kawasan hutan lindung Tambora itu relatif sulit diawasi, karena lokasinya cukup jauh dan kawasan hutan lindung itu juga cukup luas, sehingga para pelaku bisa melakukan aksi pembalakan secara bebas.
      Hukuman untuk para pelaku pembalakan liar menurut undang-undang kehutanan yang baru cukup berat dan truk yang digunakan mengangkut kayu juga akan disita untuk negara, kayu dan truk yang mengangkut merupakan satu kesatuan.
      Ia mengakui sehubungan dengan maraknya praktik penembangan pohon secara liar di kawasan hutan yang berada di lereng Gunung Tambora itu  kondisi hutan cukup parah. Tingkat kerusakan hutan Tambora akibat penebangan pohon secara liar itu sudah mencapai 30 persen dari luas kawasan hutan Tambora yang mencapai 70.000 hektare lebih.
      Kawasan hutan lindung Tambora terbagi atas tiga bagian, yakni kawasan hutan produksi, hutan olahan investor dan hutan taman buru. Namun semua bagian mengalami kerusakan yang diperkirakan mencapai 30 persen.
     Kerusakan terparah terjadi di kawasan hutan olahan investor yang mencapai 50 persen dari total luas areal 30.000 ha. Kawasan itu pernah dikelola PT Vener Production yang mengantongi Hak Pemanfaatan Hutan (HPH) dan tidak sempat direklamasi pascakontrak pengelolaan.
      Sementara tingkat kerusakan di hutan produksi mencapai 25 persen dari total 26.000 ha, demikian pula tingkat kerusakan hutan taman buru yang juga mencapai 25 persen lebih.
      Instruksi Menhut agar para pelaku pembalakan liar dihukum seberat-beratnya agaknya beralasan dalam upaya memberikan "shock teraphy" agar praktik penebangan liar tidak semakin merajalela yang akhirnya akan menyengsarakan masyarakat. Karena cepat atau lambat degradasi hutan itu akan menyengsarakan masyarakat. (*)