Siluet pepohonan jambu mete yang digelayuti buah-buah kemerahan tertiup angin pagi di gugusan perbukitan Gunung Rinjani, nyaris serupa hasil gurat tangan seorang Vincent van Gogh tatkala melumuri cat pada kanvas dan membentuk mozaik lukisan The Red Vineyard.
Pagi itu, tak ubahnya seperti ribuan pagi-pagi lain yang telah dijejaki Nengah Sumerta, seorang petani yang membaktikan hidupnya pada lahan seluas 3,5 hektare di Dusun Geguri, Desa Akar-Akar, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
"Sejak tahun 1979, setelah saya mendapatkan area hutan seluas 3,5 hektare dari pemerintah melalui program transmigrasi spontan, saya pun memberikan segenap perhatian saya untuk mengubahnya menjadi lahan yang bermanfaat," kata Nengah.
Pada saat itu, lahan itu masih berupa hutan belantara, ditumbuhi beragam tanaman liar, yang tidak menghasilkan keuntungan finansial bagi warga. Namun, bukannya menyerah menyaksikan pepohonan menjulang tinggi dan rerimbunan tanaman liar berduri, lelaki itu justru tertantang dan menyingkirkan segenap keraguannya.
Nengah meyakini, garis kehidupannya adalah menjadi seorang petani. Semenjak dari leluhurnya secara turun-temurun, darah pada keluarganya senantiasa mengalirkan sikap yang siap melumerkan kekeraskepalaan tanah terjal, agar bersedia menjadi hamparan ladang yang siap ditumbuhi benih-benih tanaman yang secara ekonomis terhitung menguntungkan.
Keyakinan ini membuat Nengah selalu terfokus ingin menggeluti usaha bertani, di samping sejak kecil dirinya memang tidak pernah terlepas dari balutan lumpur dan aktivitas memanggul padi hasil panen di sawah keluarganya.
Di sisi lain, pada saat itu Nengah sempat dirambati kegamangan untuk merealisasikan keinginannya berhubung di tempat tinggalnya yang terletak di Tanjung, kala itu sudah dipadati penduduk, sehingga lahan pertanian menjadi terbatas.
Sempat beberapa lama diayun kegamangan, Nengah akhirnya mendapatkan solusi tak terduga saat pemerintah membuka program transmigrasi spontan. Tanpa membuang waktu, Nengah pun mendaftar dan akhirnya mendapatkan lahan di tengah hutan itu.
"Pemerintah mensyaratkan semua biaya harus ditanggung sendiri oleh warga yang mengikuti program transmigrasi. Pemerintah hanya memberikan lahan, tapi mengenai biaya hidup dan lainnya, harus ditanggulangi sendiri," kata lelaki ini.
Nengah sama sekali tidak keberatan dengan persyaratan itu. Baginya, memiliki lahan sendiri dengan luas yang cukup, merupakan anugerah yang tidak ternilai. Makanya, lelaki itu tidak mengeluh sama sekali meski lahan yang diberikan pemerintah terletak di tengah hutan belantara, dan menjadi habitat kera-kera dan babi hutan.
Pondok di Tengah Hutan
Pilihan Nengah untuk fokus menggarap lahan, membuatnya segera ingin menempati lahan itu. Tidak berselang lama setelah mendirikan pondok di tengah hutan, Nengah yang ditemani ibu dan beberapa keponakannya, segera pindah dari Tanjung dan selanjutnya menetap di tengah hutan.
Mula-mula, Nengah membabat hutan dibantu beberapa warga sesama transmigran dengan sistem bergotong royong. Setelah lahan terbuka, Nengah menanami dengan padi gogo dan jagung. Di sela-sela padi dan jagung, ia menanam berbagai macam pepohonan. Seperti kelapa, kakao, jambu mete, dan beragam buah-buahan.
"Padi gogo dan jagung itu ditanam untuk sementara saja. Setelah tanaman keras seperti jambu mete dan kelapa tumbuh besar, padi dan jagung tidak ditanam lagi, karena memang penanamannya bersifat sementara, menunggu tanaman keras bertumbuh besar," kata suami dari Ni Wayan Sri Ariani.
Seiring bergantinya hari, sebanyak 200 pohon jambu mete tumbuh menjulang dan mulai digelayuti buah-buah kemerahan. Ketika masa panen tiba, Nengah tidak kesulitan menjual karena sudah ada pengepul yang siap menunggu hasil panen itu.
"Harga biji jambu mete itu Rp15 ribu/kg. Setiap panen yang berlangsung setahun sekali, saya bisa mendapatkan 200-250 kg biji jambu mete," kata ayah dari lima putri ini.
Selain jambu mete, tanaman andalan lain adalah kakao yang biasanya berbuah setelah tiga tahun ditanam. Meski prospektif dan hasil panennya selalu dicari konsumen, namun Nengah akhir-akhir ini agak terganggu dengan kehadiran rayap yang memakan akar dan merambati batang kakao, hingga kalau dibiarkan tanaman menjadi layu serta mati perlahan-lahan.
Seiring tahun silih berganti, lahan perkebunan Nengah kini telah dipenuhi berbagai jenis buah-buahan dan tanaman produktif lainnya. Tidak hanya durian, rambutan, kelapa, mangga, jeruk, alpukat, dan beraneka palawija, belakangan ini Nengah tengah intensif bertanam cengkeh.
Keberhasilan Nengah mengubah hutan belantara menjadi perkebunan dengan buah-buahan yang tumbuh subur dan digelayuti buah-buah, seketika menginspirasi penduduk lokal, hingga sedikit demi sedikit meniru langkahnya untuk bercocok tanam.
"Sebenarnya apa yang saya lakukan, selaras dengan yang diperbuat leluhur saya yang berasal dari Bali. Kami bercocok tanam dengan sistem terasering karena lahan ini berada pada daerah ketinggian. Untuk pengaturan pengairan, pada beberapa titik air sengaja ditahan agar menyebar, dan di setiap pematang, sengaja saya tanami pohon pisang," katanya.
Penanaman pohon pisang bertujuan untuk menjaga kelembapan, karena tanaman itu mampu menyimpan banyak air. Jadi begitu musim kemarau tiba, maka tanah di sekitar area tumbuh pohon pisang, tetap akan lembap.
Langkah jitu lain dalam bercocok tanam adalah dengan sebanyak mungkin menanam keladi di antara tempat tumbuh tanaman keras. Penanaman keladi ini dimaksudkan untuk menjadi sasaran `gayas` atau hama penyerang tanaman. Dengan penanaman keladi, maka tanaman keras menjadi selamat dari serbuan gayas.
Selain itu, meski tanaman keladi akhirnya mati, namun prosesnya berlangsung lama dikarenakan memiliki bonggol sehingga mampu bertahan hidup di tengah serbuan gayas.
"Ini sebenarnya termasuk trik keberhasilan saya dalam bercocok tanam dan alasan mengapa tanaman di lahan perkebunan saya bisa selamat dari serangan hama. Sederhana saja, tanami lahan dengan keladi, agar tanaman utama tidak diserang hama," ujar Nengah bersemangat.
`Genosida Lebah`
Tumbuh suburnya beragam tanaman buah di lahan perkebunannya, dengan bunga-bunga yang merekah setiap saat, mengilhami Nengah untuk mencoba beternak lebah. Pilihan ini juga didasari alasan untuk memaksimalkan penyerbukan di lahan perkebunannya.
"Saya membawa satu kotak lebah dari rumah kakak di Tanjung pada tahun 1987. Begitu di kebun, saya letakkan kotak di antara dahan pohon mangga," kata lelaki yang kini berusia 65 tahun.
Lebah-lebah itu dapat beradaptasi dengan baik dan berkembang dengan cepat. Satu demi satu kotak pun dibikin Nengah, hingga lama-kelamaan menjadi 50 kotak peternakan lebah. Suasana perkebunan Nengah menjadi riuh dengan kepak sayap lebah yang beterbangan menghisap nektar bunga-bunga tanaman.
Beternak lebah, menghasilkan keuntungan tidak sedikit bagi Nengah. Saat masa panen, harga sebotol madu dijual seharga Rp200 ribu. Pembeli madu tidak hanya datang dari masyarakat Akar-Akar dan sekitarnya, namun tidak jarang pembeli datang dari Kota Mataram.
Di samping keuntungannya menggiurkan, namun sesungguhnya kecintaan Nengah pada lebah dikarenakan dirinya terpikat pada dengung satwa itu yang beterbangan di antara bayang-bayang kabut menjelang senja, yang menjadi kidung alam yang senantiasa menyejukkan batin.
Sayangnya, lama-kelamaan, seiring ramainya kawasan Akar-Akar menjadi lahan perkebunan, masyarakat mulai mengeluhkan keberadaan lebah-lebah itu. Keluhan berdatangan, terkait dengan penduduk yang menanami lahan dengan kelapa, maka begitu hendak disadap niranya, ternyata cairan itu itu sudah tidak tersisa, dan diduga lebih dulu dinikmati jutaan lebah itu.
Dugaan ini membuat masyarakat beramai-ramai membungkus pelepah yang hendak disadap, kemudian memberi bahan kimia pembasmi serangga. Akibatnya, lebah-lebah itu pun menemui ajal.
Kondisi ini sangat memukul hati Nengah. Jutaan lebah, dengan dengungan bak simfoni yang melenyapkan segenap kepenatannya mengolah lahan, telah terbasmi bahan kimia. Pembasmian ini, secara otomatis membuat kotak-kotak lebah menjadi sunyi ditinggalkan penghuni.
Pembasmian lebah, yang terbunuh secara mendadak di Kabupaten Lombok Utara, nyaris tiada berbeda dengan kondisi ketika terjadi genosida Suku Tutsi yang dilakukan Suku Hutu di Rwanda saat musim semi pada tahun 1994. Jutaan Suku Tutsi terbunuh dalam aksi genosida yang berlangsung sekitar tiga bulan itu.
Namun, pantang bagi Nengah meratapi keadaan ini. Alam telah menempahnya. Bertahun silam, Nengah tiada gentar menghadapi hutan belantara dan telah mengubahnya menjadi `surga` yang tidak henti mengucurkan rezeki bagi dirinya dan keluarga. Dan kini, dengan ketiadagentaran yang sama, dirinya tengah mencari solusi agar dapat terus beternak lebah.
"Saya tidak akan berhenti sampai di sini. Saya tetap akan beternak lebah, dan saat ini sedang mencari cara agar lebah-lebah terhindar dari bahan kimia. Tapi yang jelas, saya tidak akan menyerah," kata lelaki ini dengan mata berbinar saat segerombol lebah berdengung di dekatnya.
*) Penulis buku dan artikel
`Genosida` Lebah di Gugusan Perbukitan Lombok Utara
Bertahun silam, Nengah tiada gentar menghadapi hutan belantara dan telah mengubahnya menjadi `surga` yang tidak henti mengucurkan rezeki bagi dirinya dan keluarga.