Surabaya (ANTARA) - Suatu sore, Senin, 23 Desember 2024, di tengah guyuran hujan deras, saya mampir ke sekretariat kantor Dewan Kesenian Surabaya, hanya untuk berteduh dan bertemu dengan kawan kawan lama yang melakukan aktifitas Kesenian dan kebudayaan. Tak kurang ada 7 orang yang saya lihat mereka ngobrol santai tentang kesenian di Surabaya. Kedatangan saya nampaknya membuat kawan kawan meningkatkan topik pembicaraannya bukan hanya persoalan berkeseniannya, tapi tentang adanya dualisme lembaga.
Secara realitas meski tidak diakui keberadaanya oleh pemerintah kota, Dewan Kesenian Surabaya terlihat eksis, karena sekretariat mereka yang ada di Balai Pemuda masih tertulis nama DKS. Hal yang sama juga, Dewan Kesenian Kota Surabaya, yang keberadaannya diakui oleh Pemerintah Kota, juga mereka ada dan melakukan kegiatan berkesenian.
Bagi saya kemudian menjadi penting mendudukkan persoalannya bukan pada nama lembaganya, tapi mengapa lembaga itu ada, saya yakin dengan cara ini akan bisa didapatkan titik temunya. Saya juga meyakini bahwa kedua lembaga Kesenian itu tentu punya tujuan yang sama, yaitu menghidupkan kembali seni dan budaya sebagai bagian membangun kota ini. Kalau tujuannya sama, sekarang tinggal pada jalan keluarnya, hambatan nya apa untuk bisa melebur? Kalau tidak bisa harus bagaimana? sehingga dengan cara seperti ini masing masing pihak bisa mengesampingkan ego kelembagaannya dan bisa mencari titik temu berhimpun dalam gerakan Kesenian dan kebudayaan di Surabaya.
Menyelesaikan dualisme ini di luar jalur Kesenian dan kebudayaan, bagi saya merupakan kemunduran, karena pasti akan ada yang merasakan dikalahkan dan diabaikan, saya kira itu bukanlah bagian dari gerakan Kesenian dan kebudayaan.
Sebagai kota global yang humanis, Surabaya tentu membutuhkan keberadaan seni dan budaya untuk mengasah budi pekerti dan kepekaan dan kepedulian warga. Banyaknya lembaga Kesenian dan kebudayaan yang berisi kumpulan para pekerja seni dan budaya menjadi sebuah keniscayaan. Karena dari sanalah keberadaban kota akan tumbuh dan berkembang.
Surabaya, yang juga sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, tidak hanya menjadi pusat ekonomi dan pendidikan, tetapi juga sebagai ruang ekspresi seni dan budaya yang kaya. Namun, keberadaan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Dewan Kesenian Kota Surabaya (DKKS) yang terkesan bersaing justru mengundang perhatian. Alih-alih menjadi sinergi, dualisme ini memunculkan pertanyaan: bagaimana seharusnya pemerintah Kota Surabaya menyikapi, agar ekosistem kesenian dan kebudayaan dapat berkembang secara optimal?
Realitas Dualisme Dewan Kesenian
Fenomena dualisme lembaga seni di Surabaya mencerminkan dinamika yang kompleks antara seniman, budayawan, dan pemerintah. DKS, sebagai lembaga yang telah eksis lama, menjadi simbol perlawanan seniman terhadap stagnasi dan keinginan untuk mempertahankan independensi. Di sisi lain, DKKS yang baru terbentuk memiliki legitimasi formal dari pemerintah kota. Sayangnya, keberadaan dua lembaga ini berpotensi menciptakan friksi dan tumpang tindih dalam menjalankan agenda budaya, yang akhirnya merugikan para seniman dan masyarakat Surabaya.
Rasionalitas Peran Pemerintah
Pemerintah Kota Surabaya tidak seharusnya menjadi pihak yang pasif atau sekadar memberikan legalitas pada salah satu pihak. Sebaliknya, pemerintah harus hadir sebagai fasilitator yang mengharmonisasikan dua lembaga ini demi tujuan yang lebih besar: menghidupkan ekspresi kesenian dan kebudayaan.
Saya yang juga pernah bersama walikota Eri Cahyadi melakukan upaya itu, memfasilitasi dialog, namun sayangnya upaya itu pernah dipandang sebelah mata, sehingga niat baik walikota saat itu tak bisa terlaksana.
Langkah-langkah kesana sudah dilakukan, namun sayangnya masih belum ada kata sepakat formatnya seperti apa. Bagi kawan yang ada di Dewan Kesenian Surabaya, nama DKS adalah sebuah nama yang punya sejarah, sehingga nama itu tak bisa begitu saja digantikan. Tapi persoalannya didalam AD / ART yang tertera adalah nama Dewan Kesenian Kota Surabaya ( DKKS). Bagi pemerintah kota kebutuhan legal sesuai anggaran adalah sebuah keharusan, tanpa harus mengabaikan sejarah panjang nama Dewan Kesenian Surabaya ( DKS) yang kemudian kembali kejalan AD / ART nya dengan sebutan Dewan Kesenian Kota Surabaya ( DKKS).
Lalu langkah apa yang bisa diambil?
Memfasilitasi Sinergi
Pemerintah harus menjadi mediator yang memfasilitasi dialog terbuka antara DKS dan DKKS untuk menyamakan visi dan membangun kolaborasi. Sinergi ini dapat menghasilkan program-program kesenian yang lebih inklusif, tanpa perlu meniadakan salah satu pihak.
Menciptakan Kebijakan yang Mendukung Ekosistem Seni
Pemkot Surabaya perlu merancang kebijakan yang berpihak pada seniman, seperti alokasi anggaran khusus untuk kegiatan seni, penyediaan ruang berkarya, serta insentif bagi pelaku seni dan budaya.
Mendorong Keterlibatan Masyarakat
Seni dan budaya akan hidup jika masyarakat turut menjadi bagian darinya. Oleh karena itu, pemerintah harus memfasilitasi kegiatan seni berbasis komunitas, seperti festival budaya, lokakarya seni, hingga pertunjukan jalanan yang melibatkan berbagai kalangan.
Membangun Identitas Budaya Kota
Surabaya harus memiliki narasi budaya yang khas, yang dapat menjadi identitas kota. Dualisme lembaga ini harus diarahkan untuk mengembangkan kekayaan seni lokal, seperti ludruk, musik keroncong, hingga seni urban, agar mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional.
Kebangkitan Ekspresi Seni di Surabaya
Dualisme bukanlah akhir dari perjalanan seni di Surabaya, melainkan peluang untuk memperkaya perspektif dan inovasi. Dengan peran aktif pemerintah sebagai fasilitator, seniman dan budayawan dapat bersatu untuk menjadikan Surabaya sebagai pusat seni dan budaya yang dinamis, modern, tetapi tetap menghormati akar tradisi lokalnya.
Surabaya membutuhkan bukan hanya lembaga, tetapi gerakan kebudayaan yang melibatkan semua elemen masyarakat. Pemerintah Kota harus mampu menyelaraskan realitas di lapangan dengan rasionalitas visi kebudayaan jangka panjang, agar Surabaya benar-benar menjadi rumah bagi seni dan budaya.
Menuju tahun 2025 dimana Surabaya juga akan semakin menjadi kota yang bergerak maju, global, humanis dan berkelanjutan, momentum akhir tahun hendaknya bisa menjadi momentum siapapun yang peduli dengan Kesenian dan kebudayaan di Surabaya untuk duduk bersama, merumuskan bagaiman bersinergi dengan pemerintah kota Surabaya, menjadikan kota ini sebagai kota yang beradab, berbudi luhur, peduli, kreatif dan toleran.
Semoga masing-masing tergerak untuk berinisiasi duduk bersama, berkegiatan bersama dalam satu tekad sinergi dengan pemerintah kota menjaga kota ini dari ruang ruang yang kehilangan kehalusan budi dan keadaban.
Surabaya, 25 Desember 2024
*) Penulis adalah Kolumnis, Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim tinggal di Surabaya