Alzheimer, "hantu" lansia Oleh dr Dito Anurogo MSc
Mataram, (Antaranews NTB) - Penyakit ini paling ditakuti lansia. Salah satu potret klinisnya adalah pelupa. Tak mengherankan bila demensia Alzheimer dijuluki "hantu" bagi lansia.
Demensia merupakan sindrom (kumpulan gejala) yang memiliki karakteristik berupa berkurang atau hilangnya pelbagai keterampilan kognitif yang diperlukan sebelumnya, seperti memori, bahasa, pemahaman, pertimbangan atau kemampuan pengambilan keputusan.
Mayoritas (50-75 persen) dari semua kasus demensia adalah penyakit Alzheimer atau Alzheimer's disease (AD). Insiden AD menunjukkan bahwa risiko seseorang menderita AD menjadi dua kali lipat setiap lima tahun setelah berusia 65 tahun. Di atas usia 85 tahun, insiden tahunan sekitar 10 persen.
Berdasarkan studi epidemiologi, angka AD pada penduduk Amerika Serikat (USA) sekitar 5,4 juta jiwa. Prevalensi membuktikan sekitar 3 persen populasi AD di USA berusia antara 65 hingga 74 tahun, sekitar 17 persen berusia antara 75 hingga 84 tahun, dan sekitar 32 persen berusia 85 tahun atau lebih. Perempuan lebih sering menderita AD dibandingkan pria.
Tanda dan gejala AD beragam. Pasangan hidup (suami atau istri), anggota keluarga lain, biasanya bukan penderita AD memerhatikan adanya perburukan memori atau gangguan daya ingat.
Penderita AD memiliki kesulitan belajar dan memperoleh informasi baru serta mengatasi problematika yang kompleks, dan mengalami penurunan kualitas di dalam memberikan alasan atau argumen, mengemukakan pendapat, memutuskan sesuatu, serta kemampuan pengenalan ruang (spasial) dan orientasi (seperti: sulit mengemudi, sering tersesat dan menghilang dari rumah).
Penderita AD juga mengalami perubahan perilaku, berupa perubahan "mood" (suasana hati) dan apatis dapat menyertai gangguan memori. Pada stadium selanjutnya, penderita AD dapat berkembang menjadi agitasi (pemarah, suka mengamuk) dan psikosis (jenis gangguan jiwa).
Presentasi atipikal termasuk perubahan perilaku dini dan berat, penemuan fokal pada saat diperiksa dokter, parkinsonisme, halusinasi, mudah jatuh atau keseimbangan terganggu, atau onset gejala lebih muda dari 65 tahun.
Penegakan Diagnosis
Hingga saat ini belum ada uji laboratorium atau imaging (pencitraan) definitif untuk penegakan diagnosis AD. Diagnosis dibuat umumnya berdasarkan riwayat menderita penyakit, pemeriksaan fisik serta sistem persarafan (neurologis) secara menyeluruh (komprehensif), dan penggunaan kriteria diagnostik yang valid serta terpercaya (seperti kriteria DSM V atau NINDCS-ADRDA).
Contoh detail dari kriteria tersebut misalnya: hilangnya memori dan satu atau lebih kemampuan kognitif tambahan (afasia atau gangguan fungsi bicara, apraksia atau gangguan gerak karena kerusakan otak, agnosia atau hilangnya kemampuan mengenali segala sesuatu, serta gangguan fungsi eksekutif lainnya).
Gangguan dalam fungsi sosial atau pekerjaan yang mewakili penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya dan menghasilkan kecacatan disabilitas) yang signifikan. Gangguan fungsi (defisit) yang tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan delirium.
Onset (serangan) bersifat berbahaya dan gejala berkembang secara bertahap. Berkurang hingga menghilangnya fungsi kognitif ditandai dengan uji neuropsikologis.
Studi terbaru yang dilakukan oleh Drummond E dkk (2018) menunjukkan bahwa beragam protein dengan perubahan ekspresi diketahui berperan pada perkembangan dan pemeliharaan plak amiloid (seperti: A-beta, gelsolin, GFAP, dan alfa-synuclein), membuktikan bahwa berbagai protein tersebut berperan penting di dalam proses perjalanan penyakit Alzheimer yang secara cepat bersifat progresif.
Pemahaman patogenesis ini membuka pendekatan terapeutik baru, berupa; penghambatan interaksi A-beta/apolipoprotein E, stimulasi imunitas innate, penghambatan simultan toksisitas A-beta/tau oligomer.
Penyakit Alzheimer perlu dibedakan dari demensia neurodegeneratif lainnya, misalnya: demensia frontotemporal, demensia dengan Lewy bodies, sindrom kortikobasal, kelumpuhan supranuklear progresif. Beberapa penyakit atau diagnosis lain yang memiliki simtomatologi (tanda dan gejala) mirip dengan penyakit Alzheimer, antara lain: kanker (tumor otak, neoplasia meningeal), infeksi (demensia terkait HIV, neurosifilis, leukoensefalopati multifokal progresif).
Kondisi toksik-metabolik, berupa hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12, paparan merkuri, efek obat, kegagalan organ (demensia dialisis, penyakit Wilson), gangguan vaskular (demensia vaskular karena stroke multipel, perubahan pembuluh darah yang parah, vaskulitis kronis, atau hematoma subdural kronis), kehilangan memori, depresi (pseudodemensia) juga merupakan diagnosis banding penyakit Alzheimer.
Evaluasi perjalanan
Sebelum memeriksa dan memberikan obat, dokter sebaiknya melakukan penilaian, bertanya, mengevaluasi beberapa hal. Pertama, daftar obat perlu selalu ditinjau untuk obat-obatan atau terapi di rumah yang berpotensi menyebabkan perubahan status mental, terutama obat-obatan golongan antikolinergik, benzodiazepin, barbiturat, dan neuroleptik.
Kedua, penderita Alzheimer perlu melakukan rangkaian tes untuk menemukan depresi, karena kadang-kadang depresi dapat menyerupai sebagai demensia, namun juga sering terjadi sebagai kondisi bersama (komorbiditas) dan harus diobati.
Ketiga, pada pemeriksaan, perlu mencari tanda-tanda gangguan metabolik, keberadaan gangguan psikiatri, atau defisit neurologis fokal (gangguan persarafan).
Beberapa peringatan berikut ini sebagai "alarm bahaya atau waspada" dalam penegakan diagnosis penyakit Alzheimer. Usia lebih muda daripada 65 tahun. Tingkat kesadaran berfluktuasi (pertimbangkan kemungkinan menderita ensefalopati metabolik-toksik, demensia tipe Lewy body).
Gangguan perilaku, emosi, atau kepribadian yang menyertai gangguan kognitif (pertimbangkan kemungkinan demensia frontotemporal, demensia HIV). Perkembangan progresif berlangsung cepat (6-12 bulan) (pertimbangkan kemungkinan penyakit Creutzfeldt-Jakob, ensefalitis limbik paraneoplastik, demensia HIV, demensia frontotemporal).
Keberadaan kelainan fisik berupa: penurunan gait (pertimbangkan kemungkinan demensia vaskular, demensia HIV, NPH). Tanda-tanda yang di kemudian hari, misalnya, hemiparesis, kelenturan, tanda-tanda saluran kortikospinalis lainnya (pertimbangkan kemungkinan demensia vaskular).
Gangguan gerakan, mioklonus (pertimbangkan kemungkinan penyakit Creutzfeldt, Jakob, paraneoplastik ensefalitis). Kekakuan, bradikinesia atau parkinsonisme (pertimbangkan demensia dengan Lewy body dan penyakit Parkinson).
Pengujian status mental perlu mencakup tes yang menilai fungsi kognitif. Uji orientasi, caranya dengan meminta pasien untuk menyebutkan hari, tanggal, bulan, tahun, dan tempat atau menyebutkan nama presiden saat ini.
Uji perhatian, caranya mintalah pasien untuk membaca bulan-bulan dalam satu tahun ke depan dan secara terbalik. Uji recall secara verbal, caranya dengan meminta pasien untuk mengingat tiga item/hal; tes untuk penarikan setelah penundaan selama 1-5 menit.
Selain uji status mental, perlu dilakukan pula uji kognitif untuk mendeteksi demensia. Antara lain menggunakan: Folstein Mini-Mental State Examination (MMSE), uji Mini-Cog, dan uji Addenbrooke's Cognitive Examination-Revised (ACE-R).
*) Penulis adalah dosen tetap Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar, penulis puluhan buku, dokter literasi digital, Director Campus Networking IMA Chapter Makassar.