Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kini tengah membuka rekrutmen Pendamping Desa Berdaya. Di media sosial, pengumumannya beredar luas, memantik harapan: semoga program ini sungguh menjadi langkah baru membangun desa dari dalam, bukan sekadar menambah daftar panjang program yang datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak berarti.
Sebagai seseorang yang pernah bekerja di lapangan, saya tahu betul bahwa pembangunan desa tidak sesederhana tabel anggaran atau laporan kegiatan. Di balik setiap program, ada wajah-wajah penuh harap: petani yang menunggu musim tanam berikutnya, ibu-ibu yang menakar ulang kebutuhan dapur, hingga pemuda yang mencari alasan agar tetap tinggal di desanya tanpa kehilangan masa depan.
Karena itu, Desa Berdaya bagi saya bukan sekadar jargon kebijakan, melainkan cermin arah pembangunan daerah: apakah pembangunan di NTB masih berhenti di seremoni, atau sungguh berpihak pada rakyat yang menjadi nadi kehidupan desa.
Di banyak desa di NTB, posyandu bukan sekadar tempat menimbang bayi atau mencatat imunisasi. Ia telah menjelma menjadi ruang harapan, lahir dari gotong royong perempuan desa—para kader yang dengan militansi sunyi menjaga denyut hidup komunitasnya.
Di bawah terik matahari atau teduhnya bale dusun, para kader itu hadir tanpa pamrih. Mereka adalah garda depan pembangunan manusia, jauh sebelum istilah “pembangunan inklusif” mengisi forum-forum perencanaan kebijakan.
Karena itu, ketika Gubernur NTB, Dr. Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan pentingnya membangun dari akar rumput melalui penguatan posyandu dan desa, pesan itu terasa dekat dengan pengalaman saya sebagai fasilitator. Saya melihat bagaimana semangat ibu-ibu kader, kepala dusun, dan tokoh masyarakat mampu menumbuhkan perubahan, meski dengan sumber daya terbatas.
Boleh dibilang, merekalah wajah sejati dari desa berdaya, yakni desa yang tumbuh bukan karena bantuan, tetapi karena daya juang warganya.
Menjahit Sistem, Menyentuh Akar Masalah
Namun membangun dari bawah menuntut arah yang jelas. Program Desa Berdaya yang kini digulirkan Pemerintah Provinsi NTB sejatinya adalah upaya merangkai ulang sistem agar kerja-kerja kecil di tingkat desa mendapat dukungan struktural.
Targetnya ambisius: menurunkan kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada 2029. Tapi angka hanyalah angka bila akar persoalan di tingkat desa tak disentuh.
Berdasarkan dari pengalaman saya, ada tiga tantangan utama yang kerap menghambat lahirnya desa berdaya. Pertama, lemahnya konektivitas data dan koordinasi antaraktor. Banyak kebijakan lahir tanpa mendengar suara kader dan perangkat desa yang paling tahu situasi di lapangan.
Padahal, lebih dari 40 ribu kader posyandu di NTB bisa menjadi sumber pengetahuan sosial yang luar biasa jika dikelola dengan baik. Diperlukan sistem komunikasi dua arah antara desa, kabupaten, dan provinsi agar informasi tidak berhenti di laporan formal.
Kedua, penguatan kelembagaan desa. Di banyak tempat, posyandu masih dipandang sebagai urusan kesehatan semata, belum sebagai simpul pelayanan dasar yang terhubung dengan pendidikan, pangan, dan ekonomi keluarga.
Penguatan posyandu berarti membangun ketahanan masyarakat dari tingkat paling mikro. Ketika para kader dibekali pelatihan manajemen, gizi, hingga ekonomi kreatif, posyandu bisa bertransformasi menjadi community hub—pusat pembelajaran dan pemberdayaan warga.
Ketiga, kesinambungan program. Banyak inisiatif desa berhenti di tengah jalan karena bergantung pada bantuan proyek jangka pendek. Desa Berdaya membutuhkan desain bertahap: pengentasan kemiskinan pada tahun pertama, diikuti penguatan ekonomi lokal di tahun berikutnya.
Bantuan sosial hanya efektif bila menjadi batu loncatan menuju kemandirian, bukan tujuan akhir. Karena itu, langkah paling strategis adalah mempertemukan kembali semangat lokal dengan kerangka kebijakan provinsi.
RPJMDes dan RKPDes perlu disinergikan dengan indikator Desa Berdaya, agar arah pembangunan di tingkat desa seirama dengan provinsi. Kolaborasi lintas sektor—antara Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, DPMPD, TP-PKK, hingga BUMDes—harus dimaknai sebagai gerakan kolektif, bukan sekadar koordinasi administratif.
Lebih jauh, Desa Berdaya seharusnya menjadi ruang lahirnya inovasi sosial. Di tengah isu perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kerapuhan ekonomi rumah tangga, desa adalah laboratorium kebijakan yang paling nyata.
Membangun dari akar rumput berarti menaruh kepercayaan penuh pada daya masyarakat. Pemerintah daerah perlu hadir bukan sebagai pengatur, melainkan sebagai enabler atau pemungkin yang menyediakan ruang, dukungan, dan akses.
Desa tidak membutuhkan belas kasihan, melainkan pengakuan atas kemampuannya mengelola kehidupan. Ketika posyandu berjalan dengan baik, ketika desa diberi ruang berkreasi, pembangunan tidak lagi berhenti di dokumen perencanaan, tetapi menjelma menjadi gerak kolektif warga—ibu-ibu kader, pemuda karang taruna, petani, pelaku UMKM—yang bersama menenun kesejahteraan dari bawah.
Jika langkah ini konsisten dijaga, saya percaya cita-cita “nol kemiskinan ekstrem 2029” bukan sekadar target statistik, melainkan cermin perubahan sosial yang berakar kuat di desa dan kelurahan yang ada di NTB.
Sebab sejatinya, masa depan daerah ini tidak ditentukan oleh seberapa besar anggaran pemerintah, tetapi oleh seberapa tepat dan strategisnya fasilitasi pemerintah dalam memberdayakan masyarakatnya untuk menjaga kehidupan di tempat mereka berpijak. Nah, begitu?!
*) Penulis adalah Etnografer di kolektif Nusa Artivisme
