Urgensi pendidikan karakter di lingkungan keluarga

id Pendidikan,UNIBA

Urgensi pendidikan karakter di lingkungan keluarga

Dr. Elli Widia S.Pd., MM.Pd.*

Mataram (ANTARA) - Seorang investor dan pengusaha sukses yang juga penulis dan motivator Amerika keturunan Jepang Robert Toru Kiyosaki baru-baru ini menulis buku yang fenomenal dengan judul “Why ‘A’ Students Work for ‘C’ Students and Why ‘B’ Students Work for the Government”. 
       
Intinya, dalam buku itu Kiyosaki menjelaskan secara lengkap mengapa banyak murid yang pada masa studinya terkenal “pintar”, ternyata pada masa dewasanya malah bekerja pada murid-murid yang biasa-biasa saja, bahkan tergolong “bodoh” sewaktu mereka sama-sama belajar di sekolah atau di perguruan tinggi.
       
Perbedaan murid A dengan murid C ialah bahwa murid A tidak terbiasa gagal. Bagi mereka, mendapat nilai B di sekolah ibarat kehidupan yang akan segera berakhir. Oleh karena itu mereka tidak paham bagaimana menghadapi sebuah kegagalan seperti kerap dialami murid C, sedangkan murid B cenderung mencari “jalan aman”.
       
Pesan moralnya adalah, tidak ada jalan pintas menuju kesuksesan. Seseorang boleh gagal berkali-kali, tetapi harus terus mencoba dan mencoba lagi hingga akhirnya mencapai titik keberhasilan atau kesuksesan. 
       
Dengan memahami cara meraih kesuksesan finansial yang disebutnya konsep "melek keuangan" itu, maka setidaknya orang yang bersangkutan sudah berada pada langkah atau tangga awal menuju keberhasilan, terutama kesuksesan atau kebebasan finansial.
       
Robert Toru Kiyosaki sendiri menjadi terkenal, terutama karena buku pertamanya yang berjudul “Rich Dad, Poor Dad” diminati banyak orang dan menjadi “best seller” di banyak negara, termasuk di Indonesia.  
       
Sampai sejauh ini, motivator dan pengusaha yang lahir di Hawaii Amerika pada 8 April 1947 itu telah menulis 15 buku, termasuk buku “Why ‘A’ Students Work for ‘C’ Students and Why ‘B’ Students Work for the Government”.  
       
Ia menekankan bahwa ada pelajaran penting untuk mencapai kecakapan hidup yang tidak diajarkan di sekolah, tetapi didapatkannya dari pengalaman, terutama soal kegigihan dalam mengatasi tantangan, kerja keras, dan sikap empati. Kesemuanya menyangkut apa yang disebut “karakter”.   
       
Khusus terkait karakter, seorang ahli psikoanalisa Sigmund Freud dalam bukunya “A General Introduction to Psychoanalysis” menekankan perhatian pada perkembangan kepribadian serta menjelaskan arti pentingnya peran masa bayi dan anak-anak dalam pembentukan karakter seseorang. 
       
Freud yakin bahwa struktur dasar kepribadian seseorang sudah terbentuk pada usia lima tahun dan perkembangan kepribadian sesudah usia lima tahun sebagian besar hanya merupakan elaborasi dari struktur dasar itu.
       
Ia juga menyatakan, dalam upaya menanamkan karakter mulia pada anak-anak, maka peran keluarga dan lingkungan sangat penting. Keluarga, yang merupakan tempat anak-anak berinteraksi pertama kali sejak lahir ke dunia merupakan pendidik yang utama dan pertama. 
       
Keluarga yang baik dan memiliki karakter mulia akan lebih mungkin menghasilkan generasi yang berkarakter mulia juga, karena anak-anak akan melihat keluarga sebagai contoh utama, dan di situ pulalah anak-anak mulai belajar untuk memiliki karakter yang serupa.
 
Kedekatan secara emosional antara guru dan murid adalah sebuah keniscayaan, karena guru mendapatkan amanah sebagai "orangtua" siswa di lingkungan sekolah.
       
Pendidikan karakter pada anak usia dini dapat mengantarkannya pada kematangan dalam mengolah emosi, dan kecerdasan emosi adalah bekal penting untuk mempersiapkan anak dalam menyongsong masa depan yang kompleks dan penuh tantangan. 
       
Khusus di Indonesia, persoalan karakter juga bukan masalah sepele. Buktinya, sampai sejauh ini masalah korupsi, suap-menyuap, peredaran narkoba, kenakalan remaja, dan masalah kriminal lainnya masih banyak mewarnai pemberitaan, baik di media massa daerah maupun nasional.
       
Bahkan bukan itu saja, masalah karakter juga mencoreng dunia pendidikan. Terbukti masih banyak pemberitaan tentang adanya perilaku plagiarisme, bahkan dengan motivasi finansial di kalangan mahasiswa dan dosen bahkan guru besar. Ada pula guru besar yang tersangkut masalah narkoba. 
      
Masih hadirnya fenomena sosial yang mengkhawatirkan masa depan bangsa itu sejatinya menunjukkan bahwa persoalan pendidikan dan pengembangan karakter harus menjadi perhatian semua pihak, khususnya kalangan pendidik, tokoh agama, dan aparat penegak hukum.
       
Pendidikan, pembentukan, dan pengembangan karakter itu sendiri, jika ingin efektif dan utuh pada dasarnya mesti menyertakan tiga institusi secara sinergis, yakni keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi). 
       
Tanpa melibatkan tiga institusi tersebut program pendidikan dan pengembangan karakter di sekolah dan perguruan tinggi hanya akan menjadi sebatas wacana serta tidak akan mencapai hasil sesuai harapan. 
       
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi membantu anak-anak supaya memahami dan menerapkan nilai-nilai yang baik dalam kehidupan sehari-hari. 
       
Pendidikan karakter itu sendiri adalah suatu usaha manusia yang secara sadar dan terencana untuk mendidik dan memberdayakan potensi anak-anak guna membangun karakter pribadinya agar dapat menjadi individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.
       
Dalam arti yang luas, pendidikan karakter berfungsi untuk mengembangkan potensi dasar dalam diri manusia agar menjadi individu yang berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik untuk membangun dan memperkuat perilaku masyarakat dan peradaban bangsa.
       
Dalam kaitan ini Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) secara khusus mengemukakan dua basis landasan pendidikan dan pengembangan karakter. 
       
Pertama, pendidikan dimaksud harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar hidup dalam kebersamaan, dan belajar menjadi diri sendiri; dan kedua, belajar seumur hidup.
       
Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pendidikan, karena pada akhirnya aspek kultural dari kehidupan manusia, terutama yang berkaitan dengan pendidikan nilai dan sikap atau lebih populer dengan istilah pendidikan karakter bahkan harus terlebih dahulu diutamakan daripada pertumbuhan ekonomi.  
       
Oleh karena itu pula, dalam dunia pendidikan, kegiatan belajar-mengajar tidak hanya bertujuan untuk membuat siswa menguasai ilmu pengetahuan secara akademis, melainkan juga untuk membentuk karakter siswa. 
       
Maka, dalam kaitan ini, setelah di lingkungan keluarga, pendidikan karakter dinilai sangat penting untuk dilakukan di sekolah formal maupun informal, sebab siswa dengan karakter yang baik dan mulia akan lebih mampu menjalani kehidupannya dengan lebih baik di masa depan.
       
Dalam pengertian itu pula pada dasarnya tujuan pendidikan karakter di Indonesia adalah untuk membangun bangsa yang tangguh, dimana masyarakatnya berakhlak mulia, relijius, bertoleransi, dan selalu siap bergotong-royong sesuai nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama, Pancasila, dan budaya bangsa.
       
Khusus di perguruan tinggi, pendidikan karakter juga merupakan “harga  mati” bagi  pembentukan karakter para mahasiswa, dan unsur penting dalam pendidikan karakter mahasiswa adalah para pengajar atau dosennya. 
       
Dalam melaksanakan tugas utama Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu melakukan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, seorang dosen harus melakukan proses internalisasi nilai-nilai luhur disertai keteladanan yang kemudian menjadi budaya kampus. 
       
Tetapi, terkait pendidikan dan pembentukan karakter, lagi-lagi tokoh pendidikan yang juga Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd
dalam beberapa kesempatan mengingatkan pentingnya peran keluarga (orangtua).
       
Seperti halnya Robert Kiyosaki dan Sigmund Freud, Arief Rachman juga yakin bahwa pendidikan karakter sejak masa anak-anak di lingkungan keluarga sangat penting, karena di situ ada keteladanan dari orangtua, terutama yang menyangkut kegigihan dan kerja keras serta kasih sayang dan empati kepada sesama.        
Baru kemudian faktor lingkungan di luar keluarga dan pendidikan di sekolah atau di perguruan tinggi akan ikut memperkuat dan mewarnai pengembangan karakter yang sebelumnya telah terbentuk sejak masa anak-anak di lingkungan keluarga. 
       
Walaupun mungkin raihan atau prestasi seseorang secara akademis kurang memuaskan, tetapi jika karakternya sudah terbentuk dengan baik sejak masa anak-anak, maka yang bersangkutan diyakini akan tetap memiliki masa depan yang menjanjikan sebagaimana telah dijelaskan oleh motivator Robert Kiyosaki. 
       
Bagaimanapun, begitu lahir di dunia, anak-anak adalah “tabula rasa”, sebuah ungkapan dari bahasa Latin yang berarti “kertas kosong”. Maknanya, anak-anak sejatinya menyimpan potensi untuk menjadi pribadi berkarakter unggul yang memungkinkannya meraih masa depan yang cemerlang. 

*Penulis Dr. Elli Widia, S.Pd., MM.Pd. adalah Guru SD Islam Nabilah Batam/Dosen
 Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Batam (UNIBA).