Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia Center for Tax Law Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta GM Adrianto Dwi Nugroho menilai penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak perlu pertimbangan lebih mendalam mengingat kebijakan itu dapat melemahkan sistem self assessment.
"Untuk marketplace ini, sementara dianggap tidak mempunyai kapasitas, karena dia hanya menjadi intermedia dalam suatu transaksi, dia tidak mengetahui status si seller sudah memenuhi syarat atau tidak," kata Adrianto dalam pernyataan di Jakarta, Jumat
Ia memastikan kebijakan tersebut berkebalikan dengan sistem self assessment, yang selama ini dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia, mengingat selama ini kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak dilakukan oleh Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Ia pun mengkhawatirkan terjadi disinformasi karena marketplace yang diminta untuk memotong dan menyetorkan pajak ke kas negara, tidak mengetahui status maupun informasi milik Wajib Pajak atau PKP, salah satunya terkait volume transaksi.
"Itu bisa mempengaruhi kapasitas intermedia, termasuk dari vendor apakah sudah PKP atau belum untuk memenuhi syarat tersebut. Jadi dari sisi kapasitas marketplace ini ada problem yang harus diselesaikan, sebelum ini bisa diterapkan," katanya.
Sebelumnya, salah satu pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengamanatkan marketplace untuk menjadi pihak yang dapat memungut PPN atas barang yang dijual di marketplace serta memotong PPh atas penghasilan seller.
Saat ini, peraturan turunan untuk penciptaan ekosistem yang kuat dalam iklim berusaha secara digital tersebut sedang dirumuskan agar pelaksanaan kebijakan perpajakan dari perdagangan daring bisa menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha konvensional dan digital.
Baca juga: DPRD Lombok Tengah sebut Eksekutif perlu menaikkan NJOP
Baca juga: Pemkot Mataram menaikkan target pajak parkir jadi Rp3 miliar
Kasubdit Peraturan PPN dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bonarsius Sipayung memastikan peraturan pajak bagi e-commerce tersebut belum hadir dalam waktu dekat, mengingat masih ada pematangan regulasi secara mendalam.
Meski demikian, ia menegaskan bila peraturan tersebut muncul, maka tidak akan mengganggu kinerja dari e-commerce maupun pelaku usaha. Selain itu, Bonar menjamin tanggung jawab pembayaran PPN dan PPh masih dibebankan kepada Wajib Pajak atau penjual dan pembeli, bukan marketplace.
"Ketika pasal baru muncul, bagaimana status PKP dengan kewajibannya? Kewajiban para merchant PKP tetap normal, sesuai ketentuan. Saat jual barang dia wajib memungut PPN ditandai dengan memungut faktur," kata Bonar.
Ia juga mengakui terdapat tantangan tersendiri untuk mengatur pelaku UMKM di dalam e-commerce, salah satunya karena lokasi penjualan yang tidak pasti, sehingga perlu regulasi yang lebih adil antara pelaku usaha online dan offline.
Berita Terkait
Polresta Mataram ungkap peredaran obat keras Hexymer di marketplace
Kamis, 1 Februari 2024 16:27
Dekranasda Gorontalo mengajak UMKM kembangkan usaha di lokapasar digital
Selasa, 31 Oktober 2023 6:16
Medan meluncurkan marketplace Kedan pasarkan 1.658 produk UMKM
Sabtu, 21 Oktober 2023 5:52
DJP akan diskusikan pajak "e-commerce" lokal
Rabu, 5 Oktober 2022 9:36
Nikmati Diskon Tambah Daya Lewat Promo Lebaran Ceria, Hanya Belanja Rp100 Ribu di Marketplace PLN Mobile
Rabu, 27 April 2022 7:19
PLN sediakan marketplace lewat PLN Mobile
Senin, 15 November 2021 21:23
Alasan berbelanja lewat marketplace lebih aman
Senin, 1 Juli 2019 14:30
Menengok potensi dampak kenaikan PPN 12 persen untuk keberlanjutan
Jumat, 22 Maret 2024 11:12