Perpamsi: Pentingnya program air minum dan sanitasi dalam visi misi capres-cawapres

id perpamsi,air minum,sanitasi,visi misi,capres-cawapres,pilpres 2024

Perpamsi: Pentingnya program air minum dan sanitasi dalam visi misi capres-cawapres

Perpamsi menggelar dialog terbatas dengan tema "Program Air Minum dan Sanitasi Capres dan Cawapres 2024" yang akan dilaksanakan di salah satu hotel di Jakarta pada Kamis, 1 Februari 2024. (ANTARA/HO-Perpamsi)

Perlu adanya komitmen untuk air minum ke depan
Mataram (ANTARA) - Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) menyatakan pentingnya program air minum dan sanitasi dalam visi misi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres 2024 ini.

"Perlu adanya komitmen untuk air minum ke depan," kata Ketua Perpamsi Lalu Ahmad Zaini kepada ANTARA di Mataram, Rabu.

Untuk itu, lanjut dia, Perpamsi menggelar dialog terbatas dengan tema "Program Air Minum dan Sanitasi Capres dan Cawapres 2024" yang akan dilaksanakan di salah satu hotel di Jakarta pada Kamis, 1 Februari 2024.

Dialog tersebut akan dihadiri nara sumber dari masing-masing tim sukses pemenangan capres dan cawapres. Adapun narasumber tersebut adalah Wakil Ketua Dewan Pakar Tim Nasional 01 (Anies-Muhaimin) Amin Subekti, Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional 02 (Prabowo-Gibran) Muhammad Sirod dan Sekretaris Eksekutif Tim Pemenangan Nasional 03 Heru Dewanto.

Saat ditanya apakah ada kaitannya program air bersih dengan visi misi capres dan cawapres, Zaini  mengatakan, tentu saja ada keberpihakan paslon dalam program air bersih dan sanitasi.

"Ada keberpihakannya ke air minum," kata Pak Laz panggilan akrab Zaini yang juga Dirut PDAM Giri Menang wilayah Mataram dan Lombok Barat.

Pak Laz menjelaskan, Perpamsi merupakan organisasi yang mewadahi penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan Sanitasi khususnya air limbah domestik beranggotakan 440 penyelenggara SPAM yang terdiri dari 401 BUMD Air Minum, 23 UPTD dan 16 Badan Usaha Swasta.

Menurutnya Penyediaan Air Minum (PAM) dan Pengelolaan Air Limbah Domestik merupakan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar agar masyarakat dapat hidup bersih, sehat dengan lingkungan yang baik, sebagaimana amanat Pasal 28H UUD 1945.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah telah menetapkan 100 persen akses air minum dan sanitasi layak dengan 30 persen perpipaan termasuk 15 persen air minum aman.

Namun demikian, capaian akses air minum perpipaan hingga tahun 2022 baru mencapai sekitar 19,47 persen (15,9 Juta SL) dan akses air limbah sebesar 10,16 persen (7Juta KK) dari target 15 persen pada akhir tahun 2024.

Selain itu, standar pelayanan yang disediakan oleh Perusahaan Air Minum(PAM)/BUMD Air Minum masih banyak yang belum memenuhi persyaratan 3K (Kualitas, Kuantitas, dan Kontinuitas) sebagaimana ditetapkan Pemerintah.

BUMD Air Minum selaku pelaksana penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Perpipaan yang utama, masih banyak menghadapi kendala, baik yang berasal dari internal maupun eksternal. 

Untuk faktor internal seperti halnya profesionalisme pengurus, kompetensi SDM, Corporate Governance (politik lokal & komitmen organ BUMD), Ketersediaan dan kondisi Sarana-Prasarana Fisik SPAM, In-efisiensi produksi/distribusi (Tingkat kehilangan air yang tinggi tinggi dengan rata-rata Nasional 33,2 persen tahun 2022).

Sedangkan Faktor Eksternal meliputi pasokan dan kualitas Air Baku yang belum menjamin kebutuhan SPAM, Enabling Environment (Regulasi terkait dengan Air Baku, Perijinan, Perpajakan), Kebijakan penetapan Tarif Air Minum yang belum FCR (tidak disertai subsidi) dan Akses Pembiayaan masih terbatas bagi PAM yang sehat.

"Kendala-kendala di atas meyebabkan perkembangan cakupan pelayanan air minum perpipaan di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan pemerintah," kata Pak Laz.

Jika kondisi ini dibiarkan, lanjut dia, PAM yang ada akan semakin sulit untuk mengembangkan pelayanannya, karena sarana–prasarana fisik yang ada kondisinya semakin menurun. Bahkan penurunan tersebut terjadi lebih cepat pada beberapa PAM yang beroperasi dengan tarif tidak FCR (63,7 persen atau 242 dari 389 PAM) akibat kurangnya pemeliharaan yang seharusnya.

Untuk memulihkan kembali sarana fisik yang sudah rusak tersebut (aset) tentunya akan membutuhkan biaya yang hampir sama atau bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan membangun baru, karena pada beberapa kasus terjadinya peningkatan biaya perizinan dan biaya
pengendalian dampak sosial selama masa konstruksi. 

Dengan begitu, selain dibutuhkan dana yang untuk pengembangan, pada saat yang sama, akan dibutuhkan juga dana yang cukup besar untuk peremajaan/ pemulihan sarana yang ada karena usia teknik, atau rusak sebelum usia teknik.

Penyediaan air minum dan sanitasi berdasarkan hasil riset di beberapa negara yang dilaporkan oleh Global Water Security & Sanitation Partnertship (Richard Damania, Senior Economic Advisor Worldbank Group, 2018) merupakan pilar yang penting dalam mendukung Indeks Pembangunan Manusia (Human Capital Index/HCI), dimana pada tahun 2045 untuk menyongsong Indonesia Emas diperlukan daya saing (competitiveness) suatu bangsa, sementara dengan IPM/HCI Indonesia saat ini (2022) sebesar 0,54, yang berada pada urutan ke-130 dari 199 negara di dunia, dan pada urutan ke- 6 diantara negara ASEAN.

Penyebab utama kurang/tidak berkembangnya sebagian besar PAM dalam memperluas cakupan pelayanan antara lain:

1. Kurangnya kemauan politik (political will) khususnya dari pemerintah Kabupaten/kota selaku pemilik PAM dalam mengembangkan SPAM, hal ini terlihat dari realisasi APBD periode 2010–2020 masih sangat kecil (rata-rata nasional kurang dari 1 %), sementara pengembangan SPAM membutuhkan investasi yang cukup besar berkisar Rp.10 – Rp.15 juta per satuan sambungan.

2. Tidak memiliki kemampuan keuangan yang cukup akibat sebagian besar tarif nya tidak mencapai pemulihan biaya penuh (FCR) dan tidak diberikan subsidi oleh pemdanya (Tahun Buku 2021 hanya sekitar 8 % pemda yang memberikan subsidi dari 242 PAM yang tidak FCR), sehingga pembiayaan lain di luar APBN/D menjadi kurang menarik.

3. Bagi PAM yang telah membukukan laba (mencapai FCR), sebagian besar labanya diminta untuk disetor sebagai Pendapatan Asli Daerah, sementara tidak diimbangi dengan Penyertaan Modal Pemerintah Daerah (PMPD) dedicated untuk pengembangan yang cakupan pelayanannya masih relatif kecil.

4. In-efisiensi pada produksi-distribusi yang ditunjukkan dengan tingginya kehilangan air fisik, sebagai akibat dari ketidakmampuan keuangan PAM untuk melakukan pemeliharaan secara berkala (Virtuous Cycle).

5. Variasi/perbedaan tarif yang terlalu tinggi antara kelompok Rumah Tangga (Domestik) dengan Industri yang tujuannya untuk memperoleh subsidi silang, pada akhirnya akan direspons negatif oleh industri dengan cara mencari alternatif sumber air lainnya (seperti air tanah) yang terindikasi cukup banyak permohonan izin SIPPA air tanah ke Kementerian ESDM, selain dari mengantisipasi sanksi pidana (sesuai UU 17/2019 jo PP 5/2021).

Serta melakukan recycle dan/atau memanen air hujan (sebagai tambahan), jika biaya ini lebih murah dibandingkan menggunakan air dari PAM.

Akibatnya, dalam jangka panjang, konsumsi air kelompok industri akan semakin menurun, yang pada akhirnya akan menurunkan harga jual rata-rata air minum (kehilangan potensi pelanggan premium) atau menurunkan tingkat FCR, terlebih jika tidak ada Peraturan Daerah yang mewajibkan penggunaan air PAM untuk kebutuhan Industri dengan membatasi penggunaan air tanah.

Bersadarkan benchmarking dari beberapa negara, negara yang telah menerapkan/memiliki Badan Regulator Air Minum dan Sanitasi pelayanan Perusahaan Air Minum dan Sanitasi menjadi lebih stabil dan berkelanjutan.