Mahar politik pengangkatan kepala sekolah

id mahar politik,pengangkatan kepala sekolah Oleh Makarau M. Yasin *)

Mahar politik pengangkatan kepala sekolah

Kepala Sekolah SMAN 1 Donggo, Makarau M. Yasin (ANTARA/HO)

Mataram (ANTARA) - Dalam sistem pendidikan yang ideal, pengangkatan kepala sekolah seharusnya berbasis pada kompetensi, integritas, dan rekam jejak kepemimpinan yang mumpuni. Namun, realitas di lapangan kerap menyuguhkan wajah lain dari birokrasi pendidikan, yakni pengangkatan kepala sekolah yang lebih ditentukan oleh “setoran di bawah laci” dan bisikan tim sukses dibanding kualitas dan profesionalisme calon kepala sekolah.

Dalam skema gelap ini, mekanisme meritokrasi dikerdilkan oleh transaksi terselubung. Calon kepala sekolah yang ingin menduduki jabatan strategis diharuskan menyetor sejumlah uang kepada pihak tertentu, baik secara langsung maupun melalui jaringan perantara yang telah terbentuk secara sistematis. “Laci” menjadi simbol transaksi gelap yang tidak kasatmata, tetapi eksistensinya terasa begitu kuat.

Fenomena ini menjadikan jabatan kepala sekolah sebagai barang dagangan, bukan amanah kepemimpinan pendidikan. Mereka yang memiliki modal besar mendapatkan peluang lebih besar, sementara mereka yang benar-benar memiliki kapasitas yang tak mampu “membayar upeti” harus rela tersingkir. Pendidikan pun kehilangan orientasi akademiknya dan berubah menjadi arena bisnis transaksional.

Selain transaksi finansial, pengangkatan kepala sekolah juga sering kali menjadi bagian dari dagangan barter kepentingan politik. Tim sukses kepala daerah berperan sebagai perantara yang memastikan bahwa jabatan kepala sekolah hanya diberikan kepada mereka yang memiliki loyalitas politik kepada penguasa. Loyalitas politik lebih diutamakan daripada kapasitas profesional. Sosok yang dipandang “berjasa” dalam mendukung kemenangan kepala daerah mendapat prioritas meskipun kompetensinya jauh dari standar yang seharusnya.

Kepemimpinan yang lahir dari transaksi gelap ini tidak memiliki visi dan dedikasi terhadap pengembangan pendidikan, melainkan lebih fokus pada bagaimana mempertahankan jabatan dan membayar “utang politik” kepada pihak yang telah mengangkatnya. Akibatnya, banyak sekolah yang dikelola dengan pendekatan administratif semata tanpa sentuhan kepemimpinan transformatif yang mampu membawa perubahan nyata.

Praktik semacam ini menciptakan sejumlah risiko serius bagi dunia pendidikan: pertama, akan melahirkan kepala sekolah yang minim visi strategis dan lebih berorientasi pada kepentingan politis daripada kepentingan pendidikan. Implikasinya, pengelolaan sekolah menjadi lemah, inovasi terhambat, dan kebijakan yang diambil lebih bersifat seremonial ketimbang substantif.

Kedua, fenomena ini menimbulkan resistensi di tingkat masyarakat akar rumput. Para guru, siswa, orang tua, dan masyarakat sekitar sekolah kerap memberikan agitasi dan membangun rivalitas terhadap berbagai kebijakan yang diambil karena mereka menjadi pihak yang dirugikan akibat kepemimpinan yang tidak berbasis kompetensi. Mereka kehilangan sosok pemimpin yang seharusnya hadir untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat. Alih-alih merasakan perubahan positif, yang muncul justru ketidakpercayaan terhadap kebijakan pendidikan yang cenderung elitis dan transaksional.

Ketiga, dampak jangka panjangnya adalah menurunnya motivasi para pendidik yang memiliki dedikasi tinggi. Guru-guru profesional yang merasa tersingkir oleh mekanisme kotor ini mengalami demoralisasi, merosotnya semangat untuk berinovasi, dan hilangnya rasa keadilan dalam dunia pendidikan.

Jika praktik ini terus berlangsung, maka kita tidak hanya kehilangan pemimpin-pemimpin sekolah yang berkualitas, tetapi juga mewariskan sistem yang korup dan tidak berpihak pada kemajuan pendidikan. Budaya patronase dan transaksi jabatan akan menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, di mana setiap kepala sekolah baru merasa perlu mengulangi pola yang sama untuk meraih dan mempertahankan posisi mereka.

Karena itu diperlukan keberanian untuk mereformasi sistem seleksi kepala sekolah agar transparan dan berbasis meritokrasi. Pengawasan dari masyarakat sipil, desakan dari komunitas pendidikan, serta keberanian dari pemangku kebijakan untuk menindak tegas praktik transaksional menjadi langkah serius untuk membangun kembali integritas dunia pendidikan.

Reformasi dalam tata kelola pengangkatan kepala sekolah harus mengedepankan prinsip objektivitas, transparansi, dan akuntabilitas, agar pendidikan tidak menjadi ladang barter kepentingan politik, melainkan tetap berada di jalur yang benar yakni menjadi pilar utama pembangunan bangsa. Jika tidak, maka sekolah sebagai institusi yang seharusnya mencerdaskan bangsa akan terus berada dalam bayang-bayang korupsi birokrasi yang melumpuhkan masa depan generasi mendatang.

*) Penulis adalah Kepala Sekolah SMAN 1 Donggo