Mataram (ANTARA) - Rabiulawal adalah bulan selalu identik dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW—sang rasul yang membawa risalah dengan cara-cara damai dan penuh keteladanan. Setiap Rabiulawal tiba umat Islam terkhusus di Indonesia memperingati hari kelahiran beliau dengan sebutan Maulid.
Dalam momentum itu seyogyanya Maulid bukan hanya sebagai peringatan seremonial tetapi lebih kepada menanamkan nilai-nilai keteladanan yang telah diwariskan oleh beliau.
Rasulullah SAW tidak hanya dikenal sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga negarawan ulung yang berhasil membangun masyarakat Madinah berdasarkan prinsip keadilan, persamaan hak, dan toleransi antar umat beragama. Piagam Madinah menjadi bukti nyata kepiawaian beliau dalam merajut kebersamaan di tengah keberagaman, jauh sebelum konsep pluralisme menjadi wacana global.
Dalam realitas kebangsaan saat ini di mana tantangan sosial, politik, dan ekonomi datang silih berganti, keteladanan Nabi Muhammad SAW menjadi sangat relevan untuk dijadikan rujukan moral dan etika.
Ketegasan Muhammad dalam menegakkan kebenaran tanpa mengorbankan perdamaian, serta komitmen kuat terhadap integritas menjadi prinsip yang perlu dihidupkan kembali oleh para pemimpin maupun rakyat.
Rabiulawal adalah ajang kontemplasi. Ia mengingatkan bahwa transformasi bangsa hanya mungkin terwujud jika setiap individu mengambil peran dalam meneladani akhlak mulia Rasulullah SAW baik sebagai warga negara maupun sebagai penjaga nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Rasulullah sebagai pemimpin yang penuh keteladanan. Sang rasul yang disebut sebagai manusia yang mulia tetap menunjukkan etika dan sopan santun dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan sebagai kepala negara maupun agama.
Nabi Muhammad SAW hadir di tengah masyarakat yang berbeda sebagai pemimpin di Yathrib—sekarang disebut Kota Madinah—tidak serta-merta memaksakan untuk masuk ke dalam agama untuk disebarkan, namun membuat aturan yang dapat diterima oleh semua.
Pemimpin sederhana
Muhammad bukan hanya pemimpin agama, melainkan juga kepala negara pertama dalam sejarah Islam. Meski memegang kekuasaan, beliau tidak pernah hidup dalam kemewahan melainkan tidur di atas tikar kasar, makan bersama rakyatnya tanpa sekat bahkan menjahit pakaian sendiri.
Kesederhanaan itu bukan karena keterpaksaan, tetapi karena kesadaran mendalam terhadap esensi kepemimpinan untuk melayani, bukan dilayani.
Kesederhanaan Muhammad bukan hanya soal gaya hidup, tetapi juga mencerminkan kedekatan dengan rakyat. Tidak ada sekat antara pemimpin dan umat. Beliau turun langsung ke lapangan untuk mendengarkan keluh kesah masyarakat dan mengambil keputusan berdasarkan keadilan serta kepentingan bersama.
Realitas kebangsaan saat ini ada kesenjangan antara pemimpin dan rakyat kerap menjadi sorotan. Gaya hidup hedonis sebagian elite kerap kontras dengan kondisi masyarakat yang masih bergelut dengan kemiskinan dan ketidakadilan.
Dalam konteks itu keteladanan Nabi Muhammad SAW menjadi sangat relevan untuk dikedepankan sebagai model kepemimpinan yang merakyat, sederhana, dan berintegritas tinggi.
Teladan bertutur kata
Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang sangat menjaga lisan. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa beliau tidak pernah berkata kasar, menghina, apalagi mencela orang lain bahkan kepada musuh yang menyakiti dirinya.
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam," sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
Sikap itu tercermin dalam keseharian beliau. Dalam berinteraksi dengan sahabat, masyarakat, hingga pemuka agama lain, Rasulullah selalu menggunakan bahasa yang santun dan membangun. Komunikasi yang efektif bukan tentang kerasnya suara melainkan kehalusan dalam menyampaikan kebenaran.
Dalam ungkapannya sebagai pemimpin tidaklah ia pernah merendahkan orang lain bahkan rakyatnya sendiri dalam bertutur kata, sehingga seharusnya sang rasul menjadi teladan pemimpin saat ini.
Rasulullah juga sangat berhati-hati dalam menjaga prasangka. Beliau mengajarkan umatnya untuk mengedepankan husnuzan atau prasangka baik dan tidak mudah menuduh tanpa dasar yang kuat.
Dalam beberapa peristiwa di masa kenabian, Muhammad bahkan menunda keputusan penting sampai mendapatkan informasi yang benar-benar akurat dan adil.
Keteladanan itu adalah pelajaran penting dalam konteks kebangsaan di Indonesia. Di tengah menguatnya budaya saling curiga, tuduh-menuduh, dan penghakiman di media sosial maupun media massa, umat dan bangsa ini membutuhkan kembali etika tabayyun sebagai dasar membangun harmoni sosial dan politik.
Tabayyun adalah penangkal disinformasi dan provokasi. Dalam praktik kenegaraan, budaya tabayyun harus dihidupkan, terutama di antara pejabat publik, aparatur negara, tokoh masyarakat, hingga warga biasa. Pengambilan kebijakan dan penilaian sosial tidak boleh didasarkan pada asumsi dan opini yang belum terkonfirmasi.
Peringatan Maulid Nabi di bulan Rabiulawal seharusnya menjadi titik tolak pembaruan moral dalam kehidupan berbangsa, termasuk dalam cara kita berkomunikasi.
Tabayyun merupakan bentuk kecerdasan sosial yang mencerminkan kematangan berpikir dan kedewasaan dalam bertindak. Beliau bukan hanya etika komunikasi, tetapi juga fondasi keadilan.
Dengan meneladani Rasulullah SAW dalam melakukan tabayyun, masyarakat Indonesia tidak hanya menjaga kebenaran informasi, tetapi juga mencegah perpecahan, fitnah, dan ketidakadilan. Tabayyun adalah jalan menuju tatanan masyarakat yang sehat secara sosial dan politik.
Rabiulawal momen meredakan bara
Dalam suasana Indonesia yang seperti hari ini, Rabiulawal adalah kesempatan untuk mendinginkan. Para pemimpin politik, tokoh agama, aparat, hingga elite intelektual perlu kembali kepada semangat kenabian: menenangkan, bukan menghasut; menyatukan, bukan memecah.
Ketika semua saling menyulut, seseorang harus berani menjadi air itulah keteladanan Rasulullah.
Masyarakat juga punya tanggung jawab. Jangan biarkan diri diseret dalam arus provokasi dan narasi-narasi penuh kebencian.
Media sosial hari ini menjadi senjata paling efektif untuk membakar emosi, tapi juga bisa menjadi alat paling ampuh untuk menyebarkan kesejukan. Pilihlah peran dengan sadar sebagai pemantik konflik atau penjaga kedamaian.
Dengan demikian, momentum semangat Maulid Nabi dapat menjadi bentuk penanaman terhadap nilai-nilai penting dalam diri yang harus terus-menerus diimplementasikan agar pemimpin dan masyarakat bisa membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.
*) Penulis merupakan mahasiswa tingkat akhir Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Pancor di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
