Banda Aceh (ANTARA) - Sudah 2 tahun lebih masyarakat Aceh tidak merasakan layanan perbankan konvensional pascapemberlakuan Qanun (Peraturan Daerah) Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Sejak peraturan disahkan dan tahapan sosialisasi hingga 2020, satu per satu bank konvensional seperti BRI, BNI, Mandiri, BCA, serta berbagai perbankan swasta lainnya mulai angkat kaki dari Tanah Rencong.
Setelah itu, Aceh kemudian hanya diisi oleh BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri (BSM), dan BNI Syariah. Namun, per 1 Februari 2021 pemerintah resmi melakukan merger tiga bank pelat merah tersebut menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).
Pasca-peresmian merger tiga bank tersebut menjadi BSI, maka Aceh hanya memiliki satu perbankan nasional yang mencakup seluruh wilayah di Aceh. Selain dari bank milik daerah yakni Bank Aceh Syariah (BAS).
Hanya ada bank tunggal nasional tersebut telah menimbulkan kendala bagi berbagai kalangan masyarakat di Aceh yang ingin bertransaksi keluar daerah, terutama para pengusaha, karena sistem pelayanan yang belum maksimal.
Satu tahun BSI beroperasi di Aceh, timbul berbagai desakan untuk melakukan revisi Qanun LKS, bukan hanya dari masyarakat atau pengusaha, melainkan muncul inisiatif dari sejumlah anggota DPR Aceh.
Puncaknya, pasca-terjadinya gangguan sistem BSI pada 8 Mei 2023 lalu. Dampaknya benar-benar dirasakan masyarakat Aceh yang mayoritas menjadi nasabah BSI.
Bahkan, akibat dari sistem bermasalah tersebut, para pengusaha minyak (SPBU) tidak bisa melakukan penebusan ke Pertamina karena layanan host to host tidak bisa dimanfaatkan sehingga sempat terjadi kekosongan BBM di SPBU.
"Kondisi seperti ini bisa menjadi pelajaran dalam mengambil kebijakan. Seharusnya ada bank konvensional lain satu di Aceh yang memiliki sistem host to host, jadi ada solusi saat satu bank error," kata Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Aceh Nahrawi Noerdin.
Selain itu, Nahrawi juga mengaku hingga saat ini pelayanan bank syariah di Aceh masih cukup jauh dari harapan, terutama bagi kalangan dunia usaha.
Jika kondisi ini terus berlarut, ia menilai Aceh akan menjadi daerah yang terisolasi secara nasional dan internasional dalam urusan transaksi keuangan.
“Akses dan layanan keuangan bisa dinikmati oleh saudara-saudara kita di seluruh Indonesia, tapi tidak bisa dinikmati di Aceh. Itu cukup besar pengaruhnya bagi dunia usaha dan perekonomian Aceh," kata Nahrawi.
Masalah gangguan sistem BSI itu kemudian kembali menguatkan desakan untuk mengubah atau mengevaluasi Qanun LKS Aceh, dan membuka peluang kembalinya bank konvensional beroperasi di Tanah Rencong seperti 5 tahun lalu.
Wacana revisi Qanun LKS
Pada dasarnya, wacana revisi Qanun LKS tersebut bukan karena error-nya sistem BSI awal bulan lalu, melainkan telah diusulkan Pemerintah Aceh jauh sebelum adanya masalah pada perbankan syariah tersebut.
Juru Bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA mengatakan Pj. Gubernur Aceh telah menyerahkan rencana perubahan Qanun LKS tersebut pada DPR Aceh pada Oktober 2022 untuk kemudian dapat dilakukan pembahasan oleh parlemen Aceh.
"Pada dasarnya Pemerintah Aceh sepakat atas rencana revisi Qanun LKS, dan secara khusus juga telah menyurati DPRA sejak Oktober 2022," kata MTA.
Wacana perubahan itu, kata MTA, merupakan aspirasi masyarakat terutama para pelaku dunia usaha. Oleh karena itu perlu dikaji dan dianalisis kembali terhadap dinamika dan problematika dari pelaksanaan Qanun LKS selama ini.
Pemerintah Aceh juga membuka peluang untuk mengembalikan operasional bank konvensional ke provinsi ini, salah satu upaya yang dilakukan yakni dengan merevisi Qanun LKS.
"Penyempurnaan qanun itu membuka kembali peluang bagi perbankan konvensional kembali beroperasi di Aceh," ujarnya.
MTA menuturkan kasus yang menimpa BSI baru-baru ini dapat menjadi salah satu referensi bagi DPRA dalam menyempurnakan pelaksanaan dan penerapan Qanun LKS.
Sampai saat ini infrastruktur perbankan syariah di Aceh dinilai belum bisa menjawab dinamika dan problematika sosial ekonomi, terutama berkenaan dengan realitas transaksi keuangan berskala nasional dan internasional bagi pelaku usaha.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kegiatan ekonomi bertaraf nasional dan internasional, maka keberadaan perbankan konvensional sebenarnya bukan sesuatu yang mesti dihalangi.
Namun, memperkuat perbankan syariah juga menjadi prioritas sebagai sebuah daerah atau kawasan yang memiliki kekhususan.
"Pro-kontra memang sesuatu yang lumrah, meski demikian mari kita beri waktu kepada DPRA sebagai representasi masyarakat Aceh untuk mengkaji dan menganalisis Qanun LKS ini demi penyempurnaan yang lebih baik," kata MTA.
Sepakat
Sementara itu, Ketua DPR Aceh Saiful Bahri alias Pon Yahya menyatakan bahwa sudah saatnya Aceh mengevaluasi regulasi terkait keuangan syariah yang saat ini berlaku di tanah rencong.
Pon Yahya mengatakan bahwa permasalahan dari error sistem BSI telah memicu niat masyarakat Aceh untuk mendesak Pemerintah Aceh agar kembali mengevaluasi Qanun LKS tersebut. "Harapan masyarakat Aceh ingin memiliki alternatif transaksi (bank konvensional) apabila sistem satu perbankan terganggu seperti yang dialami BSI," katanya.
Revisi terhadap Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang LKS itu, menurut dia, tidak menghapus substansi syariat islam tapi semata demi penyempurnaan produk hukum milik Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Ide perubahan tersebut juga mestinya disikapi secara bijak lantaran yang bakal diubah itu merupakan produk buatan manusia yang dalam perjalanan masih terdapat kelemahan.
"Maka DPRA dan Pemerintah Aceh berinisiatif untuk melakukan beberapa perubahan demi kesempurnaan dan kemaslahatan umat," ujarnya.
Namun, menurur dia, wacana perubahan Qanun LKS ini belakangan justru disikapi negatif oleh beberapa pihak di Aceh, bahkan ada yang menggiringnya ke arah lain. Padahal, rencana perubahan Qanun LKS tersebut bukan untuk menghapus atau berniat menghilangkan sistem syariat Islam dalam sistem keuangan di Aceh. "Jadi tidak ada keinginan mengubah syariat Islam, tapi untuk memberikan pilihan bagi warga Aceh dalam menggunakan jasa lembaga keuangan," kata Pon Yaya.
Terkait hal ini, Hiswana Migas Aceh mendukung penuh wacana DPR Aceh dan Pemerintah Aceh merevisi Qanun LKS itu sehingga bank konvensional bisa beroperasi lagi di Aceh. Adanya wacana merevisi Qanun LKS dan mengupayakan agar bank konvensional bisa beroperasi kembali di Aceh merupakan langkah tepat sehingga nantinya transaksi bisa melalui dua jenis bank dalam menjalankan bisnis.
"Kami para pelaku usaha di Aceh mengucapkan terima kasih kepada Ketua DPRA dan anggotanya dengan rencana merevisi Qanun LKS tersebut sehingga ke depan jika satu bank terjadi gangguan, kita masih punya pilihan lain dalam menjalankan bisnis," kata Nahrawi.
Dukungan revisi juga datang dari pelaku UMKM di bawah Asosiasi Saudagar Industri Aceh (ASIA). Wakil Ketua ASIA Maimun M Nur menegaskan sudah sangat lama menginginkan adanya kembali bank konvensional di Aceh untuk kemudahan transaksi. "Sudah dari dulu saya sampaikan bahwa di Aceh harus ada bank syariah dan juga konvensional di Aceh," kata Maimun.
Bank konvensional juga dibutuhkan karena selama ini pihaknya sering melakukan transaksi dengan luar daerah, terutama Ibu Kota Jakarta, dan rata-rata semuanya menggunakan bank konvensional.
Karena itu, dirinya mendukung wacana terkait revisi Qanun LKS yang telah diusulkan oleh Pemerintah Aceh kepada DPR Aceh untuk kemudian dapat dibahas kembali. Dukungan ASIA sendiri karena mereka ingin kemudahan transaksi dalam dunia usaha yang digeluti saat ini. Maka hadirnya bank konvensional kembali ke Aceh menjadi sebuah harapan baru bagi mereka.
Menolak
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Faisal Ali menyatakan bahwa Qanun LKS belum perlu direvisi karena baru 2 tahun diterapkan, perlu waktu hingga beberapa tahun lagi untuk meninjau kembali.
"Jika nanti ada kekurangan, baru dilakukan revisi. Jangan karena ada kesalahan satu bank timbul wacana merevisi. Padahal, di Aceh masih ada perbankan syariah lainnya," kata Faisal Ali.
Faisal mengatakan gangguan transaksi perbankan di BSI hanyalah bagian terkecil dan tidak hanya di Aceh, tetapi juga terjadi secara nasional. Gangguan tidak lantas membuat Qanun LKS direvisi dengan mewacanakan kehadiran perbankan konvensional.
MPU Aceh tidak sependapat dengan wacana merevisi Qanun LKS. Biarkan qanun tersebut berjalan. Nanti, apabila ada hambatan atau hal lainnya, baru dievaluasi. MPU Aceh memiliki kewenangan memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Apabila revisi Qanun LKS dilakukan, maka MPU akan menggunakan kewenangan memberikan pandangan kepada pemerintah. "Kita semua sudah sepakat melaksanakan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh, termasuk melakukan transaksi perbankan dalam bingkai syariah Islam," kata Faisal.
Sementara itu, Anggota DPD RI asal Aceh M Fadhil Rahmi menilai pemikiran Pemerintah Aceh untuk mengembalikan bank konvensional ke Aceh melalui revisi Qanun LKS merupakan hal yang keliru.
Kata dia, Qanun LKS adalah turunan UUPA yang merupakan kekhususan dan keistimewaan Aceh, terutama pada Pasal 125, 126, dan 127. Qanun LKS adalah tingkatan kedua dalam penyempurnaan syariat Islam di Aceh setelah busana, yaitu bidang muamalah.
“Rencana Pemerintah Aceh mengembalikan bank konvensional berarti mengebiri Qanun LKS yang secara otomatis juga tidak mengindahkan kewenangan Aceh dalam UUPA," kata Fadhil Rahmi. Harusnya, kata Fadhil, Pemerintah Aceh lebih melihat masalah yang terjadi. Bukan merevisi Qanun LKS untuk mengundang bank konvensional kembali beroperasi di Aceh.
Menurut Fadhil, wacana DPR Aceh merevisi Qanun LKS karena error di jaringan ATM dan m-banking BSI pada awal Mei 2023 juga terkesan mengada-ada.
"Mestinya, yang harus dipikirkan adalah bagaimana memperkuat Qanun LKS itu sendiri. Misalnya, dengan mewajibkan bank yang beroperasi membuka cabang di seluruh kabupaten/kota, tentu dengan kemudahan yang diberikan," kata Fadhil Rahmi.
Upayakan solusi terbaik
Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (Banleg DPRA) Mawardi menegaskan bahwa pihaknya bersama Pemerintah Aceh masih mencari solusi terbaik terhadap pro kontra Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Aceh.
"Kami dengan pemerintah akan selalu berkomunikasi, mencari sebuah solusi (soal penerapan Qanun LKS)," kata Mawardi.
Menurut Mawardi, kontroversi masalah lembaga keuangan syariah tersebut telah melahirkan banyak diskusi sehingga menimbulkan banyak pemikiran baru yang kemudian dapat dipelajari secara baik.
DPR Aceh, kata Mawardi, tidak dalam konteks ingin merevisi, melainkan lebih kepada pengkajian mendalam. Karena proses ini jangan dilakukan secara tergesa gesa. Apalagi semua poin yang tertuang dalam qanun belum sepenuhnya telah direalisasikan.
"DPRA melihat pro kontra ini sebagai upaya mencari sebuah solusi terbaik, karena itu masih perlu dilakukan kajian mendalam dengan melibatkan para pakar, dan seluruh stakeholder di Aceh," ujarnya.
Baca juga: Bank Indonesia -TPID NTB luncurkan GNPIP
Baca juga: Ekspor komoditas kakao Blitar tembus pasar global
Pro kontra terhadap revisi Qanun LKS, lanjut Mawardi, tidak menutup kemungkinan bahwa peraturan tersebut dapat direvisi sebagaimana komitmen lembaga dapat merubah sebuah produk hukum sesuai mekanisme berlaku.
"Tentu DPRA harus mendapatkan hasil kajian, apa urgensi dari revisi. Kalau memang direvisi, ini harus memperkuat agar bisa menjawab berbagai persoalan. Ekonomi harus tetap maju dan syariat Islam harus dilaksanakan," ujar Mawardi.
Terkait rencana perubahan peraturan daerah tersebut, saat ini DPR Aceh masih sebatas melakukan kajian bersama tenaga ahli di parlemen, masih terus mengkaji pandangan terbaik dari sejumlah pemangku kepentingan di Aceh.