10 tahun "Mandatory Spending" tak jamin kesehatan lebih baik

id UU Kesehatan, Mandatory Spending, anggaran wajib kesehatan, Transformasi Kesehatan

10 tahun "Mandatory Spending" tak jamin kesehatan lebih baik

Tangkapan layar - Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro (kanan) saat menyampaikan pemaparan dalam Diskusi Bedah Tematik UU Kesehatan yang diselenggarakan Universitas Indonesia Maju (UIMA) secara daring diikuti di Jakarta, Jumat (4/8/2023). ANTARA/Andi Firdaus

Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Menteri Kesehatan RI Laksono Trisnantoro mengemukakan alokasi anggaran wajib kesehatan atau Mandatory Spending yang sudah berjalan selama 10 tahun di Indonesia tidak menjamin indikator status kesehatan masyarakat menjadi lebih baik.

"Kalau kita lihat data indikator kesehatan pada 2019, banyak yang masih 'merah', meskipun sudah 10 tahun Mandatory Spending, ternyata status kesehatan tidak sebaik di Asia Tenggara," kata Laksono Trisnantoro dalam Diskusi Bedah Tematik UU Kesehatan yang diselenggarakan Universitas Indonesia Maju (UIMA) diikuti dari Jakarta, Jumat.

Staf Khusus Menkes bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Kemenkes itu mengatakan, pengalaman Mandatory Spending di Indonesia yang bergulir sejak 2009 melalui UU Kesehatan lama terbukti tidak efektif dan efisien.

Situasi itu salah satunya didasari atas pengamatan pada kinerja anggaran di sektor layanan BPJS Kesehatan pada kurun 2015--2019. Sebagian dana yang diperuntukkan bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) terpakai untuk menutup defisit di segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

"Sebagian dana yang seharusnya untuk orang miskin, terpakai untuk segmen yang relatif menengah ke atas. Contohnya 6 tahun pertama, sisa PBI APBN sekitar Rp35 triliun terpakai habis untuk segmen PBPU," katanya.

Laksono yang juga Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan UGM mengatakan, penyerapan Mandatory Spending juga memicu ketidakadilan geografis berdasarkan laju kenaikan besaran klaim BPJS Kesehatan per regional per tahun.

Sejak 2015, kata Laksono, terjadi kenaikan yang sangat tajam pada biaya klaim BPJS Kesehatan di Regional 1, meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten.

Sedangkan di Regional 2, yakni Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) melandai. Regional V meliputi NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua menjadi yang terendah. "Jadi, equity geografis tidak berjalan dengan baik, meskipun ada Mandatory Spending yang tujuannya meningkatkan pemerataan, tetapi tidak berjalan," katanya.

Laksono mengatakan, penyerapan Mandatory Spending pada anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik Kementerian Kesehatan pun relatif tidak optimal, sehingga mempengaruhi capaian target dan berakibat pada pelayanan kepada masyarakat berjalan tidak optimal.

Catatan penyerapan Mandatory Spending nasional sebesar 5 persen dari total Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP) pada 2019, kata Laksono, masih terbilang rendah, berkisar 3 persen atau setara Rp500 triliun dari yang dialokasikan sebesar Rp800 triliun.

"Pengalaman Mandatory Spending tidak menjamin ketepatan alokasi anggaran, lebih ke arah kuratif karena perencanaannya post anggaran. Selain itu, tidak menjamin pemerataan, tidak menjamin penyerapan dengan baik, dan tidak efisien," katanya.

Baca juga: Kemenkes upayakan eliminasi hepatitis B dan C
Baca juga: Kemenkes susun strategi nasional atasi radang otak


Pemerintah mengubah haluan anggaran kesehatan dari Mandatory Spending menjadi anggaran berbasis kinerja melalui Rencana Induk Kesehatan yang telah disetujui DPR dalam UU Kesehatan. Kebijakan itu mengarahkan fokus anggaran kesehatan pada pencapaian hasil, bukan besarnya nominal uang.