KPK: Pemeriksaan 12 saksi korupsi shelter tsunami di Mataram selesai sehari

id kpk, pemeriksaan saksi, kasus shelter tsunami, penyidikan KPK

KPK: Pemeriksaan 12 saksi korupsi shelter tsunami di Mataram selesai sehari

Kantor BPKP NTB di Mataram. ANTARA/Dhimas B.P.

Mataram (ANTARA) - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menargetkan pemeriksaan 12 saksi kasus dugaan korupsi proyek pembangunan gedung tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami di kawasan Pelabuhan Bangsal, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat di Kota Mataram dapat selesai sehari.

"Iya, pemeriksaan saksi pada hari ini, selesai hari ini. Apakah besok ada pemeriksaan lagi? Belum dapat informasi," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto melalui pesan singkat WhatsApp, Selasa.

Penyidik KPK melakukan pemeriksaan 12 saksi kasus dugaan korupsi proyek pembangun shelter tsunami ini di Kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB, Jalan Majapahit Kota Mataram.

Hingga pukul 15.00 Wita, kegiatan pemeriksaan saksi oleh penyidik KPK masih berjalan di salah satu ruangan Kantor BPKP NTB. Sejumlah saksi terpantau ada yang meninggalkan Kantor BPKP NTB.

Baca juga: KPK periksa PPK, Pokja dan Tim PPHP shelter tsunami KLU di kantor BPKP NTB

Namun, saat dikonfirmasi, saksi tersebut menolak untuk memberikan keterangan. Saksi dengan seragam dinas pemerintahan tersebut hanya mengakui bahwa dirinya berasal dari BPBD Pemprov NTB.

Menurut informasi dari KPK, sebanyak 12 saksi yang menjalani pemeriksaan, yakni pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek berinisial AN, kemudian dari konsultan manajemen konstruksi berinisial DJI, WP, dan SKM.

Selanjutnya dari kelompok kerja (pokja) sebanyak empat orang berinisial DJM sebagai ketua, AH sebagai sekretaris, serta anggotanya IRH dan IJ yang juga merangkap sebagai sekretaris tim panitia pemeriksa hasil pekerjaan (PPHP).

Baca juga: KPK gali keterangan saksi kasus "shelter" tsunami di Lombok Utara

Selain IJ, ada juga dari tim PPHP yang menjalani pemeriksaan berinisial YS sebagai Ketua Tim PPHP beserta tiga anggotanya berinisial SHT, MS, dan KS.

Perihal adanya informasi salah seorang saksi yang menjalani pemeriksaan di Kantor BPKP NTB berstatus tersangka, Tessa menolak untuk menanggapi pertanyaan tersebut.

"Penyebutan nama tersangka sesuai dengan kebijakan lembaga (KPK) akan disampaikan pada saat yang bersangkutan (tersangka) ditahan. Jadi, pertanyaan tersebut belum bisa dijawab," ujarnya.

Dalam penanganan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan shelter tsunami yang berada pada Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan Provinsi NTB Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tahun 2014, penyidik KPK telah menetapkan dua tersangka.

Baca juga: KPK mengungkap turun kualitas "shelter" tsunami akibat korupsi

Meskipun belum mengungkap identitas lengkap keduanya, KPK telah menyampaikan kedua tersangka ini merupakan penyelenggara negara dan juga pelaksana proyek dari kalangan BUMN.

Kerugian keuangan negara yang muncul dari penyidikan ini mencapai Rp19 miliar. Angka kerugian itu diumumkan KPK bersama dengan adanya penetapan tersangka.

Pekerjaan proyek pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara ini berada di bawah Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) NTB pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Proyek dikerjakan pada bulan Agustus 2014 oleh PT Waskita Karya dengan anggaran Rp21 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Proyek gedung dengan perencanaan dapat menampung 3.000 orang tersebut terungkap sempat masuk ke Polda NTB sampai tahap penyelidikan pada tahun 2015.

Pada tahapan tersebut, kepolisian juga melakukan pengecekan bersama ahli konstruksi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Baca juga: KPK mulai penyidikan korupsi pembangunan "Shelter" Tsunami di NTB

Dari hasil penyelidikan, Polda NTB pada tahun 2016 melakukan gelar perkara dan menyatakan tidak melanjutkan proses hukum dari dugaan korupsi yang muncul dalam pekerjaan proyek tersebut.

Selanjutnya pada bulan Juli 2017, tercatat PUPR menyerahkan hasil pekerjaan gedung evakuasi sementara itu ke Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.

Sekitar 1 tahun usai penyerahan pekerjaan, terjadi bencana gempa bumi di Pulau Lombok. Gedung tersebut turut terkena dampak kerusakan yang cukup parah.