Meneropong politik Indonesia: Antara politik uang dan feodalisme politik

id Meneropong politik Indonesia,poliik uang,feodalisme politik Oleh Mahmud *)

Meneropong politik Indonesia: Antara politik uang dan feodalisme politik

Sekretaris Umum KPC HMI Cabang Yogyakarta Mahmud (ANTARA/HO)

Mataram (ANTARA) - Dua PR besar politik kita hari ini, yakni merebaknya politik uang dan membesarnya feodalisme politik. Bukannya bisa ditekan atau dikurangi, pengaruh politik uang dan feodalisme politik malah semakin merebak dan membesar dari pusat hingga ke daerah.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan atau mengurangi politik uang dan feodalisme politik, namun upaya itu tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Sebaliknya, malah menunjukkan keganasan politik uang dan feodalisme politik Indonesia semakin tinggi.

Upaya yang dilakukan, antara lain: transparansi dana kampanye—pemasukan dan pengeluaran—penguatan pengawasan Bawaslu dan peran KPU, kampanye anti politik uang, serta meningkatkan kesadaran politik masyarakat, partisipasi publik, dan peran masyarakat sipil.

Meski secara sistematik dan kelembagaan terus dilakukan upaya perbaikan, namun secara mental politik manusia Indonesia tak kunjung membaik. Inilah masalah politik Indonesia yang harus menjadi perhatian bersama untuk terus kita benahi.

Memperbaiki sistem dan kelembagaan politik, tanpa memperbaiki etika dan moralitas manusia Indonesia—elite-elite politik Indonesia, maka sulit untuk keluar dari jerat politik uang dan feodalisme politik.

Good man, good system, and good institution menjadi tepat untuk terapkan. Konsep ini menjadi tepat untuk memperbaiki manusia politik Indonesia dan politik Indonesia ke depan.

Politik Uang

Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Pemilu 2019, ada sekitar 28 persen pemilih menentukan pilihannya karena uang. Angka ini meningkat menjadi 35 persen pada Pemilu 2024.

Masyarakat juga menganggap tidak wajar politik uang menurun, dari 67 persen pada Pemilu 2019 menjadi 49,6 persen pada 2024. Masyarakat yang anti terhadap politik uang menunjukkan tren yang menurun.

Politik uang dianggap sebagai perbuatan wajar (permisif), sehingga suap menyuap dan serangan fajar dalam politik dianggap biasa dan dilakukan tanpa rasa malu dan takut. Roderic C. Meredith (1998) menggambarkan pola pikir masyarakat seperti ini sebagai kutukan masyarakat Barat.

Masyarakat permisif tidak mengakui adanya kebenaran abadi atau dosa. Masyarakat permisif membuat kehidupan sosial dan politik menjadi kehilangan panduan. Etika dan moralitas politik tidak menjadi kompas dalam menentukan pilihan.

Sering kali kita melihat politik uang sekedar sebagai problem etika, moral atau problem hukum. Tentu saja pandangan ini tak keliru dan tidak bermaksud untuk menyederhanakan persoalan. Namun, kadang kala pandangan ini "terlalu melangit" dan tak bisa menjawab persoalan hukum secara menyeluruh.

Politik uang mesti/harus dilihat sebagai problem sosiologis-ekonomis (konkret), di mana kantong-kantong ekonomi masyarakat lemah di situlah politik uang beroperasi sangat tinggi.

Lebih dari sekedar persoalan etika, moralitas, dan hukum, politik uang juga merupakan persoalan sosiologis-ekonomis. Karena itu, yang harus diperbaiki dan dipenuhi adalah sosiologi-ekonomi masyarakatnya. Dengan demikian, politik uang bisa ditekan atau dikurangi.

Feodalisme Politik

DNA politik kita itu feodalisme, hirerki dan dominasi. Itu sudah fakta sejarah, tak bisa dibantah.

Meski transisi kekuasaan dari orde lama ke orde baru dan reformasi telah dilakukan, namun mentalitas feodalisme politik itu masuk dalam sistem politik dan kelembagaan politik kita.

Tentu pengertian feodalisme politik ini dalam arti luas, bukan dalam pengertian klasik, sehingga melahirkan feodalisme politik yang beragam dan variatif.

Patronase politik, gerbong politik, dinasti politik, dan orang-orang titipan tim sukses calon tertentu, merupakan feodalisme politik gaya baru.

Mair dan Spirova (2012) menjelaskan, patronase politik tak hanya terjadi dalam partai politik, namun telah menjalar ke elite-elite politik—nasional dan lokal—dan birokrasi pemerintahan.

Akibatnya, patron politik, gerbong politik, dinasti politik, dan orang-orang titipan tim sukses calon tertentu diakomodir semua masuk di birokrasi pemerintahan. Itu yang membuat orang-orang yang kompeten di bidangnya tersingkirkan dan meritokrasi di pemerintahan terhambat.

Karena orang-orang yang dekat dengan elite-elite politik tertentu dan pemenang Pemilu/Pilkada yang diakomodir, bukan orang-orang yang berdasarkan kompetensi dan kebutuhan birokrasi pemerintahan.

Berdasarkan data dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), ada sekitar 79 dari 580 anggota DPR 2024-2029 memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat lain. Ini menunjukkan bahwa lebih dari 13 persen anggota DPR berasal dari lingkaran keluarga atau pejabat sebelumnya.

Di Pilkada 2024, berdasarkan hasil penelitian PolGov Fisipol UGM bersama Election Corner Fisipol UGM dan IFAR, Unika Atma Jaya mengungkapkan, ada sekitar 605 kandidat atau 19,5 persen calon terindikasi politik dinasti. Hampir seperlima dari total kandidat memiliki hubungan kekerabatan dengan elite politik dan pejabat sebelumnya.

Feodalisme politik dan "turunannya" seakan-akan dinormalisasi oleh elite-elite politik, dengan alasan tak ada pengaturan hukumnya dan dipilih secara langsung oleh rakyat.

Tentu saja alasan itu tak salah, namun ruang kandidasi "dikondisikan" dan dipersempit. Calon yang ditawarkan bukan kemauan rakyat, tetapi kehendak elite-elite politik. Dari kekuasaan suami, dibagikan ke istri, anak, paman atau kerabat terdekatnya, dengan didorong maju, baik dalam politik lokal maupun dalam politik nasional.

Hukum dan rasionalitas publik pun diakali untuk memuluskan agenda politik ini. Tak ada lagi etika dan moralitas politik yang harus di jaga. Akibatnya, terpilihlah pemimpin yang tak berkualitas.

Padahal, demokrasi adalah panggung bersama, siapapun boleh tampil di atas panggung, memilih dan dipilih. Namun, ketika panggung itu dimonopoli secara tunggal atau sekelompok elite, maka panggung politik itu menjadi tidak setara dan inklusif.

Panggung itu tampaknya dimonopoli dan dihidupkan melalui politik uang dan mentalitas feodalisme politik. Demokrasi yang awalnya menjadi panggung bersama bagi siapapun yang ingin dipilih dan memilih berubah menjadi panggung segelintir elite yang memiliki modal dan orang-orang yang memiliki kekuasaan.

Ke depan, kita tidak lagi memilih pemimpin karena visi-misi, rekam jejak, dan kualitas calon, tetapi karena uang dan dominasi feodalisme politik. Mengerikan!

*) Penulis adalah Sekretaris Umum KPC HMI Cabang Yogyakarta