Bencana dan ujian sense of crisis

id Bencana,Ujian,Sense of crisis Oleh Lalu Gita Ariadi *)

Bencana dan ujian sense of crisis

Dosen IPDN Kampus NTB Lalu Gita Ariadi (ANTARA/HO - Dok Lalu Gita Ariadi)

Mataram (ANTARA) - Sejak awal musibah banjir Aceh, Sumut dan Sumbar terjadi, saya terharu dan terselip rasa bangga ketika melihat para mahasiswa dan relawan peduli bencana turun ke perempatan jalan di kota Mataram. Mereka menggalang donasi kemanusiaan untuk saudara-saudara kita yang menderita di lokasi bencana.

Ini sinyal positip dan bagus. Sebagai generasi muda bangsa, sebagai saudara sebangsa dan sesama umat manusia, tentu para mahasiswa dan relawan itu terpanggil karena masih memiliki sense of crisis untuk meringankan beban derita para korban bencana.

Empati dan sense of crisis ini tumbuh alami dari dalam sanubari. Bisa jadi juga hasil sebuah tempaan dan pengalaman. Dulu, betapa saudara-saudara kita dari daerah lain, sangat peduli ketika Bumi NTB berguncang 7 SR mulai tanggal 29 Juli 2018, 5 Agustus 2018 dan paket gempa akhir pekan berturut-turut yang terus memakan korban jiwa dan harta benda. Tercatat ribuan tremor terjadi dengan magnitudo rendah sampai sedang dibawah 4 SR hingga akhir tahun 2018.

Ditengah guncangan gempa bumi NTB tahun 2018 itu, saudara kita di Palu Sulawesi Tengah juga ditimpa musibah yang sama. Bahkan lebih dahsyat. Selain gempa Palu 2018, mereka juga di sapa tsunami dan likuafaksi di momentum yang sama.

Ada peristiwa dramatis yang selalu saya ingat. Sekelompok warga di KLU yang desanya merupakan episentrum gempa, dengan tingkat kerusakan fatal dan sangat butuh banyak bantuan. Mereka justru melakukan langkah kongkrit dan heroik. Mereka menebangi pohon-pohon pisangnya. Dengan truck penuh berisi pisang, pisang di bawa turun ke pasar Mandalika Sweta. Hasil penjualan pisang, mereka antar dan serahkan semuanya ke posko bantuan bencana Gempa Palu 2018 di Mataram. Ini saya serahkan bantuan untuk saudara-saudara kami di Palu yang juga butuh bantuan seperti kami. Kami berbagi dalam derita ini. Kami ikhlas, kata wakil masyarakat KLU yang serahkan bantuannya itu penuh haru dan dengan kata terbata-bata.

Bencana, disisi lain akhirnya memang bisa menumbuhkan solidaritas. Juga semangat persaudaraan dan menggugah sentimen kebangsaan. Kini rasa solidaritas, semangat persaudaraan dan sentimen kebangsaan itu seakan sedang di uji kembali. Adakah kita peduli dengan saudara-saudara kita di Aceh, Sumut dan Sumbar ?

NTB PEDULI

Terpengaruh pemberitaan di koran, tayangan televisi dan media sosial yang berandanya ramai dengan narasi musibah banjir, tak sadar musibah itu terbawa juga dalam mimpi saya.

Suatu malam, saya tiba-tiba mimpi. Mimpi merasa sedang berada di lokasi banjir. Kami ber 67 orang. Membagi diri menjadi 3 kelompok. Tiap kelompok masing-masing 22 orang. Seakan benar-benar sedang kerja kemanusiaan membantu mencarikan air bersih, membersihkan rumah dan fasilitas publik dari sisa lumpur terbawa banjir, menyiapkan dapur umum, rehabilitasi rekonstruksi sarana prasarana yang dibutuhkan rakyat Aceh, Sumut dan Sumbar.

66 orang rekan-rekan relawan itu berasal dari 10 orang ASN dari 10 kabupaten/kota se NTB. 16 orang relawan / Menwa PTN/PTS yang ada di NTB. 10 orang angkatan muda dari 10 partai politik yang ada di NTB yang tentu mereka hadir tidak hanya pada momentum pemilu / pilkada. 10 Orang ASN Tangguh bencana dari unsur Pemprov NTB. 10 orang Prajurit TNI - Polri. Dan 10 orang relawan dari LSM/Media/ Masyarakat. 67 orang itu seakan representasi dari 5,5 juta penduduk NTB yang saat ini sedang sibuk merayakan HUT ke 67 Provinsi NTB.

Dalam mimpi itu seakan terbayang, di Sumbar kami sedang membagi-bagikan sate rembige, ayam taliwang, ayam rarang dalam kemasan dll sebagai pengganti dulu waktu Gempa NTB 2018 orang Padang beramai-ramai datang membawa rendang padang yang sangat banyak ( kurang lebih 1 ton rendang Padang ). Di Aceh dan Sumut terbayang seakan saya sedang menyerahkan bantuan ke pejabat pemprov nya yang dulu datang ke Mataram membawa bantuan untuk korban Gempa NTB 2018.

Tiba-tiba saya tersadar dari mimpi. Mimpi itu hanyalah kembang tidur semalam. Sejenak saya terduduk. Diantara sadar dan tidak sadar, saya teringat musibah banjir bandang yang terjadi di berbagai tempat di wilayah NTB.

Ya, bencana banjir yang terjadi hari ini di Aceh, Sumut dan Sumbar, dimana Air membawa tumpukan kayu dan pepohonan yang bertumbangan, mengingatkan saya pada banjir bandang Sambelia, Banjir bandang di Bima, Dompu juga di Mataram dan di Kute Mandalika.
Di banjir Bandang Sambelia tahun 2006 misalnya, kayu-kayu, pohon tumbang, bambu hanyut, batu dan lumpur bergelontoran, merusak daerah aliran sungai yang dilewati. Perkampungan, rumah penduduk dan infrastruktur luluh lantak diterjang banjir bandang.

Gubernur NTB saat itu Mamik HL Serinata dan Bupati Lotim Bapak Moh Ali BD, bahu membahu terjun lapangan membantu korban dan mengkaji penyebab hulu hilirnya bencana banjir bandang ini.

Saya selaku kepala humas dan jubir gubernur saat itu, ikut inspeksi udara menelusuri alur sungai dari muara banjir hingga hulu di kaki-kaki gunung Rinjani. Memang, selain karena curah hujan yang tinggi menurut data BMKG, juga karena lingkungan ekologis kita cenderung rusak. Deforestasi, alih fungsi lahan, pelanggaran tata ruang, eksploitasi lingkungan secara masiv berkontribusi terhadap terjadinya bencana klimatologi seperti ini.

Ketika akan kembali ke Mataram setelah inspeksi itu, dari helikopter nampak ada hamparan dan areal lapang yang menganga, gundul berwarna coklat, pepohonannya tidak lagi lebat hijau royo-royo. Diganti tanaman pisang dan perkebunan lainnya. Di sekitar Wajegeseng misalnya.

Meski banjir bandang Sambelia sudah lama berlalu, namun musibah-musibah banjir yang terjadi belakangan ini menuntut kita untuk tetap waspada dan siaga.

Dalam senandungnya yang lirih, Ebiet G Ade bertanya. Kawan, coba dengar apa jawabnya. Ketika ia kutanya mengapa ? bapak - ibunya telah lama mati. Ditelan bencana tanah ini. Barangkali disana ada jawabnya ? Mengapa di tanah ku terjadi bencana ? Mungkin Tuhan mulai bosan ? Melihat tingkah kita. Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa ? Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita ?

Coba kita bertanya, apa peran governance - penta helix dalam menjaga alam ini ? Adakah kita sudah gagal total dalam tata kelola Sumber Daya Alam kita ? Ketika awal Reformasi tata kelola sumber daya alam menjadi urusan yang di desentralisasi, muncul kemudian kekhawatiran "raja-raja kecil" akan kangkangi sumber daya alam secara tak terkendali. Namun ketika ada fenomena tata kelola sumber daya alam di "resentralisasi", otorisator berbulan madu dengan oligarkhi pesta pora eksploitasi sumber daya alam di daerah. Lalu siapa yang salah ?

Terlepas dari siapa yang salah dan bagaimana resolusi kedepan, mari kita bersiap dan terus berbenah. Tetap waspada dan mari hadapi setiap bentuk bencana klimatogi ini baik, banjir bandang, tanah longsor, puting beliung dan lain-lain yang menurut ramalan BMKG masih akan terjadi hingga Februari 2026 mendatang.

Rahayu ing kayon tirte.
Dirgahayu NTB.

*) Penulis adalah Dosen IPDN Kampus NTB



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.