Tensi geopolitik semakin tinggi, dunia kian terpolarisasi

id kaleidoskop 2023,geopolitik,konflik,perang,ukraina,china,amerika,israel,taiwan Oleh Anton Santoso

Tensi geopolitik semakin tinggi, dunia kian terpolarisasi

Presiden China Xi Jinping (kanan) bertemu Presiden AS Joe Biden di Filoli Estate, California, AS, pada 15 November 2023. (Xinhua/Ding Lin)

Jakarta (ANTARA) - Tahun 2023 akan segera berlalu meninggalkan dunia yang semakin panas, yang bukan hanya disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi juga karena rivalitas geopolitik yang dipicu sejumlah konflik.

Belum juga perang Rusia-Ukraina di Eropa mereda, telah muncul konflik baru di Timur Tengah, yang menimbulkan krisis kemanusiaan parah di Jalur Gaza.

Di wilayah lain, ketegangan yang berpotensi menimbulkan konflik di antara kekuatan-kekuatan besar dunia terus membayangi Selat Taiwan, Laut China Selatan, dan Semenanjung Korea.

Polarisasi seperti yang terjadi di masa Perang Dingin (1947-1991) seakan mendapatkan momentum pada 2023, ketika sejumlah negara mengambil posisi berseberangan dalam menyikapi sebuah konflik.

Baca juga: Indef: Risiko geopolitik global ancam prospek investasi Indonesia

Barat vs Rusia

Perang di Ukraina yang dipicu invasi besar-besaran Rusia pada 24 Februari tahun lalu telah menyeret Amerika Serikat dan sekutunya ke dalam konflik multidimensi dengan Rusia.

Dalam pidatonya menjelang satu tahun perang di Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin menuding Barat telah menjadikan konflik tersebut sebagai "proyek anti-Rusia".

Dia menyebut Barat berencana "memicu perang di Eropa" dan melawan Rusia "dengan menggunakan kekuatan proksi."

Perang di Ukraina seperti versi modern dari konflik-konflik militer semasa Perang Dingin, ketika dua kekuatan besar dunia –AS dan Uni Soviet– ikut campur dalam perang di Korea (1950-1953), Vietnam (1955-1975), dan Afghanistan (1979-1989).

Ukraina dianggap telah menjadi proksi kekuatan Barat, yang memasok dana dan persenjataan ke negara itu, dalam perang melawan Rusia.

Hingga 31 Oktober 2023, Washington telah menggelontorkan dana sebesar 75,4 miliar dolar (sekitar Rp1,16 kuadriliun) dalam bentuk bantuan militer dan kemanusiaan bagi Kiev. Angka itu belum mencakup bantuan serupa dari negara-negara Barat lain yang totalnya mencapai 50 miliar euro (sekitar Rp771.21 triliun).

Tidak hanya itu, Barat dan negara-negara sekutu AS di kawasan lain juga menjatuhkan beragam sanksi, yang tidak hanya menyasar tokoh-tokoh Rusia yang dianggap terlibat dalam invasi di Ukraina, tetapi juga perusahaan dan lembaga keuangan Rusia.

Perang di Ukraina, yang menurut badan kemanusiaan PBB telah merenggut nyawa sedikitnya 28.000 warga sipil, seakan menghidupkan lagi Perang Dingin di antara kekuatan-kekuatan besar dunia, termasuk China.

Baca juga: Pergeseran geopolitik peluang ASEAN pimpin dialog

AS vs China

Meski menyerukan deeskalasi konflik dan saling menghormati kedaulatan, China dinilai masih ambigu karena belum secara tegas menentang atau mengutuk operasi militer Rusia di Ukraina.

Sebaliknya, Beijing malah menyinggung "mentalitas" Perang Dingin dalam konflik tersebut.

"Keamanan sebuah kawasan seharusnya tidak diperjuangkan dengan memperkuat atau memperluas blok militer," tulis Kementerian Luar Negeri China pada 24 Februari 2023, tepat setahun invasi Rusia di Ukraina.

Pernyataan itu tampaknya ditujukan kepada AS dan sekutunya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang telah mengambil posisi untuk tidak berhadapan secara langsung dengan Rusia sejak perang itu meletus.

Ukraina bukanlah anggota NATO sehingga tidak mendapatkan jaminan keamanan dari blok militer itu. Namun, besarnya bantuan yang diterima Kiev dari negara-negara anggota NATO secara individual, terutama bantuan persenjataan dari AS, bisa dilihat sebagai "perang proksi".

Pernyataan China soal "memperluas blok militer" tadi seakan memperingatkan bahwa jika Ukraina diterima menjadi anggota NATO, konflik tersebut akan meluas karena aliansi pertahanan itu menjamin "bahwa setiap serangan terhadap salah satu dari mereka adalah serangan terhadap semuanya".

Ketegangan China dengan AS lebih sering dipicu oleh persoalan Taiwan, pulau dengan pemerintahan sendiri yang dianggap Beijing sebagai bagian dari "China yang satu".

Persoalan tersebut mungkin tidak seruncing sekarang jika Washington konsisten mengakui kebijakan "One China" sejak menjalin hubungan diplomatik secara resmi dengan Beijing pada 1 Januari 1979.

Namun, dengan bersandar pada Taiwan Relations Act yang disahkan pada tahun yang sama, AS malah melakukan hubungan tak resmi dengan Taiwan, yang tidak hanya mencakup kerja sama ekonomi, tetapi juga pertahanan, termasuk penjualan senjata.

Sepanjang 2023, Kongres AS menyetujui empat kali penjualan amunisi ke Taiwan dengan nilai total mencapai 1 miliar dolar (sekitar Rp15,42 triliun). Dalam rencana penjualan terakhir, AS akan mengirim peralatan komunikasi taktis senilai 300 juta dolar.

Langkah Washington itu, menurut Beijing, telah "mengirimkan pesan yang salah kepada pihak-pihak yang menginginkan 'kemerdekaan Taiwan'".

Hubungan AS dan Taiwan juga terlihat semakin intens ketika keduanya saling melakukan kunjungan rutin.

Usai "mampir" di Los Angeles untuk menemui Ketua DPR AS Kevin McCarthy pada 6 April, pemimpin Taiwan Tsai Ing-wen menerima kunjungan sejumlah senator AS di Taipei beberapa hari kemudian.

Ambiguitas AS inilah yang kerap membuat hubungannya dengan China menjadi tegang. Tidak jarang, Beijing meresponsnya dengan keras, termasuk unjuk kekuatan dengan menggelar latihan perang di sekitar Teluk Taiwan.

Perang dagang dan perang tarif juga masih membayangi hubungan AS-China, dan yang terbaru, mereka terlibat dalam perang semikonduktor.

Ketika Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping bertemu di sela-sela KTT APEC di San Fransisco pada November, dunia berharap ketegangan dua negara itu bakal mereda.

Namun, meski menghasilkan sejumlah komitmen bersama, pertemuan itu masih menjadi ajang untuk saling menegaskan sikap masing-masing.

Menurut Gedung Putih, Biden menegaskan dalam pertemuan itu bahwa AS akan terus membela kepentingannya dan kepentingan negara-negara sekutu dan mitra AS.

Seraya mengakui bahwa AS dan China sedang terlibat dalam persaingan, Biden mengatakan bahwa dunia berharap kedua negara bisa menghadapi persaingan itu secara bertanggung jawab untuk mencegah konflik, konfrontasi dan Perang Dingin yang baru.

Baca juga: Pertemuan AECC ke-22 bahas peran ASEAN menata dinamika geopolitik-geoekonomi

Situasi 2024

Melihat situasi geopolitik sepanjang tahun ini, persaingan di antara kekuatan-kekuatan besar dunia tampaknya masih menjadi ancaman keamanan global pada 2024.

Apalagi jika konflik di Ukraina tidak segera berakhir, dan konflik di Jalur Gaza meluas hingga ke negara-negara di sekitarnya, seperti yang telah terjadi di Lebanon dan Yaman, dan menyeret Iran dan AS ke dalam konflik tersebut.

Hasil pemilu di Taiwan pada Januari 2024 juga akan menentukan intensitas konfliknya dengan China. Beijing menganggap Lai Ching-te dari DPP sebagai seorang separatis dan jika kandidat dari partai yang berkuasa itu menang, ketegangan akan terus membayangi Selat Taiwan.

Jika ketegangan di kawasan itu meningkat dan memicu respons militer China, kemungkinan AS tidak akan tinggal diam.

Pemilihan presiden di negara Paman Sam itu tahun depan juga akan menjadi faktor penentu ke mana bandul geopolitik dunia akan mengayun.

Jika Donald Trump berhasil memenuhi ambisinya merebut kembali kursi presiden AS dari tangan Biden pada 2024, kandidat dari partai Republik itu kemungkinan akan mengubah arah kebijakan luar negeri AS, yang bisa jadi malah memperuncing konflik dan memperlebar polarisasi di antara kekuatan-kekuatan besar dunia.