Mataram (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Nusa Tenggara Barat mempertemukan pelaku perhutanan sosial dengan empat industri yang siap menjadi pasar bagi produk perhutanan sosial di Nusa Tenggara Barat.
"Potensi perhutanan sosial di daerah merupakan peluang kolaborasi antarsektor dan pelaku di daerah," kata Kepala DLHK NTB Julmansyah di Mataram, Kamis.
Pada 5 Desember 2024 DLHK NTB menggelar lokakarya bertajuk integrasi perhutanan sosial dengan pemerintah desa di sebuah hotel yang berada di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Sebanyak empat industri yang bertemu dengan pelaku perhutanan sosial adalah industri kayu lapis PT Kayu Lima Sejahtera yang beroperasi di Lombok Tengah, PT Agro Wahan Bumi beroperasi di Dompu, industri keju dan susu dari Yogyakarta, serta industri tepung talas dari Lombok Barat.
Baca juga: DLHK NTB mencegah kebakaran di TPAR Kebon Kongok
Julmansyah menuturkan dua industri makanan itu sangat membutuhkan areal perhutanan sosial sebagai pemasok bahan baku bagi pengembangan keju dan susu, serta tepung talas.
Menurut dia, perhutanan sosial adalah praktik ekonomi berbasis lahan yang memberikan ruang dan peluang bagi masyarakat miskin.
"Dengan ada dua pabrik atau buyer industri makanan menunjukkan bahwa perhutanan sosial berada dalam rantai pasok swasembada pangan nasional yang mendukung program strategis Presiden Prabowo," kata Julmansyah.
Baca juga: DLHK NTB meminta warga melapor petugas terlibat ilegal logging
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah capaian pemberian persetujuan perhutanan sosial secara nasional pada tahun 2024 mencapai 8,1 juta hektare yang melibatkan 1,38 juta kepala keluarga dengan 10.900 unit perhutanan sosial.
Sekretaris Direktorat Jenderal KLHK Syafda Roswandi mengatakan aspek ekonomi yang didapat dari perhutanan sosial mencapai Rp2,7 triliun.
Baca juga: NTB meraih Adi Niti 2024 berkat penerapan standardisasi lingkungan
Di Nusa Tenggara Barat, jumlah persetujuan perhutanan sosial mencapai 71.925 hektare dengan 43 ribu kepala keluarga dan telah terbentuk 492 usaha perhutanan sosial. Nilai ekonomi kelompok usaha perhutanan sosial di sana sebesar Rp223,8 miliar.
"Kita dapat merangkum kemakmuran ekonomi sosial dan sambil tetap menjaga hutan yang tak ternilai," ucap Syafda.