Mataram (ANTARA) - Kerusuhan dalam protes anti-pemerintah di Hong Kong menjadi makin serius tapi pemerintah yakin dapat menangani krisis itu sendirian, kata pemimpin kota tersebut yang menghadapi tekanan, Selasa.
Carrie Lam berbicara di hadapan umum untuk pertama kali sejak demonstrasi meningkat pada Ahad (25/8), ketika polisi menyemprotkan air dan menembakkan gas air mata dalam bentrokan dengan pemrotes yang melempar batu dan bom bensin.
Kota yang dikuasai China tersebut menghadapi krisis politik terbesarnya sejak diserahkan kepada Beijing pada 1997 dan pemerintah Partai Komunis telah mengirim peringatan jelas bahwa campur tangan paksa mungkin dilakukan untuk memadamkan kerusuhan.
Pemimpin Hong Kong, yang didukung Beijing, mengatakan wanita itu takkan berhenti dalam membangun landasan bagi dialog, walaupun waktunya belum tepat untuk melancarkan penyelidikan independen mengenai krisis tersebut, salah satu tuntutan utama pemrotes.
"Kita mesti bersiap bagi perujukan di masyarakat dengan berkomunikasi dengan orang yang berbeda pandangan ... Kami ingin mengakhiri situasi kacau di Hong Kong," kata Lam. Ia menambahkan ia tidak percaya pemerintahnya kehilangan kendali.
Demonstrasi lain direncanakan pada beberapa hari dan pekan ke depan, sehingga menimbulkan ancaman langsung buat pemerintah di Beijing, yang ingin meredam kerusuhan sebelum peringatan ke-70 berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober.
Kerusuhan meningkat pada pertengahan Juni mengenai rancangan undang-undang esktradisi yang mestinya mengizinkan orang Hong Kong dikirim ke China Daratan untuk diadili di pengadilan yang dikuasai Partai Komunis.
Tapi demonstrasi telah berkembang selama 12 pekan berturut-turut menjadi tuntutan yang lebih luas bagi demokrasi di bawah formula "satu negara, dua sistem" setelah penyerahan kepada China oleh bekas penguasa kolonialnya, Inggris, pada 1997.
Sejauh ini pemerintah telah menolak untuk memenuhi lima tuntutan utama pemrotes: penarikan RUU tersebut, pembentukan komite penyelidik independen mengenai protes itu dan dugaan aksi brutal oleh polisi, dihentikannya penggambaran protes sebagai "kerusuhan", peringanan tuntutan terhadap orang yang ditangkap, dan dilanjutkannya pembaruan politik.